Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Baek Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Kim Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Saran playlist :
🎵Jung Joon Il - Hug Me🎵
🎵AKMU - How Can I Love The Heartbreak, You're The One I Love🎵
Malam itu Reinan terbangun karena mendengar ada suara aktivitas di dapur.
Reinan membuka pintu dilihatnya Yuan sedang berkutat dengan alat memasak.
Yuan yang menyadari pintu terbuka kemudian menoleh.
"Sudah bangun? Apa aku membangunkan mu?".
Hanya gelengan pelan dari reinan.
Lalu yuan menyajikan beberapa cemilan malam untuk dinikmati bersama.
"Karena sudah terlanjur bangun, kemarilah temani aku makan"
Di meja makan itu hanya ada suara sendok beradu dengan piring, sunyi tapi hangat.
Aroma masakan Yuan memenuhi ruangan, membuat Reinan sadar betapa laki-laki itu selalu tahu cara menenangkannya tanpa banyak kata.
Yuan menatapnya sekilas lalu berkata pelan,
“Besok aku ada perjalanan dinas. Mungkin dua atau tiga hari… tunggu aku pulang, ya?”
Reinan berhenti mengunyah, matanya terarah pada Yuan. Ada rasa khawatir yang ia sembunyikan di balik senyumnya.
“Baiklah,” jawabnya singkat, sambil mengangguk pelan.
Yuan tersenyum lega, seakan jawaban itu cukup untuk membuatnya tenang. Tapi di dalam hati Reinan, pertanyaan lain berputar 'Apakah aku masih bisa menunggu dia seperti ini? Apa nanti ketika ia pulang, semuanya masih sama? Atau aku sudah tidak di sisinya lagi?'
Ia menunduk kembali, menyuap makanannya, menyembunyikan matanya yang tiba-tiba berkaca-kaca.
Reinan berdiri di depan wastafel, air mengalir pelan membasahi piring yang ia pegang. Tangannya sibuk, tapi pikirannya kosong, dipenuhi kegelisahan yang belum berani ia suarakan.
Tiba-tiba, dua lengan hangat melingkari pinggangnya dari belakang. Yuan menempelkan wajahnya di bahunya, napasnya dalam dan bergetar.
“Berjanjilah…” suaranya lirih, nyaris seperti permohonan. “Tunggu aku pulang.”
Reinan terdiam sesaat, menutup matanya. Ia tahu beratnya janji itu. Tapi akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku akan menunggumu.”
Seketika Yuan memutar tubuhnya, menatap mata Reinan penuh kerinduan yang tertahan. Tanpa menunggu, ia menunduk, mencium bibir gadis itu. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi dalam, seolah ingin menegaskan bahwa ia tak rela melepaskannya.
Reinan sempat ragu, tapi perlahan ia membalas, tangannya meraih kemeja Yuan. Dalam sekejap Yuan mengangkat tubuhnya, tetap menyatukan bibir mereka, membawanya menuju kamar.
Mereka menapaki lorong pendek menuju kamar. Pintu didorong pelan dengan bahu, berderit lembut.
Yuan membaringkan Reinan hati-hati di tepi ranjang, lalu menekan tombol lampu meja cahaya tinggal temaram.
Ia mengambil handuk kecil dari nakas, mengeringkan jemari Reinan yang masih lembap, mengecup punggung tangannya.
Kening bertemu kening; mereka tersenyum kecil. “Aku merindukanmu" ucap Yuan lembut.
Ciuman berpindah dari kening, ke pelipis, ke sudut bibir dengan ritme lambat, penuh jeda yang hangat.
Reinan menarik napas panjang, menenangkan diri di dada Yuan; ia bisa mendengar detak yang stabil, menulari tenang.
Selimut ditarik sampai bahu. Jemari mereka saling mengunci, seperti janji tak terucap.
Gerak mereka sinkron dan berhati-hati. Lebih banyak bisik dan sentuhan menenteramkan daripada kata-kata.
Saat keintiman memuncak, semuanya tetap lembut . Tidak terburu-buru, tidak keras , hanya kehangatan yang saling mereka jaga.
Mereka berpelukan di bawah selimut, napas perlahan menyatu malam menjadi sunyi yang nyaman.
Sesaat sebelum terlelap, Yuan mengecup ubun-ubun Reinan. “Selamat malam.”
“Selamat malam,” jawab Reinan, suaranya setipis kain, namun mantap.
...****************...
Paginya kantor terasa berbeda buat Reinan.
