Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KABAR DUKA YANG TIDAK TERDUGA
Nayara duduk di bangku kelasnya, dagu bertumpu di telapak tangan. Pandangannya kosong menatap papan tulis, seolah pikirannya melayang entah ke mana. Riuh suara obrolan teman-teman sekelas tak mampu menembus lamunannya.
Kursi di sebelahnya masih kosong, Caelisya belum juga datang. Rasanya keheningan di sisi itu justru membuat pikirannya semakin berat.
"Nayara."
Suara itu membuat Nayara tersentak, pandangannya beralih ke arah pintu kelas. Nazerin berdiri di sana, wajahnya pucat dan matanya tampak berkaca-kaca.
"Eh… Nazerin? Ada apa kau kemari?" tanya Nayara, sedikit bingung dengan ekspresi sahabat Caelisya itu.
Nazerin menelan ludah, suaranya bergetar. "Caelisya… wafat, Nayara."
Seakan dunia di sekelilingnya berhenti bergerak, telinga Nayara berdenging. Ia menatap Nazerin, berharap itu hanya candaan buruk tapi tatapan kosong Nazerin membuatnya tahu, ini nyata.
"Nayara, kita harus segera ke rumah sakit," ucap Nazerin, suaranya bergetar, sambil menarik lengan Nayara.
"Kenapa dia bisa wafat, Nazerin? Ada apa dengannya?" tanya Nayara dengan mata yang langsung memanas, air mata mulai menggenang.
"Aku… belum tahu pasti penyebabnya," jawab Nazerin pelan, sambil menggeleng, terlihat sama tertekannya.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua meninggalkan area kampus. Langkah mereka cepat, hati mereka berat menuju rumah sakit untuk menjemput jenazah sahabat mereka, Caelisya.
Tiba di rumah sakit, Nayara dan Nazerin langsung disambut aroma antiseptik yang menusuk hidung. Langkah mereka terhenti ketika melihat dua orang polisi berdiri di depan ruang jenazah, wajah keduanya serius.
“Maaf, kalian keluarga atau kerabat mendiang Caelisya Morwen?” tanya salah satu polisi dengan nada formal.
Nayara dan Nazerin saling berpandangan, lalu Nazerin menjawab, “Kami sahabat dekatnya.”
Polisi itu mengangguk pelan, kemudian menatap mereka dengan sorot mata yang seolah menyimpan kabar buruk lainnya. “Ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui… dan mungkin tidak mudah untuk didengar.”
Jantung Nayara langsung berdegup kencang, tangannya mencengkeram lengan Nazerin erat.
"Penyelidikan awal kami menunjukkan bahwa mendiang Caelisya Morwen diduga menjadi korban pembunuhan.”
Nayara membeku di tempatnya, sementara Nazerin menatap polisi itu dengan wajah tak percaya. “Pembunuhan? Siapa pelakunya?”
“Kami mencurigai kekasihnya, seorang pria bernama Luthven. Berdasarkan keterangan saksi dan bukti di TKP, ada indikasi kuat ia terlibat. Namun saat ini yang bersangkutan melarikan diri dan masih dalam pengejaran.”
Ucapan itu membuat dada Nayara sesak. Bayangan tawa Caelisya yang ceria terputar di kepalanya, bercampur dengan kenyataan pahit bahwa sahabatnya mungkin mengembuskan napas terakhir di tangan orang yang seharusnya mencintainya.
Polisi itu memberi isyarat pada petugas rumah sakit untuk mempersilakan mereka masuk. Langkah Nayara terasa berat ketika ia dan Nazerin berjalan menuju ruang jenazah. Pintu besi dingin itu terbuka, menampakkan ruangan putih yang sunyi, hanya terdengar dengung pendingin udara.
Seorang petugas menarik kain putih yang menutupi wajah mendiang Caelisya Morwen.
Nayara langsung menutup mulutnya, menahan isak. Wajah sahabatnya tampak pucat, bibirnya membiru, dan di pelipis kirinya masih terlihat bekas memar samar. Tubuhnya terbaring kaku, seakan semua cahaya hidup yang pernah memancar dari dirinya telah padam.
“Cae…” suara Nayara pecah, air matanya jatuh membasahi ujung kain penutup.
Nazerin mengusap mata yang mulai basah, meski berusaha tegar. “Aku janji… kita akan cari tahu siapa yang benar-benar melakukan ini,” gumamnya pelan, namun penuh tekad.
