Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deal
Laura berdiri di ambang pintu, tangannya mencengkeram tali jaket Max yang masih menyelimuti bahunya. Kakinya terasa berat, seolah ada tali tak kasatmata yang menahannya agar tidak pergi. Napasnya terdengar pelan, tapi dadanya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya.
Perlahan, dengan gerakan ragu-ragu, dia melangkah kembali ke dalam apartemen. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan sekat yang semakin menenggelamkannya dalam ruang yang penuh ketidakpastian ini.
Max mengamati gerak-geriknya sejenak sebelum akhirnya menghela napas pendek dan berjalan menuju dapur. "Aku ambil minum lagi," katanya ringan, seolah memberi Laura waktu untuk mengatur pikirannya.
Begitu pria itu menghilang di balik sekat dapur, Laura berdiri kaku di ruang tengah. Ia menatap kosong ke lantai, jemarinya mengusap lengan jaket yang ia kenakan. Masih ada kehangatan di sana—sisa dari tubuh Max.
Laura menutup mata sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin kacau. Logikanya berteriak, mengingatkannya pada cincin yang masih melingkar di jari manisnya. Pernikahan. Suaminya. Lima tahun yang terasa seperti selamanya.
Ketika Max kembali muncul dengan segelas air di tangannya, tubuh Laura menegang secara refleks. Dia menoleh, sorot matanya penuh kewaspadaan, seakan Max adalah ancaman yang harus dihindari.
Max berhenti di ambang dapur, menyesap sedikit minumannya sebelum menatap Laura dengan penuh ketertarikan. "Kamu terlihat seperti seseorang yang ingin kabur tapi juga ingin tetap tinggal."
Laura menelan ludah, bibirnya sedikit bergetar saat mencoba menemukan jawaban yang tepat. Namun, tidak ada yang bisa dia katakan. Dia memang ingin pergi—seharusnya pergi. Tapi mengapa tubuhnya justru tetap terpaku di tempat?
Max melangkah mendekat dengan gerakan perlahan, tapi sorot matanya sama sekali tidak meninggalkan Laura. Tatapan itu begitu intens, seolah ingin menelanjangi setiap pikiran dan kegelisahan yang tersembunyi dalam diri wanita itu.
Laura menelan ludah, jantungnya berdetak semakin cepat. Saat Max semakin dekat, udara di sekitarnya terasa lebih berat. Rasanya seperti terjebak dalam pusaran yang tidak bisa ia lawan.
Tiba-tiba, ia berdiri. “Aku… boleh ke toilet?” suaranya terdengar kering, hampir bergetar.
Max mengangkat alis sedikit, lalu mengangguk. "Tentu."
Tanpa menunggu lebih lama, Laura bergegas menuju toilet. Begitu pintu tertutup, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat merogoh ponsel dari dalam tasnya.
Dengan jari yang sedikit bergetar, ia mencari nama itu. Nicholas.
Ia menatap layar ponselnya dengan intens, berharap bisa menemukan sedikit logika dalam situasi ini. Dia tidak seharusnya ada di sini. Dia masih seorang istri.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia menekan tombol panggil.
Tuuut… tuuut…
Tidak diangkat.
Ia mencoba lagi.
Tuuut… tuuut…
Tetap tidak diangkat.
Hatinya semakin gelisah. Laura mencengkeram ponselnya erat, lalu mencoba untuk ketiga kalinya. Keempat kalinya. Kelima kalinya.
Akhirnya, sambungan tersambung.
Namun, suara di seberang begitu dingin. “Berhentilah menggangguku, Laura… aku sibuk!”
Laura terpaku. Seketika, keheningan menyelimuti dirinya.
Detik berikutnya, Nicholas memutuskan panggilan tanpa basa-basi.
Laura masih menatap layar ponselnya yang kini gelap. Dingin. Tanpa harapan.
Seketika, sesuatu dalam dirinya berubah.
Mungkin… sesekali, ia memang harus bermain gila.
Laura keluar dari kamar mandi dengan langkah mantap. Wajahnya tenang, seolah panggilan telepon barusan tidak pernah terjadi. Namun, matanya menyimpan sesuatu—api yang baru saja dinyalakan.
Max masih berdiri di tempatnya, diam, menunggu.
Lalu, dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan, Laura berkata, “Kamu tidak boleh menyentuhku jika aku tidak menyentuhmu lebih dulu. Dan kamu juga tidak boleh menghubungiku. Aku yang akan menghubungimu.”
Hening sejenak.
Max menatapnya lama, lalu menggeleng perlahan. Sudut bibirnya terangkat samar, tetapi sorot matanya penuh tantangan.
“Aku tidak bermain dengan aturan, Lau.” Suaranya dalam, hampir seperti bisikan yang memenuhi ruang di antara mereka. “Aku yang menentukan permainan ini.”
Ia melangkah mendekat, mengurangi jarak, tetapi tidak menyentuhnya.
“Tapi kamu selalu punya pilihan untuk berhenti. Jika kamu bisa.”