Begitu sampai, matanya otomatis melirik ke arah ruang kerja Yuan. Pintu tertutup rapat, gelap, tak ada bayangan siapa pun di dalam. Biasanya ia bisa melihat siluet Yuan lewat kaca, atau sekadar mendengar suara kursi berderit ketika Yuan bergeser. Tapi kali ini hampa.
Ia berdiri sejenak, menatap kosong, lalu menarik napas panjang. Yuan sedang jauh, ada Hyeri, ada ibunya, ada hal-hal yang bisa memisahkan mereka kapan saja.
Reinan kembali ke mejanya dengan langkah lambat. Kertas-kertas kerja menumpuk, layar komputer menyala, tapi fokusnya buyar. Dadanya dihantui firasat tak enak, meski ia tak tahu pasti dari mana datangnya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk tapi anonim.
010-10xx-xxx : Lumière Seoul, Teheran-ro 231, Gangnam-gu, Sky Tower Building Lantai 7. Ruang VIP: Edelweiss.
Jantungnya berdegup kencang. Otaknya berputar 'Siapa yang mengirim ini? Untuk apa?'
Tangannya sempat hendak menghapus pesan itu, tapi hatinya menolak. Ada rasa penasaran bercampur kecemasan.
Malam itu, dengan hati yang penuh tanda tanya, Reinan akhirnya memutuskan untuk datang ke tempat yang alamatnya tertera di pesan anonim itu.
Begitu melewati pintu ruangan VIP yang agak jauh di ujung restoran, langkahnya terhenti.
Di balik pintu kaca itu, ia melihat Yuan—duduk berdampingan dengan Hyeri. Keduanya tampak bersama keluarga masing-masing, larut dalam suasana makan malam hangat. Senyum yang biasanya membuat Reinan merasa tenang, kini justru menusuk dadanya.
Hatinya serasa diremas. Kecewa, sedih, sekaligus marah, bercampur jadi satu. Bukankah baru saja Yuan berkata akan pergi dinas keluar kota? Semua yang diucapkannya… ternyata hanya kebohongan.
Tanpa sadar, tangan Reinan terangkat menutup mulutnya. Air matanya bergetar di pelupuk, menahan agar tidak jatuh. Ingatannya kembali pada kata-kata Yuan malam tadi alasan tentang dinas, janji-janji kecil yang seolah tulus. Semua itu kini terasa seperti bayangan tipis yang lenyap begitu saja.
Sakitnya merambat perlahan, dingin, namun dalam. Ia tidak marah, tidak ingin berteriak… hanya sebuah kesedihan yang menyesakkan dada. Seolah dalam sekejap, ia sadar bahwa tempatnya tidak pernah benar-benar ada di sisi Yuan.
Tanpa berani menatap lebih lama, Reinan segera melangkah mundur. Suara tawa dari dalam ruangan terasa menusuk telinganya, membuat setiap langkah terasa berat. Ia berbalik, menundukkan kepala, lalu berjalan cepat menyusuri koridor restoran yang lengang.
Begitu keluar dari pintu utama, udara malam langsung menyambutnya. Dingin, namun tidak mampu menenangkan panas yang membakar dadanya. Ia menyusuri trotoar, mencoba menahan tangis dengan menggigit bibir.
Tapi akhirnya, air matanya jatuh juga diam-diam, tanpa suara.
Reinan menepi di sudut jalan yang sepi, memeluk dirinya sendiri. Bahunya bergetar halus, setiap helaan napas terasa sakit. Ia tidak ingin ada yang tahu, tidak ingin ada yang melihat.
Jalanan malam semakin sepi, hanya isakan lirih yang terdengar dari bibir Reinan. Dengan tangan yang masih gemetar, ia merogoh ponsel dari tasnya. Layar yang basah oleh air mata membuat huruf-huruf tampak kabur, tapi jari-jarinya tahu persis harus berhenti pada satu nama di daftar kontak.
Nama itu muncul di layar bukan siapa-siapa yang bisa mudah ditebak, tapi cukup untuk membuat dadanya sedikit lega. Hanya satu orang yang ia percaya, hanya satu yang bisa ia panggil di saat rapuh seperti ini.
Air matanya terus jatuh ketika ia mengetik pesan pendek, hampir tak terbaca oleh pandangannya yang kabur
Reinan : Aku ingin pulang… jemput aku.
Pesan terkirim
XXXX : Baiklah , sekarang juga? Ini hampir tengah malam
Reinan : Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai sini?
XXXX : Kurang lebih 3 jam.
Reinan : Kemarilah, setelah tiba pergi ke Heavenly Apartement Lt 13 no 304.
XXXX : Aku kesana sekarang .
Siapa yang dihubungi Reinan?
jadi tuan jangan nyalahin Reinan
dia udah pernah nyoba mencari mu loo