—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Ketika malam semakin larut dan suara hujan perlahan mereda jadi gerimis tipis, hanya napas tenang Ara yang terdengar di dalam kamar. Gadis itu tertidur lebih dulu—tanpa suara, tanpa gelisah. Seolah keberadaan Kael tak pernah menjadi ancaman.
Kael tetap terjaga.
Matanya menatap langit-langit kamar yang remang-remang diterangi cahaya bulan pucat dari jendela. Ia sudah mencoba memejamkan mata, namun pikirannya tetap tajam, dipenuhi riuh yang tak bisa dijelaskan.
Ia belum terbiasa dengan keheningan seperti ini—keheningan yang tidak kosong.
Setelah cukup lama, ia menghela napas pelan dan memiringkan tubuhnya, menghadap ke sisi tempat tidur yang lain. Matanya jatuh pada wajah Ara yang tertidur damai. Rambutnya agak berantakan menutupi sebagian pipi, dan ujung kaus yang dikenakan Kael bergulung sedikit di pahanya.
Kael baru akan menarik kembali pandangannya ketika tiba-tiba—tanpa aba-aba—Ara bergerak. Dalam tidur, tubuh gadis itu bergeser, seperti mencari kehangatan, lalu tanpa dosa memindahkan kepalanya ke pundak Kael. Nyaman. Lengah. Seolah dia bukan gadis yang pernah hidup dalam ketakutan.
Kael membeku.
Pundaknya menegang. Ia nyaris menahan napas.
Namun detik demi detik berlalu. Kepala Ara tetap di sana, napasnya lembut menyentuh leher Kael. Tidak ada niat, tidak ada kesadaran—tapi justru karena itulah, tubuh Kael semakin kaku. Ia menatap langit-langit dengan pandangan kosong, berusaha tidak bergerak. Berusaha tidak merasa.
Tapi rasanya itu sia-sia.
Karena rasa itu sudah menelusup tanpa izin. Pelan, diam-diam, seperti hujan yang menetes dari celah atap… dan tahu-tahu sudah membasahi lantai.
“Kau tidak takut, ya…” bisik Kael nyaris tak terdengar, lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada gadis itu.
Ia menoleh pelan.
Wajah Ara tampak damai, seolah dunia ini belum pernah menyakitinya. Tidak ada kecemasan di alisnya, tidak ada ketegangan di bibirnya yang sedikit terbuka dalam tidur. Seolah Ara mempercayai Kael sepenuhnya.
Sesuatu di dada Kael mengencang.
Ia menatap wajah itu cukup lama, terlalu lama—berusaha menepis perasaan yang mengalir deras dan tidak seharusnya. Tapi entah setan dari mana, jemarinya bergerak lebih dulu, menyentuh pelan pipi Ara. Lalu Kael membungkuk.
Dengan sangat hati-hati… ia menempelkan bibirnya ke bibir Ara.
Lembut. Diam. Pendek.
Hanya sesaat, hanya ingin tahu—atau mungkin tidak hanya itu. Aroma napas gadis itu hangat di udara malam. Dan Kael tetap di sana, memastikan dirinya tak membangunkan Ara. Menjaga agar gadis itu tetap dalam mimpi, tidak tahu bahwa dirinya sedang dicuri sedikit demi sedikit.
Dicuri oleh pria yang mengaku tidak peduli. Tidak ingin dekat. Tidak ingin merasa.
Ia masih menatap bibir Ara yang sedikit terbuka. Napas gadis itu lembut, tidak terganggu. Begitu damai. Begitu tak tahu apa-apa.
Kael menutup mata.
Lalu mengecupnya sekali lagi.
Lebih lama kali ini. Lebih pelan. Seolah ingin mengukir bentuk bibir itu dalam ingatannya, menyimpannya di ruang paling dalam yang tak bisa disentuh siapa pun.
Dan saat ia menarik diri, rasa itu belum pergi.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan—tapi tubuhnya sudah tidak tunduk pada perintah. Kael menunduk sekali lagi, untuk yang ketiga kalinya, mencium bibir Ara lebih lembut daripada yang pertama dan kedua. Kali ini, seolah ia menyampaikan permintaan maaf… atau pengakuan… atau sekadar keputusasaan seorang pria yang jatuh cinta pada gadis yang tidak seharusnya.