Petugas rumah sakit kembali menutup wajah Caelisya dengan kain putih, sementara Nayara masih berdiri mematung di tempatnya, merasa tak siap meninggalkan sahabatnya begitu saja.
Polisi yang tadi berbicara dengan mereka masuk kembali. “Kami akan terus mengabari perkembangan kasus ini. Untuk saat ini, jenazah akan diserahkan kepada keluarga mendiang untuk dimakamkan.”
Nayara hanya mengangguk, tetapi di dalam hatinya berkecamuk satu tekad yang sama dengan Nazerin mencari kebenaran, meski harus berhadapan dengan siapapun, termasuk Luthven yang kini menjadi buronan.
Nayara kembali ke apartemen dengan langkah gontai, wajahnya pucat dan mata sembab menahan tangis.
Begitu sampai di kamar, ia menutup pintu lalu membiarkan dirinya terpuruk di tepi ranjang. Tangisnya pecah lagi, tak mampu ia bendung meski sudah berusaha.
Menjelang malam, suara pintu apartemen terbuka menandakan Kaelith telah pulang. Pria itu langsung menuju kamar Nayara, mendorong pintu yang tak terkunci.
Tatapannya tajam saat melihat gadis itu meringkuk di sudut ranjang. Ia mendekat, lalu menunduk sambil menangkup dagu Nayara, memaksa wajahnya menghadap.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyanya, suaranya rendah namun sarat dengan rasa ingin tahu. Pandangannya langsung menangkap mata Nayara yang bengkak, jelas karena menangis terlalu lama.
“Caelisya… meninggal, Kaelith. Sahabatku… dibunuh kekasihnya,” ucap Nayara dengan suara bergetar, air mata kembali menggenang di pelupuknya.
Kaelith menatapnya tajam, ekspresinya sulit dibaca. “Dibunuh?” ulangnya pelan, seolah ingin memastikan ia tak salah dengar.
Nayara mengangguk lemah, bahunya bergetar. “Polisi bilang dia masih buron… dan aku... aku bahkan tidak ada di sisinya saat dia butuh.”
Kaelith menarik napas dalam, jemarinya masih mencengkeram dagu Nayara, menahannya agar tetap menatapnya.
“Berhenti menangis, Nayara. Mau sampai kapan kau terus menangisi orang yang sudah tiada?” ucap Kaelith, suaranya tegas namun dingin.
Nayara menggeleng lemah, air matanya terus mengalir tanpa mampu ia hentikan. Napasnya tersengal, hatinya terasa sesak.
Kaelith mendengus, jelas tak menyukai pemandangan itu. “Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” lanjutnya, nadanya penuh tekanan, seolah memaksa Nayara untuk menerima kenyataan dengan segera.
Nayara terisak, mencoba berbicara di sela tangisnya.
“Aku tidak bisa, Kaelith… dia adalah sahabatku… dan aku bahkan tidak sempat menemuinya sebelum dia pergi…”
Kaelith menatapnya tajam, namun jemarinya tetap menangkup pipi Nayara, memaksa gadis itu menatap balik ke matanya.
“Kalau kau terus seperti ini, kau hanya akan terlihat lemah. Dunia tidak peduli kau kehilangan siapa pun. Jadi berhenti, sebelum orang lain memanfaatkan kelemahanmu.”
Nayara menepis tangan Kaelith pelan, namun pria itu tetap duduk di sisinya, menatap tanpa berkedip, memastikan kata-katanya menancap dalam.
“Kau tidak pernah merasakan kehilangan, makanya tidak pernah tahu, Kaelith,” ucap Nayara dengan suara bergetar, matanya memerah menahan air mata yang kembali ingin jatuh.
Kaelith terdiam sejenak, rahangnya mengeras. “Kau salah, Nayara,” ucapnya datar, tatapannya mengeras namun suaranya lebih pelan. “Aku tahu rasanya kehilangan… tapi aku tidak membiarkan rasa itu menghancurkan diriku seperti yang kau lakukan sekarang.”
Nayara memalingkan wajah, tidak ingin Kaelith melihat air matanya yang kembali jatuh.
"Apa dengan kau menangis sahabatmu itu akan kembali? Jawabannya tidak, sahabatmu tidak akan pernah kembali, Nayara," ucap Kaelith tegas, menatap lurus ke arah gadis itu.
