Siapa sangka, menabrak mobil mewah bisa berujung pada pernikahan?
Zuzu, gadis lugu dengan serangkaian kartu identitas lengkap, terpaksa masuk ke dalam sandiwara gila Sean, cassanova yang ingin lolos dari desakan orangtuanya. Awalnya, itu hanya drama. Tapi dengan tingkah lucu Zuzu yang polos dan penuh semangat, orangtua Sean justru jatuh hati dan memutuskan untuk menikahkan mereka malam itu juga.
Apakah pernikahan itu hanya permainan? Atau, sebuah takdir yang telah ditulis untuk mereka?
Mampukan Zuzu beradaptasi dengan kehidupan Sean yang dikelilingi banyak wanita?
Yuk, ikuti kisah mereka dengan hal-hal random yang dilakukan Zuzu!
Happy Reading ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelramstrong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tugas Pertama Zuzu
Wajah Zuzu memucat saat dihadapkan pada layar monitor, di mana slide-slide diagram penuh angka dan teks terpampang. Dia terkejut, mata membelalak lebar.
Berkedip beberapa kali, dia melihat lagi grafik rumit yang terpampang di layar laptop. Keraguan mulai merayap, merasa tidak cukup percaya diri untuk menerima tugas itu, namun hati berusaha menepis semua perasaan tersebut.
"Bagaimana, Nona Zuzu? Anda sanggup?" tanya Winda, sambil mengulas senyum tipis, namun penuh makna.
Zuzu menegakkan tubuh. Tangan gemetar saat menyentuh mouse di atas meja. Dia menahan napas sembari berpikir dan, berusaha menyingkirkan rasa takut.
Zuzu kemudian menoleh ke arah Winda, berusaha menampilkan senyuman tipis, meski terlihat kaku. "Tentu. Saya akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh," sahut Zuzu, suaranya sedikit bergetar, namun penuh dengan tekad yang kuat.
Winda mengangguk pelan, dan tanpa disadari oleh Zuzu, wanita itu tersenyum puas. "Baiklah, Nona Zuzu. Kalau begitu, Anda bisa mulai dari sekarang. Jika ada hal yang tidak Anda mengerti, jangan sungkan untuk bertanya pada saya."
"Ruangan saya ada di ujung lorong ini," kata Winda sembari bangkit dari duduknya.
Zuzu mengangguk pelan, matanya kini mulai fokus memerhatikan grafik penuh angka di layar. "Terima kasih atas kepercayaannya, Bu. Semoga saya tidak mengecewakan siapapun," bisik Zuzu, berusaha percaya diri meskipun keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Winda kembali ke ruangannya. Dia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik sebuah pesan, "Dia sudah menerima tugas yang saya berikan. Kita tunggu saja besok. Setelah dia mempermalukan Tuan Sean dan membuatnya marah, wanita itu pasti akan langsung diusir."
Wanita itu tersenyum puas saat menekan tombol kirim pada layar ponsel. Dia menatap dinding yang kosong dengan sorot mata penuh arti.
---
Zuzu menjatuhkan tubuh lelahnya di atas ranjang yang empuk, beralaskan seprai sutra. Dia menghela nafas panjang dan merebahkan diri. "Harusnya dulu aku ngambil jurusan administrasi waktu sekolah, bukan malah tata boga," desah Zuzu, sambil menatap langit-langit kamar dengan rasa sesal yang kini bergelayut dalam dada.
Tatapan wanita itu kemudian beralih, mengedar ke arah dinding yang dipenuhi poster dirinya. "Kira-kira, apa aku bisa menyelesaikan tugas pertama ini?" Zuzu bergumam lirih, sambil memejamkan mata.
"Aku bahkan bingung harus mulai dari mana?" Zuzu merubah posisinya jadi meringkuk seperti janin, air mata mulai menetes dari sudut mata, membasahi seprai di bawahnya.
"Ternyata, aku memang gak pantas jadi seorang sekretaris. Selain aku gak cantik, aku juga gak pintar." Suaranya hampir tak terdengar, teredam oleh suara isak tangis yang keluar dari bibir tipis itu.
