Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 14 Meski Begitu
Sejak tadi Leo merasa terperangkap dalam mimpi yang tak selesai, seolah masa lalu menekan kepalanya hingga nyeri. Namun tiba-tiba, semuanya terputus—adegan seperti dialihkan paksa. Ia berdiri di sebuah ruang putih tanpa ujung, tanpa permukaan, tanpa langit. Hanya kehampaan menyelubungi.
Di tengah kekosongan itu, ada satu hal yang nyata: sebuah makam. Nisan hijau pucat dengan nama Anna terpatri dingin, dikelilingi buket-buket bunga kering yang tampak rapuh, seolah pernah indah namun ditinggalkan waktu.
Leo menatapnya lama. Rasa sakit di kepalanya tak juga berkurang, justru kian menusuk—seakan setiap kelopak bunga kering yang gugur adalah serpihan ingatan buruk yang terus menghantuinya belakangan ini.
Selang beberapa menit, nyeri itu perlahan surut, digantikan sesuatu yang lain: sentuhan ringan, lembut, seolah menelusuri permukaan kulit wajahnya. Leo tercekat. Matanya mendadak terbuka lebar.
Dengan cepat ia mendongak, mencari pemilik tangan itu. Sekejap, wajahnya diliputi rindu yang lama dipendam, hampir pecah dalam kehangatan. Namun detik berikutnya, tatapannya mengeras. Alisnya berkerut tajam, seperti menolak kenyataan yang ada di hadapannya—Anna.
“Untuk apa orang yang sudah mati perlu muncul di hadapanku?” ketus Leo, suaranya pecah di tengah kehampaan.
Anna, dalam balutan gaun putih yang terkesan terlalu rapuh bagi sosoknya, hanya berdiri diam. Tatapannya pilu, seakan merasa kasihan melihat sosok rapuh di depannya.
Leo menggigit bibirnya, ingin menorehkan kalimat kejam lainnya—kata-kata yang mungkin bisa melindunginya dari rasa kehilangan. Tapi lidahnya kelu. Dada yang tadi penuh amarah mendadak hampa.
Perlahan wajahnya merunduk, bahunya bergetar. Kakinya menyeret lemah, dan tanpa sempat berpikir, ia merengkuh sosok itu ke dalam pelukannya—erat, seolah takut jika kehangatan itu kembali menghilang.
“Maafkan aku... Aku yang salah, Anna!” suaranya pecah di antara sesenggukan. “Aku akan lebih memperhatikanmu. Makanya... makanya kembalilah padaku, kumohon!”
Tangis Leo akhirnya tumpah, membasahi bahu perempuan itu. Namun di tengah pelukannya, ada keganjilan: tubuh Anna tak benar-benar hangat. Kehadirannya terasa rapuh, seperti kabut yang sewaktu-waktu bisa lenyap tertiup angin.
Dan benar saja. Ketika Leo ingin merasakan lebih jauh sentuhan yang kian samar, tubuh Anna perlahan memudar. Wajahnya merekah dalam pilu terakhir sebelum lenyap, bagaikan hologram yang tak pernah nyata. Dalam sekejap, sosok itu pecah menjadi ribuan kunang-kunang, menyebar dalam serpihan cahaya keemasan.
“Tidak! Tidak!” seru Leo parau. Tangannya terulur panik, berusaha meraih serpihan yang berhamburan, terbang tertiup angin yang semestinya tidak pernah ada di ruang putih itu.
“Setidaknya katakan sesuatu! Anna!” suaranya menggema, tetapi yang menjawab hanyalah sunyi. Protes itu luruh tanpa daya, ditelan kehampaan. Tangis Leo semakin deras, terisak tanpa henti hingga pasokan napasnya menjadi berlebihan. Dada pria itu terasa sesak, seolah udara yang ia hirup terlalu banyak justru mencekik dari dalam.
Ia tahu ini hanya mimpi—namun rasa sakit itu menusuk begitu nyata. Jemarinya mencengkeram erat baju di dada, kainnya kusut, kukunya memutih menahan perih.
Tubuhnya ambruk, hanya bertahan dengan satu tangan yang gemetar menahan beratnya. Dengan sisa tenaga, Leo mendongak. Pandangannya terarah pada makam Anna—yang kini ikut menghilang perlahan, kabur seperti layar film usang yang retak dan terdistorsi.