"Yang harus kau lakukan sekarang adalah mendoakannya, agar ia tenang di alam sana," lanjut Kaelith, suaranya sedikit lebih lembut, meski tetap terdengar dingin di telinga Nayara.
Nayara menunduk, air matanya masih mengalir, tetapi kali ini ia berusaha mengendalikannya.
"Aku… aku hanya tidak menyangka, Kaelith. Kami baru saja bercakap kemarin…" suaranya bergetar.
Kaelith menarik napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, meraih wajah Nayara dengan kedua tangannya.
"Hidup itu tidak pernah memberi tahu kapan seseorang akan pergi. Jadi, berhenti menyiksa dirimu dengan penyesalan."
Nayara terdiam, menatap mata Kaelith, mencoba mencari sedikit pengertian di sana namun yang ia temukan hanyalah ketegasan yang membuatnya semakin merasa sendiri.
Kaelith menghela napas, keringat latihan masih membasahi pelipisnya. Tanpa berkata lagi, ia menarik Nayara ke dalam pelukannya.
Pelukan itu erat, hangat, tetapi terasa berat di dada Nayara.
“Tenanglah… aku di sini,” ucap Kaelith lirih, tangannya mengusap pelan punggung Nayara.
Meski kata-katanya terdengar menenangkan, nada suaranya tetap tegas seolah ia menuntut Nayara segera berhenti menangis.
Kaelith menunduk, lalu menempelkan bibirnya ke pipi Nayara yang basah oleh air mata.
Ciuman itu bergeser ke kening, lalu ke sisi wajah gadis itu seolah mencoba menghapus setiap tetes kesedihan dengan sentuhannya.
“Jangan menangis lagi,” bisiknya pelan, jemarinya membelai lembut rambut Nayara.
Namun di balik kelembutan itu, ada nada perintah yang terselip, menuntut gadis itu menuruti keinginannya.
Nayara terdiam, membiarkan Kaelith terus menempelkan ciuman di wajahnya.
Meski hatinya masih sesak, ia tahu pria itu tidak akan berhenti sampai ia menurut.
Kaelith mengeratkan pelukannya, dagunya bertumpu di atas kepala Nayara.
“Aku tidak suka melihatmu lemah seperti ini,” ucapnya, suaranya rendah tapi tegas.
“Kau milikku, dan aku ingin kau tetap kuat… setidaknya di hadapanku.”
Nayara menutup mata, mencoba menahan air mata yang siap kembali jatuh.
Ia hanya bisa mengangguk kecil, walau hatinya masih hancur oleh kehilangan sahabatnya.
"Ayo kita merendamkan diri," ucap Kaelith sambil menarik lengan Nayara, memaksanya bangkit dari tempat tidur.
Nayara sempat menolak halus, namun genggaman pria itu terlalu kuat untuk ia lepaskan.
Tanpa banyak bicara, Kaelith membawanya menuju kamar mandi, menyalakan air hangat yang mulai memenuhi bathtub.
“Aku tidak mau kau berlarut-larut dalam kesedihan,” ujarnya pelan, tapi tetap terdengar seperti perintah.
Kaelith dan Nayara merendamkan tubuh mereka di bathtub yang dipenuhi uap hangat.
Tangan besar Kaelith yang bertato perlahan memijat bahu Nayara, jemarinya menekan lembut otot-otot yang tegang.
Sesekali ia menarik Nayara lebih dekat, membiarkan gadis itu bersandar di dadanya, seolah pelukan tersebut mampu menghapus semua kesedihan yang membebaninya.
“Tenang saja… aku di sini,” bisik Kaelith sambil mengecup singkat puncak kepala Nayara.
Nayara terdiam, matanya menatap permukaan air yang beriak pelan setiap kali Kaelith bergerak.
Pelukan pria itu terasa berat, namun hangat, membuatnya sedikit lupa akan rasa sesak di dadanya.
Kaelith mengusap punggung Nayara dengan gerakan perlahan, jemarinya yang kasar menyapu kulit halus gadis itu.
Tatapan Kaelith terarah pada wajah Nayara yang pucat ada kilatan tajam sekaligus rasa memiliki yang tak terbantahkan di matanya.
“Kau tidak akan pergi dariku, Nayara,” ucapnya rendah namun penuh tekanan, suaranya seolah perintah yang tak menerima bantahan.
Nayara hanya membalas dengan helaan napas pelan, tidak mengangguk, tidak pula menggeleng.