NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:792
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Waktu Yang Terbatas

"Wahhh!"

Shavira menatap kagum ke segala arah. Interior mall itu benar-benar memanjakan mata—lampu-lampu kristal menggantung megah, lantai marmer mengilap, toko-toko berjejer mewah seakan berlomba-lomba menarik perhatian. Ini pertama kalinya Shavira masuk ke mall termegah di kota ini. Dulu ia terlalu hemat, jarang sekali memberi dirinya hadiah. Hidupnya terasa kaku, sampai-sampai usianya hanya tinggal seupil. Tapi kini, ia tak mau mati dengan perasaan menahan diri. Sisa hidupnya akan dipakai untuk menikmati apa yang ia inginkan.

"Yuk, let’s go! Filmnya bentar lagi mulai!"

Shavira sudah melangkah cepat ke arah studio. Sam masih diam di belakang, wajah datarnya tak berubah.

Shavira menoleh sambil mendengkus.

"Yaelahh... malaikat maut hidupnya monoton banget! Gak pernah ke mall apa sih?" ejeknya sambil menunggu Sam menyusul.

Tanpa ragu, Shavira menggenggam tangan Sam. Lelaki itu sempat menoleh, tapi tak berkata apa-apa, hanya membiarkan Shavira menariknya masuk.

Begitu lampu studio meredup, jantung Shavira mulai berdebar. Film yang dipilihnya adalah horor yang baru rilis dua minggu lalu. Ia menaruh popcorn dan americano di tempat cup holder, mencoba santai meski wajahnya jelas tegang. Musik mencekam langsung menggema seisi ruangan. Shavira buru-buru menyumpal mulutnya dengan popcorn, seolah camilan itu bisa menahan rasa takutnya.

Sementara Sam hanya duduk bersandar, sama sekali tak terganggu. Sesekali, matanya melirik Shavira—yang tampak lebih sibuk berkomentar ketimbang menonton.

Plak!

"Gilaaa! Lo liat tuh Sam?! Hantunyaaa! Astaga, bodoh banget si cewek, kenapa nggak liat sih?!"

Sepanjang film, Shavira:

30% ngomel, 30% ketakutan, 40% sibuk mukul Sam—mulai dari lengan, dada, sampai kepala. Sam hanya mendesah pelan tiap kali kena serangan tangan kecil itu, tetap tanpa ekspresi berarti.

Film berakhir, lampu menyala. Penonton bubar dengan wajah lega. Tapi Shavira masih saja sibuk komat-kamit, mengkritik tokoh utama yang menurutnya bego banget.

Hingga matanya terpaku pada sebuah mesin capit boneka warna pink yang berkilau di pojok lorong. Senyumnya langsung merekah.

"Sem! Sekarang giliran lo!"

Ia menarik lengan Sam sampai pria itu berdiri tepat di depan mesin. Sam menatap dingin, bingung harus berbuat apa. Dengan sabar, Shavira menunjukkan tombol-tombolnya, menggerakkan joystick, menekan tombol capit.

Lalu giliran Sam.

Dengan tangan tenangnya, capit itu turun, klik!—boneka terangkat dengan mudah.

Shavira melotot, kepalanya menggeleng tak percaya. "Hah?! Lo hoki banget!" teriaknya sambil memungut boneka pertama.

Permainan berlanjut. Satu demi satu boneka berhasil dicapit Sam tanpa banyak usaha. Shavira girang, mengumpulkannya ke dalam paper bag besar.

"Yang itu tuh! Gue pengen gajah pink itu!" tunjuknya penuh semangat.

Sam mengarahkan capit dengan presisi. Klik! Boneka gajah merah muda berhasil dibawa keluar. Shavira sampai melompat kegirangan, memeluk boneka itu erat-erat.

Keluar dari mall, Sam menenteng paper bag berisi hadiah, sementara Shavira berjalan di sampingnya, menggendong boneka gajah kesayangannya.

"Lo laper nggak?" tanya Shavira ceria.

Sam menggeleng. "Aku tidak bisa lapar."

Shavira mengedikkan bahu. "Ah iya, lupa. Lo kan malaikat. Gue sih laper banget, pengen soto!"

Ia mengedarkan pandangan mencari warung makan. Pandangannya berhenti pada deretan kaki lima dengan aroma sate yang semerbak. Plang bertuliskan Sate Madura membuat perutnya berbunyi.

"Yah, bukan soto. Tapi sate madura juga enak sih," gumamnya.

Mereka masuk ke warung sederhana namun bersih itu. Aneka sate dari madura, padang, hingga sate ayam biasa—tertata rapi di etalase. Shavira langsung memesan dengan mata berbinar.

"Buk, saya pesen sate madura satu, sama sate padang satu ya, buk!"

Ibu berhijab hitam di balik etalase mengangguk, lalu mempersilakan mereka duduk. Shavira memilih meja pojok yang menghadap ke jalan. Malam itu jalanan padat, lampu kendaraan berkelip tak beraturan, ditambah gerimis tipis yang membasahi aspal, menciptakan suasana syahdu.

Shavira bersandar sambil menatap ke luar, sementara Sam duduk diam di depannya, bagai patung hidup. Senyum kecil muncul di bibirnya—bukan karena sate, bukan pula karena boneka pink yang ada di pelukannya. Tapi karena, untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya terasa… lebih hidup.

🥓🍢🥛

"Ini, Kak... pesanannya," ucap salah satu pelayan warung sambil menaruh dua piring sate di meja.