Di saat rasa sakit semakin menjadi, Leo akhirnya menutup rapat matanya. Tarikan napasnya tersengal, berusaha ia atur agar tidak pecah. Detik demi detik berlalu, hingga perlahan tubuhnya seperti didatangi sensasi lain—ringan, melayang, seakan dirinya tercerabut dari dunia putih itu.
Namun bukan ketenangan yang menyambut. Rasa melayang itu justru membawa Leo ke dalam pusaran gelap, tak berujung, di mana gema tangisnya sendiri masih terdengar jauh di belakang.
Lalu, samar-samar, suara lain mulai menyusup—bunyi mesin deteksi jantung, desis oksigen, dan langkah orang yang tergesa. Helaan napasnya berat, seperti baru kembali dipompa masuk ke dalam paru-paru.
Kelopak matanya bergetar, pelan tapi pasti. Cahaya menyilaukan menusuk masuk, membuatnya mengerang lirih. Jemarinya yang sempat kaku bergetar kecil di atas ranjang, dan perlahan tangannya mencoba menggenggam sesuatu.
“Ah... Hei, kau sudah siuman?” tanya suara seorang lelaki, nada suaranya sedikit tinggi namun tegas. “Tunggu sebentar, aku akan memanggilkan dokter,” sambungnya cepat, lalu sosok itu bergegas keluar, meninggalkan Leo seorang diri di kasur pasien.
Leo melirik lemah. Pandangannya buram, namun cahaya lampu dari plafon rumah sakit terasa menusuk matanya yang rapuh. Ia mengedip, mencoba fokus.
Tangannya kaku, dingin, dan berat—baru ia sadari ada selang infus menusuk kulitnya, menyalurkan cairan yang membuat tubuhnya terasa asing. Nafasnya masih berat, dada naik turun dengan ritme yang tak teratur.
Tidak lama setelah itu, sesosok perempuan berpakaian jas putih, yang ia tebak adalah dokternya datang. Bergerak memeriksannya dengan melontarkan beberapa prosedur dan pertanyaan ringan. Dan pria berambut merah itu, ada berada agak jauh di belakang, memperhatikan sangat fokus intruksi dokter.
Dokter perempuan itu menarik napas singkat sebelum menjelaskan, “Kondisi pasien saat ini bisa dibilang bagus, tapi untuk saat ini, pasien masih harus menjalani rawat inap agar kami bisa mengawasi fungsi hati, ginjal, dan kestabilan kesadarannya. Setelah benar-benar pulih, kami akan menyarankan perawatan lanjutan agar hal seperti ini tidak terulang lagi.” Kata-kata itu terasa berat, tapi Leo hanya bisa terdiam, menatap selang infus yang menusuk lengannya, menyadari betapa tipis jarak antara hidup dan mati yang baru saja ia lewati.
Setelah melemparkan beberapa penjelasan pada pria berambut merah—tentang kondisi Leo, obat-obatan, dan instruksi singkat untuk berjaga—sang dokter akhirnya melangkah pergi, meninggalkan ketukan sepatu yang perlahan memudar di koridor. Pintu kamar tertutup kembali, menyisakan hanya dengung mesin medis yang terhubung ke tubuh Leo.
Kini, hanya ada dua orang di ruangan itu: Leo yang terbaring lemah di kasur pasien, dan pria berambut merah yang berdiri tak jauh dari sisi ranjang. Tatapannya tetap fokus, kali ini bukan lagi pada instruksi dokter, melainkan pada sosok Leo yang baru saja kembali dari ambang kematian.
“Kalau aku tidak keras kepala meminta penjaga untuk membukakan pintumu, kau mungkin saja sudah mati, tahu?” suara Vincent terdengar meninggi, tapi bergetar di ujungnya.
Leo diam. Bukan karena tak mau menjawab, melainkan tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar membuka mulut.
“Sebenarnya berapa banyak kau minum? Kamarmu sudah seperti tempat pembuangan akhir,” lanjut Vincent, nada bicaranya antara protes dan cemas. “Banyak kaleng bir berserakan... dan bodohnya aku malah menawarkan diri jadi teman minum.” Kata-kata itu terlepas begitu saja, spontan, seperti luapan emosi yang sudah lama ditahan.