Zuzu mengusap air mata, namun yang terjadi justru soflennya terlepas. Dia melihat benda kecil itu sesaat, dan tangisnya semakin pecah.
"Ternyata jadi cantik itu ribet," keluh Zuzu, sambil melepaskan soflen di mata yang lain, dan membuangnya ke sembarang arah.
Setelah itu, dia mengambil bantal dan memeluknya erat. "Aku... aku benar-benar payah sekarang. Ternyata peringkat pertama saat sekolah gak menjamin aku pintar."
Otak yang terlalu lelah diajak berpikir, membuat wanita itu akhirnya tertidur dalam tangis.
Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka. Sean masuk dan mendapati Zuzu yang terlelap dengan wajah yang polos dan sembab. "Kenapa dia terlihat murung sejak tadi?" gumamnya, heran. Keningnya berkerut dalam.
Tatapan pria itu kemudian terjatuh pada sebuah tas di tepi ranjang. Dia mengambilnya dan mengeluarkan sebuah laptop perusahaan. Pria itu menyalakan benda tersebut lalu tersenyum miring melihat isi file presentasi, yang diduga sebagai penyebab mood istrinya buruk.
"Baru dikasih tugas gini aja udah uring-uringan. Dikira mudah jadi sekretaris dalam dunia nyata," gumam Sean, sambil tertawa mengejek. Perlahan suara tawanya menurun, dia menghembuskan nafas pelan, lalu mengusap rambut Zuzu dengan lembut.
"Otak kecilmu pasti sudah susah payah berjuang, jadi istirahatkan dulu...," bisiknya pelan, menatap Zuzu dengan lembut, tatapan yang jarang terlihat oleh siapapun.
Sean menarik selimut, menutupi sebagian tubuh Zuzu dan diam-diam mencium kening istrinya.
---
Malam harinya, Zuzu terbangun dengan perasaan panik. Otaknya langsung teringat akan tugas yang belum sempat ia selesaikan. Dia bangkit dan mengedarkan pandangan, mencari tas berisi laptop.
"Di mana aku menyimpannya?" gumam Zuzu, panik. Mata yang tak berkacamata kesulitan untuk menemukan benda yang dia cari. Pandangannya kabur, membuat semua benda terlihat buram.
"Kacamata? Ya Tuhan, kacamataku... Mama Sandrina yang simpan. Bagaimana ini? Aku mana bisa menyelesaikan pekerjaanku tanpa kacamata itu," bisiknya lirih, kepanikan semakin memuncak.
Zuzu hendak bangkit dari atas ranjang, saat tiba-tiba sebuah benda berada tepat di depan hidungnya. Sebuah kacamata.
"Pakai ini, dan jangan berisik. Aku ingin istirahat," suara serak Sean terdengar.
Zuzu mengambil kacamata itu, dan segera mengenakannya. Dia menoleh ke belakang dan melihat Sean kembali berbaring sambil memejamkan mata. "Terima kasih, Sean. Aku janji gak akan ganggu kamu."
Ia segera beranjak dari tempat tidur dan menyambar tas laptop yang ternyata tergeletak di atas nakas, dan berjalan ke arah sofa.
Zuzu menyalakan laptop itu. Dia menggulir kursor, dan tiba-tiba keningnya bertaut. "Loh, tadi sepertinya slide ini belum ada. Kenapa sekarang tambah banyak?"
Zuzu memeriksa setiap slide yang ada di dokumen itu, khawatir jika dia telah salah membuka file. Namun, itu adalah dokumen sama, yang dia pelajari sejak siang tadi.
Zuzu menolehkan kepala ke belakang. "Siapa yang menyelesaikan bahan presentasi, ya?"
Mengetahui slide presentasi yang sedang ia kerjakan telah rampung. Zuzu terkejut sekaligus merasa bersyukur. Dia percaya, jika tangan ringan suaminya yang telah membantu.