Shavira langsung sumringah. "Makasih ya, Mbak," balasnya ramah. Begitu pelayan pergi, tangannya sudah tak sabar meraih satu tusuk sate. Tanpa pikir panjang, ia melahapnya.

"Mmmm—" matanya merem melek, mulutnya penuh. "GILAA! Ini sih bukan kaleng-kaleng... rasanya kaya sate hotel berbintang lima!" serunya sambil menggebrak meja kecil itu.

Beberapa pengunjung lain sempat melirik. Sam hanya menggeleng pelan, menatapnya dengan ekspresi campuran aneh dan heran.

"Dasar... makan aja masih aja cerewet," gumamnya datar.

Tapi Shavira tidak peduli. Tusuk demi tusuk sate lenyap dari piringnya. Hingga habis, ia bersendawa kecil sambil mengusap perut yang sudah kekenyangan.

"Gila sih... nikmat mana lagi yang engkau dustakan, wahai Shavira," ucapnya dramatis, lalu terkekeh sendiri.

Sam menatapnya lama, pandangannya seperti berkata, “nih bocah, kayak nggak pernah makan setahun.”

Shavira ikut menatap balik. "Ngapain lo liatin gue begitu?" tanyanya sambil mengernyit.

Sam tidak menjawab, hanya mengulurkan tangan pelan dan menyentuh sudut bibir Shavira. "Kalau makan, jangan kebanyakan ngomel."

Shavira terdiam, refleks memegang sudut bibirnya yang tadi disentuh lelaki itu. Apaan sih? Gue belepotan banget ya tadi? batinnya panik. Ia menatap Sam lagi, kali ini bingung sekaligus… agak salah tingkah.

"Jangan bilang lo... udah mulai naksir sama gue, ya?" ucapnya lirih, hampir berbisik.

Sam mendesah pelan, lalu menyentil dahinya tanpa ampun.

"Jangan berlebihan," katanya singkat.

"Awww!" Shavira meringis sambil mengusap dahinya. "Ihh, lo nggak asik banget!" cemberutnya.

Ia berdiri, melangkah ke kasir untuk membayar makanannya. Selesai, ia berdiri di dekat pintu, melambai singkat ke arah Sam, memberi kode untuk segera beranjak.

.

.

.

💧

Mereka berjalan berdampingan menuju halte. Tak ada percakapan, hanya suara hujan gerimis yang jatuh di atas aspal, berkilau diterpa lampu jalan.

Sampai tiba-tiba Shavira membuka suara.

"Kira-kira... kalau nanti gue mati, gue di mana ya?" suaranya pelan, tapi cukup jelas terdengar di sela rintik hujan.

Sam menoleh, menatapnya dalam. "Masih di sini... cuma alamnya beda."

Shavira terdiam, lalu mengangguk kecil, seolah benar-benar mengerti apa maksudnya. Tapi hatinya entah kenapa terasa dingin mendengar jawaban itu.

"Sam..."

Langkah Shavira berhenti. Kakinya terpaku di trotoar yang basah. Sam ikut menoleh, keningnya berkerut, seolah bingung dengan alasan gadis itu tiba-tiba berhenti.

Shavira menggigit bibir bawahnya, menatap lekat pria itu. Suaranya pecah, lirih.

"Kenapa harus gue?"

Sam diam, pandangannya dingin, namun matanya tak lepas dari wajah Shavira.

"Kenapa harus gue yang mati? Gue... masih mau hidup."

Shavira tertawa kecil, getir, lebih mirip tangis yang tertahan. "Lo bener, hidup gue memang menyedihkan. Dari kecil gue ditinggal orang tua, hidup sama bibi yang nggak pernah nganggap gue keluarga..." suaranya tercekat, napasnya tersengal.

Ia berusaha tersenyum samar, meski bibirnya bergetar. "Dan sekarang gue harus mati muda? Kenapa hidup gue sepahit ini?"

Shavira menunduk, bahunya gemetar. "Apa lo nggak bisa... nunda kematian gue sebentar aja?" bisiknya, nyaris putus harapan.

Ia menarik napas dalam, mencoba menahan tangis yang nyaris pecah. "Tolong... sebentar aja. Izinin gue bahagia sebentar lagi."

Yang terdengar hanyalah suara hujan, jatuh deras menabrak aspal, menenggelamkan doa lirih Shavira yang tak tahu didengar atau tidak.

Gadis itu mendongak, menahan tangis sekuat tenaga. Matanya merah, tapi ia enggan memperlihatkan kelemahannya. Ia menolak terlihat hancur, bahkan di hadapan malaikat maut.

Sam berdiri diam beberapa saat, membiarkan hujan terus menenggelamkan semua suara. Matanya tak beralih dari Shavira yang kini hampir runtuh di hadapannya.

Lalu, dengan suara rendah dan tenang, ia akhirnya membuka mulut.

"Bahagia... kadang tidak butuh waktu lama. Kadang cukup sebentar untuk jadi alasan kamu kuat sampai akhir."

Setelah itu, ia kembali diam. Tatapannya tetap menusuk, seolah berkata lebih banyak daripada kata-katanya sendiri.

Shavira menatapnya dengan mata berkaca-kaca, dadanya sesak. Ia tidak tahu apakah harus marah, menangis, atau menerima. Yang jelas, malam itu, di bawah hujan, ia sadar satu hal—waktunya benar-benar terbatas.

---🍃🍂

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!