Mata hitam Vincent menatap lurus ke arah Leo. Ia menarik kursi dan duduk di sisi ranjang, lalu dengan ringan menyentil kening pria itu. “Kita baru bertemu dua kali, tapi kau selalu berhasil mengejutkanku dengan berbagai cara. Untuk yang ketiga kalinya nanti, apa yang akan kutemui, hah? Kematianmu?” ucapnya, suara yang semula bercanda berubah jadi getir.
Ia terdiam sejenak, menyadari kalimatnya terlalu jauh. “Maaf…” bisiknya cepat. “Untuk sekarang, istirahatlah. Biaya rumah sakit biar aku yang urus. Pastikan kau menggantinya setelah kau benar-benar sehat, ya.”
Meski terdengar seperti bicara sendiri, Vincent tidak peduli. Leo pun tampak tak keberatan. Anehnya, justru ada rasa tenang dan lega yang menyelinap dalam dirinya—rasa yang sudah lama tidak ia kenal. Entahlah, mungkin karena sudah lama tidak ada yang mengomelinya seperti ini. Bahkan Anna pun tidak pernah.
Mungkin karena rasa tenang itu, ketika Vincent hendak bangkit dan melangkah pergi, tangan Leo tiba-tiba terulur. Gerakannya lemah, nyaris goyah, namun cukup kuat untuk mencengkeram ujung lengan baju pria itu.
Vincent terhenti. Ia menunduk, menatap jemari pucat yang menahan langkahnya. Untuk sesaat ia hanya berdiri diam, seolah tak tahu harus bereaksi bagaimana. Tapi detik berikutnya, sorot matanya melunak—ia mengerti tanpa perlu kata-kata.
Dengan helaan napas, Vincent kembali menarik kursi yang sempat ia dorong, lalu duduk lagi di sisi ranjang, seakan tak pernah benar-benar berniat meninggalkan Leo.
***
Vincent keluar dari kamar kos dengan penampilan rapi sejak pagi. Wajahnya berseri, senandung kecil tak henti-hentinya mengiringi langkahnya. Melihat itu, Ben yang kebetulan juga keluar dari kamarnya tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Ada apa? Sepertinya pagi ini kau sedang sangat senang,” ucap Ben sambil memiringkan kepala, penuh rasa ingin tahu.
“Oh, pagi sekali. Mau kuliah?” balas Vincent bukannya menjawab, alih-alih menyinggung balik.
Ben terkekeh singkat. “Sebenarnya kuliahku baru mulai Senin. Tapi aku mau antar-jemput Lya. Dia ada kelas pagi, sedangkan kakinya masih agak sulit berjalan.”
Vincent mengangguk pelan, senyum geli terselip di bibirnya. “Mesra sekali, ya? Semoga hubungan kalian terus berjalan lancar, hmm?”
Kebahagiaan yang memancar dari wajah Vincent membuat Ben terdiam. Ia mencoba menebak-nebak, lalu akhirnya bertanya, “Apa thesismu berjalan lancar?”
Vincent terkekeh kecil, menggeleng. “Thesisku jelas tidak ada kemajuan… bahkan aku harus cari kerja lain untuk menambal pengeluaran bulan ini.”
Jawaban itu membuat Ben mengernyit. Tidak ada satu pun dari semua itu yang bisa menjadi alasan untuk tersenyum, apalagi bersenandung sejak pagi. Senyum Vincent terlalu lebar, terlalu ringan, seolah ia baru saja mendapatkan sesuatu yang tak bisa dibagi pada orang lain.
Justru di detik berikutnya, perasaan heran itu bergeser menjadi cemas. Ben menatap pria berambut merah itu lekat-lekat, bertanya-tanya dalam hati: jangan-jangan Vincent sedang berada di ambang kegilaan?
”Hei, Vincent... Kalau ada masalah jangan ragu untuk katakan padaku, ya? Aku mungkin bisa sedikit memberi dukungan...” ujar Ben hanya dibalas dengan tawa dari Vincent.
”Ahahahaha! Kau sebenarnya kenapa?” Vincent masih tergelak ”Yah... Kau tahu? Belakangan ini aku bertemu orang yang hampir mati.” Sekali lagi kalimat Vincent membuat Ben terdiam. Heran dengan hal yang sedang dialami oleh lawan bicaranya itu.
“Pertemuan pertama kami terkesan tidak bagus, dan kupikir dia orang brengsek, kau tahu? Tapi setelah aku menolongnya, dia semakin menempel padaku… kupikir orang itu tidak buruk.”
