Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 15
Langit sore mulai meredup, Zean masuk kedalam ruang kerjanya. Jas yang dipakai sudah dilepas, kemeja bagian atas terbuka dua kancing, dan wajahnya terlihat lelah. Ia menjatuhkan tubuh ke kursi kerjanya dan membuka laptop sambil mengecek beberapa laporan.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Ray,
Zean langsung mengangkat.
“Ada apa?” Tanyanya singkat.
“Tuan ada sesuatu yang harus anda lihat,” ujar Ray, suaranya terdengar hati-hati.
“Apa lagi sekarang?” Zean menghela napas pelan.
“Insiden di mall tadi sore Tuan, nona Nara di serang Lusi.”
Zean mendadak duduk lebih tegak. “Lusi? Kamu yakin?!”
“Yakin, Tuan. Saya punya videonya. Mau saya kirim sekarang?” Tanya Ray, karena biasanya Tuannya dijam segini masih saja sibuk bekerja. Tak ada salahnya ia bertanya takut mengganggu kesibukan pria itu.
“Ya,” jawab Zean singkat.
Beberapa detik kemudian, sebuah video masuk ke ponselnya. Zean segera memutar video yang berdurasi hampir dua menit itu. Sorotan matanya semakin menajam saat melihatny.
Layar memperlihtkan suasana mall. Dimana Lusi menjambak rambut Nara dari belakang. Teriakan terdengar samar. Orang-orang megerubungi mereka, mulai merekam. Sorot wajah Nara yang menahan diri, lalu…
PLAK!
Tamparan keras dari Nara, dan kemudian kata-kata gadis itu membuat Zean menatap layar tanpa berkedip.
“Calon suami mu? Hah, kau hanya masalalunya. Jadi tidak ada istilah aku merebutnya dari mu! Justru dia lah yang datang padaku.”
Zean mengepalnya tangannya, napasnya seketika memburu. Saat video yang diputar berhenti, ia masih terapaku dengan isi kepalanya.
Perlahan, ia berdiri. Langkah berat itu berjalan menuju jendela kaca besar yang menghadap ke arah langit kota yang mulai gelap.
“Bodoh…”gumamnya pelan. Tapi bukan untuk Nara. Namun untuk dirinya sendiri.
Dia merasa bersalah, walaupun Dia tidak mencintai istrinya itu. Tapi dia lah yang membawa Nara kedalam situasi ini, gadis itu tidak bersalah ia sudah cukup terluka. Bahkan gadis muda itu harus menanggung amarah dari masa lalunya sendiri.
Zean kembali berjalan ke arah mejanya, kembali duduk di kursi empuk itu, mengetik sesuatu di laptop, lalu dengan cepat memencet interkom yang menghubungkan Ray.
“Bersihkan semua keributan tadi, tidak ada satupun yang tertinggal di media. Dan satu lagi…”dirinya diam sejenak, menarik nafas pelan.
“Apa, Tuan?”
“Lindungi Nara, diam-diam. Pasang orang kita untuk jagain dia. Kalau Lusi menyentuhnya lagi, aku yang turun tangan.”
Ray terdiam sesaat, “Baik,Tuan.”
Zean menutup panggilan. Menyandarkan dirinya pada kursi, memejamkan mata sebentar. Diantara semua kekacauan ini, satu hal yang pasti sudah terasa jelas.
Nara, gadis yang tak bersalah itu bukan lah sekedar tanggung jawabnya lagi. Dia gadis yang berdiri sendirian ditengah hinaan itu. Yang tidak tahu apa-apa kini telah diserang oleh bayangan masalalu Zean sendiri.
Tangannya mengepal, diam di atas meja. Entah sejak kapan, tapi layar laptopnya sudah tak lagi menampilkan apa pun selain pantulan wajahnya sendiri, dan itu pun samar.
Zean mengembuskan napas perlahan, menahan amarah yang mendidih. Ia terlalu sibuk menjaga masa lalu, sampai lupa bahwa seseorang yang bahkan tak pernah minta tempat dalam hidupnya, kini jadi korban.
Nara. Gadis yang tidak minta dinikahi, tak mnta juga dikasihani. Tak pernah sekalipun menjual lukanya sebagai alasan untuk menarik simpati.
Dan apa kini yang terjadi?, Nara justru justru berdiri di tengah keramaian, menahan amarah, menahan malu, dan menahan harga dirinya agar tak ikut runtuh.
