NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permintaan untuk berkuliah

Satu Minggu telah berlalu Sejak hari pertama tinggal di rumah megah itu, Reva berusaha keras menyesuaikan diri. Ia belajar cara menyusun piring di rak kaca tanpa membuat suara berisik, menghafal nama-nama tanaman hias di teras, bahkan mencoba memanggil pembantu rumah tangga dengan sopan—bukan karena takut, tapi karena ingin dihargai sebagai bagian keluarga, bukan tamu.

Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda

Bu Laras masuk ke ruang makan dengan senyum lebar, rambutnya disanggul rapi, memakai kebaya sutra berwarna peach. Di belakangnya, Pak Hartono mengenakan kemeja batik lengan pendek, wajahnya cerah seperti baru saja menyelesaikan rapat yang sukses.

“Pagi, Nak,” sapa Bu Laras, lalu duduk di sebelah Reva. “Sudah sarapan?”

“Sudah, Ma. Nasi uduk sama telur ceplok—enak banget,” jawab Reva sambil tersenyum.

“Bagus! Karena hari ini kita akan bicara serius… tapi jangan tegang,” kata Bu Laras, matanya berbinar.

Raka yang baru masuk dari garasi—masih memakai kaos polonya terlihat semakin tampan “Serius,banget ? Jangan bilang kalian mau suruh kami pindah ke Bali.”

“Bukan, Bodoh!” Bu Laras tertawa, lalu melempar serbet ke arah anaknya. “Ini lebih penting dari liburan.”

Reva menelan ludah. “Ada… apa, Ma?”

Pak Hartono duduk di ujung meja, menatap Reva dengan pandangan hangat tapi tegas. “Reva, kami sudah mengamati kamu selama seminggu ini. Kamu rajin, jujur, punya hati yang besar, dan… sangat menghormati Raka.”

Reva memerah. “Saya… hanya berusaha jadi istri yang baik.”

“Dan kamu berhasil,” sambung Bu Laras. “Tapi, Nak… menjadi istri Raka bukan cuma soal masak sop buntut dan nyiapin kopi pagi.”

Raka mendengus. “Ma, jangan kayak sinetron.”

“Diam dulu, kamu!” Bu Laras menoleh ke suaminya. “Pa!, lanjutkan.”

Pak Hartono mengangguk. “Perusahaan kami—WIJAYA GROUP—sedang berkembang pesat. Raka akan segera diangkat jadi direktur operasional cabang Asia Tenggara. Tapi dia tidak bisa jalan sendirian. Dia butuh pendamping yang bukan hanya setia, tapi juga punya wawasan, bisa bicara di depan klien, dan… mengerti dunia bisnis.”

Reva menunduk. Tangannya menggenggam cangkir teh erat. “Saya… tidak pernah kuliah, Pak. Saya cuma lulus SMA. Dan itu pun… saya kerja sambil sekolah.”

“Kami tahu,” kata Bu Laras lembut. “Tapi itu bukan akhir cerita. Itu awal.”

Reva mengangkat wajah, bingung. “Awal…?”

“Kami ingin kamu kuliah,” kata Pak Hartono tegas tapi hangat. “Ambil jurusan Manajemen atau Hubungan Internasional. Kampusnya bebas—bisa di dalam negeri, bisa di luar. Kami yang urus semuanya: biaya kuliah, kos, buku, bahkan uang jajan bulanan.”

Reva terdiam. Matanya membelalak. “Tapi… kenapa, Pak? Saya bisa bantu Raka dari rumah. Masak, urus rumah, jaga kesehatannya…”

“Dan itu semua penting,” sambung Bu Laras. “Tapi bayangkan kalau suatu hari Raka diundang ke konferensi internasional di Singapura. Kau mau dia pergi sendirian? Atau kau mau berdiri di sampingnya, memakai blazer rapi, menjawab pertanyaan investor dengan percaya diri, lalu pulang bareng naik taksi sambil ketawa karena salah pesan kopi?”

Reva tertawa kecil. “Saya… belum pernah naik taksi bareng Raka,kecuali taksi online saat kami baru datang kemari .”

“Nah! Jadi ini kesempatan,” kata Bu Laras, matanya berbinar. “Kami tidak ingin kamu jadi ‘istri yang disembunyikan’. Kami ingin kamu jadi mitra hidupnya—di rumah, di kantor, di mana saja.”

Raka menatap istrinya, lalu berkata pelan, “Aku juga ingin itu, Va. Aku nggak mau kamu cuma jadi bayangan. Aku mau kamu bersinar—sendiri, dan bersamaku.”

Air mata Reva hampir jatuh. Tapi ia menahannya. “Tapi… biayanya pasti mahal, Ma. Saya nggak enak…”

“Enak-enak aja!” potong Bu Laras. “Kamu pikir kami kaya karena pelit? Kami kaya karena berbagi! Dan ini bukan hadiah—ini investasi. Investasi pada masa depan kalian berdua.”

Pak Hartono tersenyum. “Lagipula, kalau kamu lulus, kamu bisa langsung kerja di perusahaan kami. Jadi, kami nggak rugi. Malah untung—dapat menantu sekaligus karyawan andalan!”

Reva tertawa, kali ini lebih lepas. “Jadi… saya harus jadi Nyonya Direktur *dan* pegawai?”