Ia hendak berterima kasih, namun tidak ingin mengganggu tidur Sean yang lelap. Akhirnya, wanita itu memutuskan fokus mempelajari materi yang akan dia presentasikan besok. Bahkan, saat perutnya berdemo, minta diisi, wanita itu membawa laptopnya menuju ruang makan.
Dia berharap bisa memberikan yang terbaik dan tidak mengecewakan orang-orang yang telah mempercayainya.
---
Keesokan pagi, Zuzu sudah terbangun ketika Sean baru membuka mata. Laptop dengan layar menyala sudah berada di pangkuan. Rambutnya yang basah pertanda jika dia sudah mandi dan siap menghadapi hari. Matanya fokus pada layar, menghapal setiap materi presentasi dengan detail.
"Rajin sekali," suara serak Sean, mengganggu proses menghapal Zuzu sesaat. Dengan spontan, dia memeluk pinggang istrinya dari belakang, dan meletakkan kepala di paha wanita itu.
"Sean, aku gak ada waktu. Kamu bisa memintanya nanti setelah aku presentasi," kata Zuzu, tanpa mengalihkan pandangan dari layar, membaca ulang teks yang tertera di sana.
"Apa sih? Cuma gitu doang, so sibuk," ledek Sean, sambil mendusel-dusel hidung ke perut istrinya.
Zuzu tidak menjawab, saat mulut komat-kamit menghapal teks, tangannya justru mendorong kepala pria itu hingga terjatuh dari pangkuannya.
"Aku memang sibuk. Lebih baik kamu mandi. Aku akan tunggu di ruang makan." Zuzu beranjak dari tempat tidur dan pergi keluar kamar, membawa barang pribadinya, termasuk laptop yang tidak bisa berjauhan sejak semalam.
Sean tersenyum geli melihat tingkah istrinya yang begitu serius. Namun, ada rasa kagum yang muncul melihat semangat Zuzu.
Sandrina melihat Zuzu masuk ke ruang makan dengan kedua tangan yang kerepotan. "Zu, ayo, sarapan dulu," ucap Sandrina, perhatian. Dia hendak mengambil laptop yang berada di tangan menantunya, namun dicegah oleh Zuzu.
"Ma, aku harus mempelajari semua ini dengan segera. Karena pagi ini, aku harus presentasi di depan direksi. Kepalaku rasanya ingin meledak, karena menghapal semua ini sejak tadi malam," keluh Zuzu sambil memijat pelipisnya.
Sandrina menatap wajah menantunya dengan iba. "Kalau semua itu membuat kamu kesulitan, nggak perlu melakukannya, Zu...," katanya, merasa tak tega.
Zuzu menggeleng cepat. "Nggak, Ma. Aku harus melakukannya. Kalau aku gak sanggup hanya mempelajari angka-angka di layar ini, bagaimana bisa aku menyingkirkan semua wanita di dekat Sean, seperti keinginan Mama. Mereka pasti wanita yang cantik dan pintar," ujar Zuzu, dengan tekad yang bulat.
Sandiwara hanya bisa mengangguk. Dia membantu menyajikan makanan untuk Zuzu, sebagai bentuk dukungan. "Samangat, ya. Mama percaya kamu bisa, Zu," bisik Sandrina sambil tersenyum lebar.
Zuzu mengangguk dan kembali melihat layar, untuk membaca materi selanjutnya. Melihat itu, Sandrina merasa terharu. Dia memandang suaminya yang tersenyum kagum sambil mengacungkan ibu jari.
Setelah sarapan yang terasa singkat itu, akhirnya Zuzu dan Sean berangkat menuju perusahaan. Di dalam mobil, sambil terus menghapal seolah akan menghadapi ujian, Zuzu berdoa dalam hati, berharap diberikan kelancaran.
Jantung berdebar kencang, keringat dingin mulai membasahi tubuh. Nafas tak beraturan, seakan sedang lari marathon.
Mobil berhenti. Sean menoleh pada istrinya. Terlihat Zuzu memejamkan mata sambil menutupi wajah dengan kedua tangan.
Bersambung...