Kau sewa aku, Kudapatkan cintamu
Semua berawal dari selembar kertas perjanjian.
Ia hanya butuh uang, dan pria itu hanya butuh istri… meski sementara.
Dengan tebusan mahar fantastis, mereka terikat dalam sebuah **pernikahan kontrak**, tanpa cinta, tanpa janji, hanya batas waktu yang jelas. Namun, semakin hari, batas itu mulai kabur. Senyum kecil, perhatian sederhana, hingga rasa yang tak pernah mereka rencanakan… pelan-pelan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disangkal.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
jangan lupa kasih dukungannya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 22- Tanpa Arga
Pesawat mendarat dengan mulus. Penumpang pun satu per satu mulai beranjak dari kursi masing-masing.
Keira baru berdiri sambil menguap kecil, lalu meraih tasnya. Sementara Arga tetap tenang, dengan wajah yang serius seperti sejak tadi.
"Akhirnya sampai juga. Jadi sekarang kita langsung pulang kan? Keluargamu pasti udah nunggu kita," tanya Keira sambil melirik Arga.
Arga tidak langsung menjawab, lalu menoleh dengan singkat sambil berkata, "Kau pulang duluan."
Keira pun terbelalak. "Eh? Apa maksudmu? Pulang duluan? Terus kau mau ke mana?"
Arga menatap lurus ke depan, langkahnya mantap keluar dari pesawat. "Ada yang harus aku urus," jawabnya.
Keira mengerutkan keningnya dengan setengah berbisik, "Ada yang harus diurus…? Lagi-lagi jawabannya begitu."
Beberapa saat kemudian, mereka berjalan menuju pintu keluar bandara. Di sana, sopir keluarga sudah menunggu dengan raut wajah yang ramah.
Begitu melihat keduanya, sopir itu segera menghampiri. "Tuan muda, Nyonya muda… selamat datang kembali. Mobil sudah siap untuk mengantar pulang."
Keira tersenyum kikuk, ia merasa lega karena ada yang menjemput. Namun saat hendak masuk ke mobil, ia sadar Arga sama sekali tidak ikut.
"Arga, kau nggak masuk? Bukannya kita pulang bareng?" tanyanya.
Arga yang masih berdiri di samping mobil, menatap Keira dengan mata yang sulit ditebak. "Aku bilang tadi, pulanglah duluan. Katakan pada kakek dan orang tuaku kalau aku ada urusan mendadak."
Keira tercekat. Ia memegang gagang pintu mobil, dan terlihat ragu. "Lalu aku harus bilang apa kalau mereka tanya urusan apa? Masa aku jawab nggak tau?"
Arga mendekat sedikit, lalu berkata dengan tegas meski suaranya terdengar pelan. "Bilang saja aku sedang mengurus pekerjaan. Mereka akan mengerti."
Keira menggertakkan giginya lalu berkata dalam hati. "Selalu pekerjaan, selalu rahasia… seberapa banyak sih yang sebenarnya dia sembunyikan?"
Ia menatap Arga sekali lagi dan berharap mendapat penjelasan, namun tatapan itu tak membuahkan apa pun selain tatapan dingin yang sama.
Akhirnya, Keira hanya pasrah lalu masuk ke dalam mobil dengan wajah yang lesu. "Baiklah, aku pulang duluan. Tapi kalau nanti mereka marah, aku nggak mau disalahin," ujar Keira, pelan sambil menunduk.
"Aku akan menyusul."
Mobil pun melaju meninggalkan bandara, meninggalkan Arga yang berdiri sendirian di pinggir jalan dengan ekspresi penuh beban.
Sementara itu dari balik jendela mobil, Keira masih menoleh ke arah Arga yang semakin lama semakin menjauh. "Aku benar-benar nggak mengerti pria ini.Tapi kenapa aku… jadi makin penasaran?"
**
Mobil berhenti di halaman megah rumah keluarga Arga. Beberapa kali Keira menelan salivanya karena merasa tegang.
Saat pintu besar rumah itu terbuka, di dalam sana memperlihatkan keluarga besar yang sudah menunggu.
Kakek tersenyum lebar sambil berdiri dengan tongkatnya lalu berkata, "Ah, akhirnya cucuku dan istrinya pulang juga! Ayo masuk, ayo masuk!"