Vincent mengucapkannya dengan nada ringan, tapi sorot matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam. Ben memperhatikan wajah pria itu—ada guratan merah samar di pipinya. Vincent, yang biasanya begitu santai, kini tampak canggung, bahkan tersipu. Jelas, hanya dengan menyebut orang itu, pikirannya melayang terlalu jauh.
”Kau menyukainya?” goda Ben.
Vincent tidak menyangkal, hanya menampilkan senyum lebar yang sulit dibaca. “Yah, bukankah terlalu aneh ketika baru kemarin aku masih menyukaimu?”
Untuk ketiga kalinya, Ben dibuat bungkam. Kata-kata itu seperti batu besar yang jatuh di dadanya, menghentikan langkah sekaligus pikirannya. Ia hanya berdiri kaku di parkiran kos, membiarkan Vincent berjalan santai melewatinya.
Pria berambut merah itu terus melangkah tanpa menoleh, menuju motornya terparkir. Dengan gerakan ringan, ia menyalakan motor besarnya, membiarkannya panas beberapa menit seakan tak terjadi apa-apa. “Hei, aku duluan, ya!” seru Vincent, sebelum melesat pergi—meninggalkan Ben yang masih terpaku di tempat, syok, tak tahu harus merespons apa.
Suara mesin motor Vincent menderu kencang, meluncur seakan mampu membelah angin pagi. Meski adrenalinnya terpacu, ia tetap mematuhi rambu lalu lintas, tidak sekali pun tergoda untuk ugal-ugalan. Jalanan macet yang biasanya membuatnya geram kini terasa lebih mudah ditanggung. Bahkan ketika ada pengemudi sembrono menyalip seenaknya, Vincent hanya tersenyum tipis tanpa repot-repot menekan klakson. Rasa senang yang mengisi dadanya seolah menjadi peredam bagi semua hal kecil yang biasanya mengusiknya.
Sudah dua hari berturut-turut Vincent rutin datang ke rumah sakit hanya untuk menjenguk dan merawat Leo. Selama itu pula ia tidak pernah melihat seorang pun yang datang mengaku sebagai wali atau keluarga Leo. Dari situ, Vincent mulai menyimpulkan bahwa pria itu mungkin benar-benar sebatang kara. Bahkan sejak kemarin, Leo tampak enggan melepaskannya pergi, seakan tidak ingin kembali dibiarkan sendiri. Anehnya, bukannya merasa terbebani, Vincent justru senang. Ada kepuasan tersendiri yang ia rasakan—sensasi hangat saat dirinya benar-benar dibutuhkan oleh seseorang.
Tidak butuh waktu lama bagi Vincent untuk tiba di rumah sakit. Langkahnya ringan, nyaris seperti melayang, menyusuri lorong-lorong putih yang berbau antiseptik. Kunci motor masih ia putar-putar di jemarinya, sementara bibirnya tak berhenti bersenandung riang. Sesekali ia melontarkan sapaan pada perawat yang lewat atau pasien rawat inap yang ia kenal samar, membuat beberapa dari mereka tersenyum tipis menanggapi keriangan itu.
Tanpa terasa, ia sudah berdiri di depan pintu kamar Leo. Seperti kebiasaannya, Vincent tidak pernah repot-repot mengetuk pintu. Dengan santai ia mendorong gagang pintu, lalu membukanya lebar-lebar sembari menyerukan nama Leo dengan suara lantang—meski ia tahu, teguran dari perawat karena terlalu berisik pasti akan segera menyusul.
Namun hari ini berbeda. Begitu pintu terbuka dan suaranya memenuhi kamar, yang terdengar selanjutnya bukanlah teguran perawat, melainkan suara tamparan keras yang memecah udara. Vincent sontak membeku di ambang pintu. Suara itu jelas datang dari dalam kamar, bukan dari luar, dan bukan pula dirinya yang menjadi sasaran.
Matanya segera menangkap pemandangan mengejutkan: pipi Leo memerah, terbakar bekas tamparan. Dan di sisi ranjang, berdiri seorang pria paruh baya berperawakan kasar, tangannya masih terangkat setengah tinggi, seakan belum sepenuhnya puas dengan satu tamparan barusan.
Keceriaan yang tadi terpancar dari wajah Vincent pun seketika hilang, berganti tegang. Ia menatap bergantian antara Leo yang terkulai dengan wajah terkejut, dan sosok asing itu yang kini memalingkan pandangan, menatap Vincent dengan tatapan dingin penuh tantangan.