Zean membuka laci, mengambil sebuah map coklat. Di dalamnya, data-data Nara dari penyelidikan awal. Ia menatap foto gadis itu. wajah polos, mata teduh yang entah bagaimana… kini jadi beban di benaknya.
Beban yang dia ciptakan sendiri.
“Dia bahkan nggak pernah minta apa-apa dariku…” gumamnya pelan. “Tapi sekarang harus dibenci, dihina, diseret karena aku.”
Zean berdiri lagi, kali ini tubuhnya tegak. Sorot matanya tajam, dingin, namun bukan untuk menunjukkan kekuasaan, melainkan ketegasan yang lahir dari kesadaran.
Ia mengambil ponsel, mengetik cepat pesan pada Ray.
“Awasi Lusi. Jangan hanya sekadar lindungi Nara. Aku ingin tahu siapa yang Lusi hubungi, siapa yang mungkin jadi senjata nya.”
“Kalau perlu, beli semua rekaman CCTV dari mall tadi. Pastikan satu hal video itu tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan Nara.”
Ia menatap layar ponsel yang kini padam. Hening. Sunyi.
“Nara nggak akan berdiri sendirian lagi.”
Zean tahu ini bukan cinta. Perasaannya belum sejauh itu.
Tapi dia juga tahu, ada batas di mana dia tidak bisa lagi menonton dari jauh.
Dan sore itu, di antara langit kota yang mulai gelap,Zean akhirnya sadar.
Jika Nara harus terus berdiri di tengah badai,
maka dia harus belajar berdiri di sebelahnya.
Mau dia cinta atau tidak.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Suara hujan menemani perjalanan pulang Nara. Di kursi belakang taksi, ia hanya diam memandang jendela yang basah oleh gerimis. Tangan kanannya terus gemetar, meski Pak Riyo beberapa kali menoleh cemas ke arah anak gadis itu lewat kaca spion.
“Nak… kamu kenapa? Mau ceritain sama bapak?”
Nara tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan tanpa menoleh.
Pak Riyo tak ingin memaksa. Ia mengenal Nara seperti anaknya sendiri. Jika gadis itu diam, berarti luka di hatinya terlalu dalam untuk diceritakan.
Sekitar dua jam berlalu hingga mereka tiba di depan rumah kecil bercat biru itu. Nara turun dalam diam, hanya sempat berbisik lemah, “Terima kasih, Pak.”
“Nara… apapun masalahmu, jangan dipendam sendiri. Bapak sama ibu selalu ada buat kamu, Nak.”
Nara mengangguk perlahan, lalu masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
Begitu pintu tertutup, air matanya pecah. Ia jatuh terduduk di balik pintu. Tubuhnya lemas. Seperti tak ada sisa tenaga untuk menangis, tapi ia tetap menangis.
Malam itu, Nara sendirian.
Dan kesepian tak pernah terasa seberat ini.
Nara berjalan pelan menuju kamar orang tuanya. Ia memeluk bingkai foto lama itu seperti memeluk seseorang yang tak lagi ada.
“Bapak… Ibu… aku lelah…”
Suara isaknya terdengar lirih.
“Aku coba kuat… tapi kenapa rasanya sesakit ini…?”
Hujan di luar rumahnya semakin deras.
Tapi di dalam kamar kecil itu, hanya ada tangis yang lebih deras.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Suasana malam di kota sudah lengang. Di ruang kerja yang sepi, Zean duduk membisu. Lampu gantung mewah di atas kepalanya terasa tak berguna, tak mampu menerangi pikirannya yang kacau. Di layar laptopnya, video dari Ray terus terputar, wajah Nara yang selalu membyanginya, wajah gadis muda yang begitu kalut dengan amarah.
Zean memejamkan mata, rahangnya mengeras.
Bukan Lusi yang menghantuinya malam ini.
Tapi Nara.
Perempuan asing yang hidupnya dihancurkan olehnya. Bukan karena cinta. Bukan karena dendam. Tapi karena luka lama yang tak pernah ia selesaikan.
Tangannya mengepal di atas meja. Ia membenci dirinya sendiri. Dan diam-diam, ia mulai lelah.
Lelah menyimpan dendam pada orang yang tak lagi peduli.
Lelah menjadikan Lusi alasan untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, ia mengambil ponsel. Jemarinya berhenti di daftar kontak.
Ragu.
Namun akhirnya ia menekan tombol panggil.
“Ray.”
Suara di seberang terdengar mengantuk. “Iya, Tuan?”
“Aku mau bertemu Lusi.”