Pernikahan Tanpa Hati

“Bukankah Chris sudah memberikan apa yang kau inginkan? Kenapa masih belum pergi?” tanya Wang Li sambil menghampiri Lolly. Suaranya tidak setinggi biasanya, namun tetap dingin.

Lolly menahan napas sejenak. “Aku hanya ingin melihatnya… itu saja. Tidak ada niat lain.”

“Tidak perlu!” potong Wang Li cepat. “Kakaknya sedang merawatnya. Chris masih punya kami. Dia sudah menebus kesalahannya selama ini. Dan karena dia merasa tidak perlu bertemu lagi, kau juga sebaiknya mengerti. Meski aku tidak setuju dengan pembagian harta itu, tapi itu keinginannya.”

Ia mendengus pelan, lalu menatap Lolly tajam.

“Dua hari lagi Chris akan dipulangkan. Lebih baik kalian benar-benar berpisah daripada terus bertemu dan membuat semuanya semakin rumit.”

Setelah mengatakan itu, Wang Li melangkah masuk ke kamar putranya, menutup pintu tanpa menoleh kembali.

Lolly berdiri terpaku, menggenggam berkas perceraian itu lebih erat.

Marco maju selangkah. “Nyonya, anda bilang ingin keluar negeri. Jika tidak keberatan, saya bisa membantu mencarikan tempat tinggal di sana.”

“Tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri.” Lolly menunduk sedikit. “Marco… tolong sampaikan pada Chris, aku… ingin berterima kasih. Dan… maaf aku tidak bisa melihatnya.”

Marco mengangguk pelan. “Akan saya sampaikan.”

“Dan pelakunya… apakah sudah ditemukan?” tanya Lolly.

“Sudah ditahan oleh polisi. Menurut pengakuan awal, pelaku hanya berniat merampok. Tapi karena tergila-gila pada uang, dia berubah nekat dan mencoba membunuh.”

Lolly menghela napas, lega sekaligus sedih. “Baiklah… setidaknya dia sudah tertangkap.”

Dengan hati berat, ia berbalik meninggalkan koridor itu. Setiap langkah terasa seperti menyeret beban yang tidak terlihat.

Dalam benaknya, satu adegan terus berulang—Chris menerjang serangan itu, menahan pisau yang seharusnya menembus dirinya.

Lalu suara itu… suara yang masih terngiang begitu jelas.

“Yang penting kau selamat…”

Kalimat sederhana yang membuat dadanya terasa sesak.

“Chris, terima kasih karena telah melindungiku…” gumam Lolly pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam. Ia menatap langit yang gelap, seakan mencari jawaban.

“Aku tidak tahu… setelah kejadian ini, apakah bercerai adalah keputusan yang benar atau salah. Tapi karena kita sudah memilih jalan masing-masing… aku berharap kau menemukan seseorang yang benar-benar kau cintai.”

Ia menghembuskan napas panjang, menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya.

“Selamat tinggal…”

“Kenapa kau tidak memberitahu yang sebenarnya ... bahwa pelaku itu adalah orang suruhan Neliza?” tanya Pengacara Yang dengan nada rendah, namun jelas menyimpan kegelisahan.

“Nyonya tidak perlu tahu,” jawab Marco pelan.

Nada suaranya tegas.

“Yang dia butuhkan hanya kesempatan untuk mengejar impiannya… dan keluar dari mimpi buruk yang menghantuinya selama ini. Itu… satu-satunya yang tuan inginkan untuknya.

Seminggu kemudian.

Lolly berjalan pelan menyeret koper menuju pintu keberangkatan. Pagi masih berkabut tipis, dan suasana bandara terasa dingin namun penuh hiruk pikuk.

Dokter Fan, yang berdiri di sisi mobil, menatap Lolly dengan mata yang memerah menahan haru. Begitu Lolly mendekat, dokter itu langsung menariknya ke dalam pelukan hangat.

“Jaga dirimu baik-baik di sana, Lolly. Jangan terlalu keras pada diri sendiri.”

Lolly tersenyum kecil sambil menepuk punggung Fan. “Kau juga sama. Jangan lupa makan tepat waktu. Saat aku kembali… aku ingin melihat pasanganmu. Jangan hidup sendiri lagi!"

Fan tertawa tipis meski matanya masih berkaca-kaca. “Baiklah, baiklah. Dan kau… aku ingin melihatmu sukses, bahagia. Kalau ada masalah, telepon aku kapan saja. Jangan memendam sendiri.”

Lolly mengangguk pelan. Mereka melepaskan pelukan itu dengan berat hati.

“Sampai jumpa…” ucap Lolly.

Fan tersenyum hangat, meski jelas terlihat ia tidak rela melepas gadis itu pergi. “Sampai jumpa, Lolly. Hati-hati.”

Lolly menarik napas dalam-dalam, merapatkan mantel, dan melangkah masuk ke dalam area bandara tanpa menoleh lagi—takut jika ia menatap ke belakang, kakinya akan berhenti.

Perjalanan baru telah dimulai.

Dan luka lama harus ia tinggalkan di belakang.

“Chris, aku pergi…” batin Lolly sambil menatap papan keberangkatan. “Semuanya akan aku simpan sebagai kenangan indah. Mungkin… kita tidak akan bertemu lagi.”

Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam bandara, semakin jauh dari kehidupan yang pernah ia jalani bersamanya.

Di sisi lain area bandara, sebuah mobil mewah berhenti di tempat paling tersembunyi.

Jendela belakang perlahan turun.

Chris duduk di dalam, wajahnya pucat dan mengenakan jaket tebal untuk menutupi tubuhnya yang masih lemah. Tatapannya mengunci pada sosok Lolly yang menjauh—langkah demi langkah menghilang melalui pintu kaca.

Mata Chris tampak tajam, tetapi di balik ketegasan itu tersimpan luka yang dalam, seolah setiap langkah Lolly adalah sebuah pukulan yang harus ia terima dalam diam.

Marco, yang duduk di kursi depan, melirik melalui kaca spion, ragu sebelum akhirnya bertanya pelan,

“Tuan… kita tidak tahu apakah nyonya akan kembali atau tidak. Kenapa kita tidak memberitahu kondisi Anda yang sebenarnya?”

Chris tidak langsung menjawab. Ia mengembuskan napas perlahan, seakan menahan rasa sakit yang bukan hanya dari luka tikaman.

“Untuk apa?” ucapnya akhirnya. Suaranya rendah namun tegas.

“Kalau dia tahu… dia akan merasa bersalah padaku, merasa berhutang budi. Dan dia bisa saja meninggalkan impiannya.”

Ia menatap kembali pintu keberangkatan, seolah berharap bisa melihat Lolly sekali lagi.

“Aku tidak ingin dia tinggal hanya karena merasa berhutang padaku. Aku tidak punya alasan lagi untuk menahannya.”

Hening sesaat.

"Lolly, kejarlah impianmu. Aku berharap kau berhasil dan bahagia. Kondisiku saat ini tidak layak mengejarmu lagi," batin Chris dengan mata berkaca-kaca.

"Mengenai Neliza, kata pengacara Yang dia akan di penjara selama beberapa tahun. Wanita itu juga ingin bertemu dengan Anda," ujar Marco.

"Aku tidak akan bertemu dengannya, setelah dia melahirkan, carikan keluarga yang baik untuk adopsi anak itu. Untuk terakhir kali aku melakukan ini demi temanku. Dan di sekaligus membuat Neliza hidup menderita tanpa anaknya," kata Chris.