Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Campuri Urusanku
“Pak, aku titip Dela sebentar ya. Aku ada janji sama teman.” Fitri berpamitan pada Mardi yang tengah duduk di teras.
Dela-nya masih tidur?” tanya Mardi.
“Masih, Pak,” angguk Fitri.
“Ya udah.”
Fitri mencium punggung tangan Mardi takzim, lalu melangkah keluar gerbang. Tukang ojek online sudah menantinya di luar.
Senyum Fitri yang tadi ramah saat berpamitan dengan bapak mertuanya berubah jadi senyum dingin.
“Langsung ke lokasi ya, Mas.”
Tukang ojek online itu mengangguk dan melajukan motornya. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk Fitri sampai di sebuah rumah. Ia lantas turun dari motor, mengucap terima kasih, dan berjalan dengan dada tegak, langkah mantap, dan tatapan tajam seolah bisa menembus pintu hingga ke dalam rumah.
Fitri mengetuk pintu sekali.
“Mela! Keluar kamu!” seru Fitri, menggedor pintu rumah Mela.
“Mela! Aku tahu kamu di dalam! Keluar!”
Mela sedang memasak saat suara perempuan di luar sana terdengar nyaring sambil terus menggedor pintu rumahnya. Mela menelan ludah. Ia mematikan kompor dengan tangan bergetar.
“Mela! Keluar kamu, pelakor!”
Mela menggigiti kukunya. Ia meraih ponselnya di atas meja makan dan gegas melakukan panggilan pada satu nomor yang bisa membantunya.
“Halo, Mela.”
“Ha-halo, Tom. Tom, Fitri ke sini. Tom, dia ada di luar rumahku sekarang. Aku harus apa, Tom?” Suara Mela bergetar.
“Apa? Kamu yakin itu dia?”
“Siapa lagi yang menyebutku pelakor kalau bukan dia. Dia tahu rumahku, Tom. Aku harus gimana?”
“Jangan keluar apapun yang terjadi. Tetaplah di dalam. Aku telepon dia sekarang.”
Mela mengangguk dan mematikan panggilan. Ia terduduk lemas di kursi. Berharap Tomi bisa segera meminta Fitri pergi. Ia tak perlu melihat siapa wanita di luar. Selama ini hanya Tomi yang berhubungan dengannya. Sudah pasti jika wanita itu meneriakinya pelakor, itu artinya istri Tomi yang datang.
Fitri masih berdiri di luar. Tangannya masih menggedor pintu dengan kencang. Napasnya terengah, kesal karena Mela tak keluar dari rumah.
Fitri menurunkan tangannya saat nada dering ponselnya berbunyi. Merogoh ponselnya di dalam tas, Fitri membelalakkan matanya. Tubuhnya sontak menegang. Dengan ragu, ia menggeser layar ponselnya.
“Tomi?”
“Dimana kamu?”
Fitri menoleh ke kanan, kiri, lalu ke belakang. Mencari tahu, apa Tomi ada di sekitarnya sekarang?
“A-aku lagi di luar. Kenapa?”
“Pulang!”
Fitri menelan ludah. Satu ucapan Tomi berupa perintah. Yang jika tidak ia lakukan, ia akan mendapat amarah dari pria itu.
“Dimanapun kamu sekarang, pulang, Fitri! Aku kerja kamu malah kelayapan di luar rumah!”
“T-tapi, Tom—“
“Pulang, Fitri! Sekarang!”
Fitri menghela napas kesal. Ia menatap tajam pintu di depannya lalu mendengus. “Ya. Aku pulang sekarang.”
Fitri mengepalkan tangan. Ia lantas balik badan, menjauhi rumah Mela. Sesekali ia menoleh ke belakang. Bibirnya tersenyum sinis.
“Pasti kamu yang menelepon Tomi. Dasar wanita rendahan! Perebut laki orang!”
Gagal bertemu dengah Mela, Fitri kembali ke rumahnya. Mela yang mengintip dari sela tirai jendela, mengembuskan napas lega. Ia mengirimkan pesan pada Tomi.
[Mela: Dia sudah pergi. Terima kasih, Tom.]
Tak butuh waktu lama, Tomi langsung membalasnya.
[Tomi: Sama-sama, Mel. Kalau dia datang lagi, hubungi aku.]
Mela tersenyum lega. Untunglah Fitri datang di saat tetangga sebelahnya sudah berangkat bekerja. Ia tak bisa membayangkan keributan apa yang akan terjadi kalau dia tadi membuka pintu.
Sepulang bekerja, Tomi langsung mencari Fitri di kamar. Ia bahkan mengabaikan sapaan orang tuanya yang tengah duduk santai di ruang tamu.
“Kemana kamu tadi siang waktu ku telepon?” Tomi langsung bertanya begitu melihat Fitri yang duduk di meja rias.
“Beneran kamu nggak tahu aku kemana? Bukannya dia udah hubungin kamu dan minta kamu buat nyuruh aku pulang?” Fitri balas bertanya dengan nada sinis.