“Tepat sekali!” sahut Bu Laras, lalu berbisik dramatis, “Tapi jangan khawatir—kami kasih gaji lebih tinggi dari Raka. Biar dia nurut!”

Raka pura-pura kesal. “Ma! Ini masih sarapan, bukan sidang direksi!”

Semua tertawa. Bahkan pembantu yang sedang menyajikan jus jambu ikut tersenyum.

***

Sore harinya, Reva dan Raka duduk di ayunan taman, dikelilingi aroma melati yang mulai mekar.

“Kamu benar-benar mau kuliah?” tanya Raka, memegang tangan istrinya.

Reva mengangguk. “Aku takut… tapi juga semangat. Aku selalu ingin kuliah, tapi dulu nggak punya kesempatan. Sekarang… Tuhan kasih aku kesempatan kedua.”

“Dan aku akan jadi suamimu yang setia—meski kamu sibuk belajar sampai lupa makan,” gurau Raka.

“Jangan khawatir,” Reva tersenyum. “Aku janji tetap masak sop buntut buat kamu… meski resepnya masih salah terus.”

“Yang penting bukan rasanya,” kata Raka lembut. “Tapi kamu yang masak.”

Mereka saling menatap—dalam diam yang hangat, penuh pengertian.

***

Malam itu, Bu Laras mengajak Reva ke ruang kerjanya—sebuah ruangan kecil di lantai dua yang penuh rak buku, foto keluarga, dan piala lomba memasak tahun 1998.

“Ini daftar kampus yang kami rekomendasikan,” kata Bu Laras, menyodorkan map berwarna krem. “Ada UI, Prasetya Mulya, bahkan universitas di Melbourne kalau kamu berani.”

Reva membuka map itu perlahan. Fotokopi brosur, jadwal pendaftaran, bahkan estimasi biaya hidup di luar negeri—semuanya rapi, terorganisir, dan… penuh harapan.

“Kenapa Mama dan Papa begitu yakin sama saya?” tanya Reva pelan.

Bu Laras duduk di kursi kulit tua, menatap menantunya dengan mata penuh kasih. “Karena aku lihat cara kamu merawat Raka saat dia terluka. Bukan karena kewajiban—tapi karena hati. Orang yang punya hati seperti itu… pasti punya otak yang cerdas dan tekad yang kuat. Kuliah cuma soal waktu dan latihan. Tapi karakter… itu lahir dari jiwa.”

Reva menunduk, tersentuh. “Terima kasih, Ma.”

“Jangan bilang terima kasih,” jawab Bu Laras sambil tersenyum. “Nanti kalau kamu jadi direktur, kamu yang bayarin kopi aku tiap minggu.”

***

Beberapa hari kemudian, Reva mulai proses pendaftaran. Dengan bantuan asisten pribadi Bu Laras, ia mengisi formulir, mengumpulkan dokumen, bahkan ikut tes psikologi dan wawancara—semua dibiayai penuh oleh keluarga Hartono.

Saat wawancara masuk, pewawancara sempat heran. “Ibu sudah menikah? Tapi masih muda sekali.”

Reva tersenyum tenang. “Saya menikah, Bu. Tapi saya percaya pernikahan bukan akhir dari mimpi—justru awal dari tanggung jawab yang lebih besar.”

Pewawancara itu mengangguk, lalu menulis sesuatu di catatannya: *“Calon mahasiswa dengan kedewasaan luar biasa.”*

***

Ketika hasil penerimaan keluar, Reva diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia—jurusan Manajemen. Ia berlari ke ruang keluarga, memeluk Bu Laras dan Pak Hendra sekaligus.

“Aku diterima, Ma! Pa!”

“Alhamdulillah!” seru Bu Laras, lalu berbisik, “Sekarang kamu resmi calon Nyonya Direktur Wijaya Group!”

Raka datang dari luar, basah kuyup karena hujan. “Apa? Kamu diterima?!”

Reva mengangguk, matanya berbinar. “Tapi kamu harus janji… jangan sombong pas aku jadi atasanmu nanti!”

Raka tertawa, lalu memeluknya erat meski bajunya basah. “Aku rela jadi office boy-mu, asal kamu tetap pulang ke rumah tiap malam.”

***

M Reva duduk di kamar, memandangi seragam kampus barunya—kemeja putih, rok hitam, tas kulit cokelat yang dibelikan Bu Laras.

Di pintu, Bu Laras muncul dengan secangkir susu hangat.

“Gugup?”

Reva mengangguk. “Kalau teman-temanku lebih muda? Kalau aku ketinggalan pelajaran? Kalau…”

“Kalau-kalau terus, nanti kamu nggak tidur,” potong Bu Laras sambil menyerahkan susu. “Dengar, Nak. Kamu bukan pergi ke kampus untuk jadi yang terpintar. Kamu pergi untuk belajar. Dan belajar itu tidak mengenal usia, status, atau latar belakang.”

Ia duduk di tepi kasur. “Aku dulu juga kuliah sambil jadi ibu rumah tangga. Raka waktu itu masih bayi. Aku sering ketiduran di kelas karena begadang ganti popok. Tapi aku lulus—dan jadi ibu yang lebih baik karena itu.”

Reva tersenyum. “Jadi… saya nggak sendirian?”

“Tidak pernah,” jawab Bu Laras lembut. “Keluarga ini selalu di belakangmu. Bahkan kalau kamu salah pilih jurusan, kami tetap bangga—karena kamu berani mencoba.”

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!