Tidak ada gairah. Hanya rasa.
Perasaan yang telah ia tekan selama ini, kini tumpah tanpa suara.
Namun setelah ciuman terakhir itu, Kael benar-benar menjauh. Ia berbalik, membelakangi Ara dengan wajah tanpa ekspresi… tapi matanya tak bisa tidur malam itu.
Karena ia tahu—ia telah mencuri sesuatu.
Dan lebih dari itu, ia tahu…
Ia ingin mencurinya lagi.
...****************...
Ara selesai mandi dan berdiri lama di depan gantungan pakaian. Harapannya untuk menemukan pakaian ganti sirna begitu melihat isi lemari hanya berisi satu set pakaian dalam baru—dan sebuah kemeja pria.
Tidak ada gaun, tidak ada pakaian cadangan, bahkan tidak ada celana.
Ia menghela napas. Tidak ada pilihan lain.
Dengan cepat ia mengenakan pakaian dalam tersebut dan menyusulnya dengan kemeja Kael—kemeja berwarna gelap, lembut, dan beraroma samar seperti tubuh pria itu. Kemeja itu jatuh longgar hingga hampir mencapai pertengahan pahanya. Tidak ada yang lain. Hanya itu.
Ara memandangi bayangannya di cermin dan langsung memalingkan wajah.
Sial.
Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan gugup, lalu tersentak saat mendengar suara langkah kaki para pelayan di luar. Pintu kamar Kael tidak terkunci. Suara sapu, pel, dan kain lap bergesekan terdengar jelas, disusul ketukan ringan.
Ara membeku.
Dengan cepat ia berlari kembali ke sisi tempat tidur dan bersembunyi di balik tirai tebal. Ia merapat ke dinding, memeluk lutut, dan menahan napas seolah kehadirannya adalah aib yang tak boleh diketahui siapa pun.
Ia bahkan tidak tahu mana yang lebih memalukan—fakta bahwa ia tidur di kamar Kael, atau kenyataan bahwa kini ia mengenakan baju pria itu… tanpa apa pun selain pakaian dalam.
Kael tampak tenang. Duduk di kursi dekat jendela, membaca buku dengan wajah tanpa ekspresi. Seolah tidak terjadi apa-apa pagi ini. Seolah tak ada seorang gadis yang nyaris menindihnya semalaman, dan kini bersembunyi hanya dengan mengenakan kemeja miliknya.
Para pelayan masuk dengan langkah ringan. Mereka membersihkan kamar, mengganti seprei, menyeka debu, merapikan kursi dan meja. Namun tak satu pun dari mereka berani mendekati sudut tempat Ara bersembunyi di balik tirai. Kael bahkan tidak mengangkat kepala dari bukunya, tapi sorot matanya—dingin dan tajam—cukup menjadi peringatan.
Tak ada yang bertanya.
Tak ada yang mencoba menyentuh sisi tempat tidur itu.
Begitu pekerjaan mereka selesai dan pintu tertutup kembali, suasana menjadi hening. Hanya suara hujan ringan dari luar jendela.
Ara mengintip dari balik tirai, memastikan tidak ada siapa pun selain mereka. Lalu, perlahan, ia keluar dari persembunyian.
Kakinya telanjang menjejak lantai dingin. Rambutnya masih sedikit basah, kemeja Kael menjuntai longgar dan menampakkan kulit pahanya setiap kali ia melangkah.
Ia menggigit bibir, canggung, sebelum akhirnya memanggil dengan suara nyaris tak terdengar.
“Kael…”
Kael tidak langsung menoleh. Ia menutup bukunya perlahan, lalu mengangkat wajah, menatap Ara dengan pandangan datar yang sukar ditebak.
“Apa Aku bisa mendapatkan pakaian perempuan…” kata Ara buru-buru, tapi nadanya terdengar lebih seperti permohonan maaf daripada permintaan.
Kael mengamati gadis itu—dari ujung kepala hingga kaki—tanpa berkata apa-apa. Hanya satu alisnya yang terangkat sedikit, seolah mengatakan: Itu pakaianku yang kau pakai.