Tomi menarik napas pendek sambil menutup matanya sebentar. “Kamu mau mancing keributan di tempat orang lain?”
“Mungkin.” Fitri menjawab pendek, mengedikkan bahu.
“Jangan ikut campur urusanku. Kamu memang istriku, tapi kita menikah bukan karena cinta. Sadar itu.” Suara Tomi datar, tapi menusuk.
Fitri mendekat hingga jaraknya dan Tomi hanya sebatas napas.
“Oh ya? Terus Dela lahir dari mana? Dia lahir dari cinta kita berdua, Sayang.”
Tomi melangkah mundur satu langkah. “Jaga batasanmu. Sudah ku bilang dari awal diantara aku dan Mela, tak ada hubungan apapun.”
“Kamu pikir aku percaya? Aku pernah berada di posisi Mela saat kamu masih berpacaran sama Mega. Aku bukan wanita yang dengan polosnya percaya kalau diantara kamu dan dia hanya berteman. Semua itu bohong!” Suara Fitri meninggi, menatap lekat mata suaminya.
“Terserah! Tapi, aku nggak mau kamu datang ke rumahnya lagi terus melabrak dan membuat keributan.”
“Emangnya kenapa kalau aku mau ke sana lagi? Aku mau lihat dengan mata kepalaku sendiri, secantik apa dia sampai berani menggoda suami orang?! Aku ingin tahu seseksi apa tubuhnya sampai kamu belain dia di depan istrimu sendiri!”
Tomi tersenyum miring lalu menatap penuh peringatan pada sang istri. “Kalau boleh jujur, kamu nggak ada apa-apanya dibanding dia. Jangankan dia. Sama Mega pun, kamu kalah jauh. Kamu cuma beruntung aja karena hamil anakku dan aku nikahi. Tapi hanya sebatas itu.”
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Tomi. Mata Fitri memerah, berkaca-kaca. Jarinya menunjuk wajah Tomi. “Kamu … Kamu nggak akan bisa lepas dariku, Tom! Mau sekuat apapun wanita di luar sana menggodamu, aku akan pastikan kamu tetap kembali padaku. Aku nggak main-main soal akan menyingkirkan siapapun yang berniat merebutmu dariku. Termasuk dari Mela sialan itu!”
“Jaga bicaramu! Mela temanku! Kamu nggak pantas mengatainya seolah kamu wanita suci!” Tomi menatap tajam. Ia mendekat, membelai pipi Fitri dengan senyuman kecilnya. “Kalau kamu ganggu dia lagi atau berbuat sesuatu padanya, maka aku yang akan menyingkirkanmu dalam hidupku. Aku akan ceraikan kamu. Dan Dela akan ikut bersamaku. Kamu akan hidup tanpaku juga tanpa Dela. Aku juga tak akan mengijinkan kamu menemui Dela. Jadi, pikirkan itu baik-baik, istri sialanku,” desis Tomi sinis, mencium pipi Fitri sekilas lalu pergi dari sana.
Fitri terdiam. Napasnya memburu. “Cerai? Enggak. Susah payah aku mendapatkanmu, Tomi. Aku nggak mau kita cerai. Nggak akan pernah.”
***
Fitri masuk ke ruang tamu membawa nampan berisi minuman hangat. Hari ini, rumah mertuanya kedatangan tamu, saudara dekat dari pihak Mardi.
“Ayo diminum dulu, Gah, Sel,” ucap Sinta ramah.
“Kok pakai repot-repot dibuatin minum, Tante. Kamu tadi sudah banyak minum di tempat acara,” sahut Gagah, melirik Fitri sekilas.
“Cuma minuman aja kok repot.” Sinta tersenyum.
Gagah, Selfi-istrinya, dan anak mereka mengangguk dan mengambil gelas masing-masing. Meneguk perlahan. Sambil meneguk, Gagah mencuri pandang pada Fitri.
Fitri sadar sedang diperhatikan, balik memandang Gagah. Gagah menaikkan sudut bibir, tersenyum tipis, dan mengedipkan satu matanya. Kilat, tanpa disadari siapapun di sana, kecuali Fitri.
Fitri menunduk, meremat jemarinya, dan tersenyum kecil. Ia tahu apa makna dari senyuman kilat Gagah itu. Saat mereka mengobrol, diam-diam Gagah dan Fitri saling pandang dan kadang melempar senyum penuh makna. Tentu saja tanpa di sadari siapapun. Fitri juga terkadang menatap tubuh Gagah di seberangnya dari ujung kepala sampai kaki. Begitupun Gagah. Mencuri lirik, memandang tubuh Fitri, padahal istrinya ada di sebelahnya, tengah mengobrol bersama Sinta.
Fitri lantas berpamitan masuk ke dalam. Dan saat Fitri melangkah masuk, Gagah mengambil gelas, meminum minumannya, tapi matanya fokus pada tubuh Fitri yang akhirnya menghilang di balik tembok.