Keira memaksakan senyumnya lalu melangkah ke dalam. Tapi sebelum sempat bicara, kakek langsung mencari sosok Arga.
"Lho? Mana Arga? Kenapa kau sendirian, cucuku?" tanya sang Kakek seraya menoleh ke belakang Keira.
Pertanyaan itu membuat Keira langsung kaku. Ia berusaha terlihat tenang meski dadanya sangat berdebar.
"Eh… A-arga ada urusan mendadak, Kek. Jadi… jadi aku disuruh pulang duluan," jawab Keira sembari tersenyum kikuk.
Tatapan kakek seketika berubah, kerutan di wajahnya pun semakin jelas. "Urusan apa? Dia baru saja menikah, seharusnya tidak ada yang lebih penting daripada menemanimu."
Keira terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Untung saja, ibu Arga segera menyahut menengahi pembicaraan mereka.
"Sudahlah, Yah. Mungkin memang ada pekerjaan penting. Lagipula, Keira sudah pulang dengan selamat. Itu sudah cukup," tutur ibunya Arga, seraya menepuk lembut bahu Keira.
"Ya Ayah, jangan terlalu keras pada Arga. Kalau dia bilang urusan mendesak, pasti ada alasannya," tambah ayahnya Arga.
Keira pun hanya mengangguk pelan, lalu menunduk sambil memainkan jarinya. Dalam hatinya ia merasa lega karena ada yang menolongnya, tapi juga kesal karena harus menutupi hal yang bahkan tidak ia ketahui.
"Aku bahkan nggak tahu Arga ke mana. Kenapa aku harus jadi tameng untuk semua rahasianya?" batin Keira.
Sementara itu Kakek masih terlihat tidak puas, tapi ia akhirnya mendesah dengan berat. "Hmph. Baiklah. Tapi malam ini, aku ingin Arga sudah ada di sini. Jangan buat kakek menunggu lama."
Keira pun mengangguk cepat sambil tersenyum canggung. "I-iya, Kek. Pasti."
Ayah dan ibunya Arga lalu mengalihkan perhatian dengan menanyakan perjalanan bulan madu mereka, sementara Keira berusaha menjawab dengan seceria mungkin.
____
_______
Sementara itu...
Di sebuah lorong rumah sakit Arga berjalan dengan cepat, wajahnya tegang, matanya penuh kekhawatiran.
Tangannya menggenggam erat ponsel yang sejak tadi menampilkan status WA Rani, foto Rani yang berbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Saat tiba di tempat tujuan, Arga membuka pintu kamar rawat dan langsung melihat Rani yang terbaring pucat. Wajahnya tampak letih dengan selang infus di tangannya.
Saat melihat Arga masuk, mata Rani melebar pelan-pelan, lalu berkaca-kaca. "Arga… kau benar-benar datang?" tanya Rani dengan suara lirih, sambil tersenyum lemah.
Arga segera melangkah mendekat, lalu duduk di kursi samping ranjang, dan menatapnya penuh cemas.
"Kenapa kau tidak bilang langsung padaku kalau sakit? Kenapa aku harus tahu dari status WA-mu, Rani?" tanya Arga yang terdengar serius, bahkan hampir marah karena panik.
Rani tertawa kecil meski suaranya lemah. "Aku nggak mau merepotkanmu. Aku pikir… ya, kau sibuk dengan istrimu. Aku hanya… ingin menulis status, tanpa niat membuatmu panik."
Arga menghela napas yang terasa berat, dan menatap Rani dengan sorot tajam namun lembut.
"Kau tau sendiri, aku nggak bisa diam kalau itu tentangmu. Aku bisa menghadang badai sekalipun, asal bisa lihat keadaanmu baik-baik saja."
Rani terpaku melihat ekspresi kekhawatiran Arga. Lalu ia berkata dengan lirih. "Arga… kenapa kau masih seperti ini? Kau sudah menikah… aku nggak seharusnya jadi orang yang kau khawatirkan lagi."
Arga menunduk, genggamannya menguat pada tangan Rani yang terasa dingin. "Apapun keadaannya... Kau tetap orang yang paling penting buatku."
Rani menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk. Ia tersenyum getir, lalu memalingkan wajahnya. "Jangan bicara seperti itu, Arga… kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."
BERSAMBUNG...