Kemudian ia berkata pelan, “Kau menyentuh barangku lebih sering daripada yang aku izinkan.”
Nadanya tak keras. Tapi cukup untuk membuat wajah Ara memanas sampai telinganya.
“Aku tidak punya pilihan lain,” jawabnya pelan. “Kau tidak membawakan apa pun kecuali ini.”
Kael bersandar di kursinya. Matanya masih menatap, tajam namun tidak marah. Dan entah kenapa, ia tampak… menikmati rasa malu Ara.
“Kalau begitu,” katanya tenang, “jangan keluar kamar. Aku tidak suka membagi pemandangan.”
Ara terpaku.
Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna maksud kalimat itu. Tapi saat ia akhirnya paham, darahnya seperti naik ke wajah, membakar pipi dan lehernya.
“Pemandangan?” ulangnya nyaris berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Wajahnya menunduk, tangan mencengkeram ujung kemeja yang menjuntai di pahanya. “Kau bicara seolah aku…”
Ia tidak meneruskan kalimatnya. Terlalu malu. Terlalu bingung.
Tapi Kael hanya diam. Tidak tertawa. Tidak mengoreksi. Tatapannya tidak menjelaskan apa pun—justru membuat semuanya semakin tidak bisa ditebak.
“Kael…” bisiknya. Kali ini suaranya nyaris tak terdengar. “Kau tidak sedang… mempermainkanku, kan?”
Kael tak menjawab. Tapi ekspresinya berubah—sedikit. Sejenak, matanya seperti membaca lebih dalam daripada yang Ara harapkan.
Kemudian, dengan tenang, ia berdiri.
Kael berjalan keluar kamar dengan langkah tenang, tapi tidak benar-benar jauh. Ia hanya berdiri di balik pintu, diam dalam bayangannya sendiri, mendengarkan suara lirih di dalam ruangan—derap kaki Ara, napasnya, dan desahan kecil ketika gadis itu bergerak gelisah.
Ia tidak menyuruh siapa pun membawakan pakaian.
Ia tidak pernah berniat.
Sudah sejak awal Kael hanya membawakan pakaian dalam dan salah satu kemejanya—karena ia tahu Ara tidak akan keluar kamar hanya dengan itu. Karena ia ingin Ara tetap di sana.
Di tempatnya.
Di ruangannya.
Di dunia kecil yang tidak bisa dimasuki siapa pun kecuali mereka berdua.
Mereka bilang obsesi itu menyeramkan. Tapi Kael tidak merasa takut. Justru, baru kali ini ia merasa tenang. Ara ada di ruangannya. Duduk di tempat tidurnya. Memakai pakaiannya. Dan tidak akan bisa ke mana-mana tanpa izin darinya.
Ia menatap tangannya sendiri. Jemarinya sedikit gemetar—tapi bukan karena gugup. Itu rasa lapar yang tenang. Seperti pria yang sedang menahan diri untuk tidak mencicipi sesuatu yang terlalu manis untuk disentuh.
Ia menarik napas pelan.
Ara bukan miliknya.
Belum.
Dan itu… mengganggu.
Tapi Kael tahu rasa seperti ini. Atau… setidaknya ia pikir pernah tahu.
Selama sepuluh tahun, ia mencintai Tania—cinta yang diam, panjang, dan mengakar. Tapi sekarang, bahkan saat ia mengingat wajah Tania, suara Tania, senyum Tania… yang ia rasakan hanya kekosongan. Datar. Tidak ada gelombang emosi sedikit pun.
Dan itu mengejutkannya.
Begitu mudah, begitu cepat.
Hilang.
Perasaan itu pergi tanpa pamit, seperti daun gugur yang terinjak tanpa disadari. Dan Kael tahu kenapa.
Karena sekarang, ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam—dan jujur saja, lebih berbahaya.
Ara.
Bukan Tania.
Perasaan pada Ara bukan cinta yang manis seperti dulu. Ini bukan rasa yang tumbuh pelan dan bisa dikendalikan.
Ini sesuatu yang lebih.
Lebih gelap.
Lebih mendesak.
Dan Kael tidak berniat melepaskannya.