“Hahhh… Pokoknya, keluar dari rumah sakit hari ini dan pulanglah! Kubiarkan kau malah begini! Lebih baik fokus untuk meneruskan bisnis keluarga! Dasar anak tidak tahu diuntung!” hardik lelaki itu dengan suara menggelegar, seakan tak memberi ruang bagi Leo untuk membela diri.
Sebelum beranjak keluar, pria itu menoleh. Tatapan matanya bertemu dengan Vincent. Sekilas, Vincent bisa melihat jelas mata cokelat yang menusuk, surai hitam disisir rapi ke belakang, dengan guratan uban samar yang justru menambah kesan wibawa keras.
“Minggir,” ucapnya dingin. Lengan kokohnya mendorong kasar pundak Vincent ketika melewati pintu, meninggalkan aroma aftershave tajam yang menusuk hidung. Vincent nyaris goyah, tapi bukan itu yang membuatnya tercekat—melainkan rasa heran yang semakin menumpuk, bercampur dengan sisa syok atas apa yang baru saja disaksikannya.
Pintu tertutup. Dan di dalam kamar yang tiba-tiba sunyi, Vincent kini hanya bisa menatap Leo yang terbaring, wajahnya menyimpan kelelahan.
”Ayahmu?” Vincent memecah keheningan, tapi kakinya tidak dapat beranjak dari ambang pintu yang telah tertutup. Leo hanya melirik tajam sebelum akhirnya menghela nafas panjang.
”Aku sedang tidak mood, kau pulanglah hari ini,” titah Leo.
”Hei, tapi mulutmu berdarah. Setidaknya harus diobati...” Dengan ragu, Vincent melangkah mendekati. Menipiskan jarak mereka untuk melihat kondisi sisi bibir Leo yang terdapat sedikit luka.
Leo yang sudah kesal, semakin dibuat kesal karena kekeras kepalaan Vincent. Ia pun mendecakan lidah. Menepis kasar tangan itu dengan muak yang jelas tertulis di wajahnya. ”Sialan, kubiarkan kau mendekatiku beberapa hari dan sudah merasa kita sahabat?” sinis Leo, kini sukses membuat Vincent ikut tersulut.
“Hei, apa-apaan! Kau hampir mati di depan mataku, dan aku yang menolongmu!” bentak Vincent, nadanya meninggi.
“Aku sudah selamat. Dan aku juga sudah membayar kembali uangmu. Itu cukup, kan? Jadi pergilah. Kau tak perlu khawatir, aku tidak akan mati di hadapanmu lagi,” balas Leo, dingin.
“Itu bukan soal uang atau nyawamu! Kenapa kau bisa sebodoh ini—sebegitu tidak tahu terima kasihnya?!” Vincent menahan napas, emosi memuncak. “Dasar brengsek!”
Leo menggeram lirih, giginya terkatup rapat. Vincent benar-benar jenis manusia keras kepala yang membuatnya kehilangan kendali. Terlebih suasana hatinya sudah kacau karena tekanan ayahnya barusan. Dorongan untuk memukul Vincent sempat melintas, tapi ia tahu, dengan wajah ganas pria itu, satu pukulan hanya akan dibalas lebih keras.
Dan sebelum akalnya sempat menimbang lagi, tubuh Leo bergerak lebih dulu. Ia meraih lengan Vincent, menariknya kuat hingga pria itu terhempas ke ranjang pasien bersamanya. Dalam gerakan cepat, hoodie Vincent disibaknya, menyingkap dada bidang yang terekspos begitu saja.
“Sejak awal… ini kan alasanmu terus mendekatiku?” suara Leo rendah, sarkastis, nyaris seperti ejekan. “Baiklah, akan kuberikan lagi. Kau pasti merindukan rasanya ditiduri, hah?”
Wajah Vincent seketika memucat, panik. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru terjadi. Tubuhnya menegang, tidak tahu harus menolak, melawan, atau bicara.
”Awas saja sampai mengeluarkan suara, akan kulempar kau keluar kamar dengan kondisi paling memalukan.” Leo berucap tajam, terdapat ancaman di dalamnya, sebelum merendahkan tubuhnya untuk mencari bibir Vincent dan melahapnya secara ganas. Anehnya, seperti pertama kali, Vincent masih tidak bisa menandingi tenaga pria itu—meski Leo sedang dalam kondisi tidak fit sekali pun.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