Laura tidak mundur, tidak juga gentar. Ia hanya menatap Max dengan ekspresi yang sulit ditebak—campuran antara perlawanan dan ketertarikan yang enggan diakui.
Ia mengangkat dagunya sedikit, seperti ingin menantang pria itu. "Aku bukan bagian dari permainan siapa pun, Max."
Max tersenyum miring, tatapannya gelap dan penuh intensitas. "Kalau begitu, jangan mulai permainan yang kamu sendiri tak yakin bisa menyelesaikannya."
Hening menyelimuti mereka. Ruangan terasa lebih kecil dari sebelumnya, seolah udara di antara mereka begitu berat.
Laura menghela napas, menegakkan bahunya. Ia lalu meraih tasnya dan berbalik, melangkah menuju pintu dengan keyakinan yang dingin. Tapi sebelum tangannya menyentuh kenop pintu, suara Max menghentikannya.
"Lau."
Ia berhenti.
"Saat kamu meneleponnya barusan, kamu berharap dia menahanmu, atau justru melepaskanmu?"
Jantung Laura berdetak lebih cepat. Jemarinya sedikit mengepal, tetapi ia tidak menoleh.
"Aku tidak mencari jawaban darimu, Max."
Max tersenyum kecil. "Bohong."
Laura menutup matanya sesaat, mengendalikan gejolak di dadanya. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuka pintu dan melangkah keluar.
Tapi Max tahu. Ini belum berakhir.
***
Laura berdiri di depan lift, menatap angka digital yang perlahan berubah. Tiga puluh detik terasa seperti seumur hidup. Jemarinya terulur ke tombol, tapi tangannya justru menggantung di udara, ragu-ragu.
Pikirannya berputar, berantakan seperti benang kusut yang sulit diurai. Napasnya memburu, tapi bukan karena ia terburu-buru. Itu karena ada sesuatu yang menariknya ke arah yang seharusnya tidak ia pilih.
Nicholas seharusnya menjadi rumahnya. Lelaki yang sudah menikahinya, yang seharusnya menjadi tempatnya pulang. Tapi suara dingin tadi di telepon menampar kenyataan ke wajahnya—Nicholas tidak menahannya. Nicholas bahkan tidak peduli.
Berhentilah menggangguku, Laura... Aku sibuk.
Sibuk dengan apa? Dengan siapa?
Dada Laura berdenyut perih. Lima tahun yang dihabiskan bersama Nicholas tiba-tiba terasa hampa. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali Nicholas benar-benar melihatnya—bukan hanya sebagai istri yang ada di rumah, tapi sebagai seorang wanita yang diinginkan, dihargai.
Kosong. Tidak ada.
Dan sekarang, di belakangnya, ada Max.
Max yang tidak pernah memintanya untuk tinggal, tetapi juga tidak pernah membiarkannya pergi tanpa pilihan. Max yang tidak berbasa-basi, tidak menutup-nutupi bahwa ia menginginkan sesuatu darinya. Bukan sekadar tubuhnya, tapi keputusannya.
Nicholas menolaknya. Max menunggunya.
Jemari Laura mengepal. Ia ingin percaya bahwa ini bukan tentang Max. Bahwa ini hanya tentang dirinya sendiri—tentang keinginannya untuk keluar dari kurungan yang selama ini mengikatnya. Tapi mengapa, ketika pikirannya mencoba mencari alasan untuk melangkah pergi, tubuhnya justru tetap terpaku di tempat?
Lift berbunyi, pintunya terbuka.
Namun Laura tidak masuk.
Ia hanya berdiri di sana, menatap pantulan dirinya sendiri di dinding baja dingin lift.
Apa yang ia lihat? Seorang istri yang setia, atau seorang wanita yang terluka?
Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin menjawab pertanyaannya sendiri. Tapi sebelum ada kata yang keluar, ia sudah berbalik.
Darahnya terasa lebih panas saat langkah kakinya kembali menyusuri lorong yang baru saja ia lewati.
Sementara itu, Max menyandarkan punggungnya ke dinding, melipat tangan di depan dada, dan mulai menghitung dalam hati.
Satu. Ia mendengar langkah kaki menjauh di lorong.
Dua. Keheningan menyusup di antara detik-detik yang berlalu, tetapi Max tetap tak beranjak.
Tiga. Ia bisa membayangkan Laura berdiri di depan lift, jemarinya mungkin sudah terulur ke tombol, tetapi sesuatu menahannya.
Empat. Ia menarik napas perlahan, nyaris bisa merasakan kegelisahan yang sama seperti yang kini pasti melanda wanita itu.
Sebelum sampai pada hitungan kelima, suara halus itu kembali.
Klik.
Pintu terbuka.
Max tidak terkejut. Ia bahkan sudah bersiap menyambutnya. Dengan senyum setengah menggoda, setengah menang, ia menatap wanita yang kini berdiri di ambang pintu.
"Selamat datang, Lau," ucapnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang disengaja untuk mengusik sesuatu di dalam diri Laura.
Laura berdiri di sana, rahangnya mengeras, matanya berkilat dalam pertempuran yang ia sendiri belum siap untuk akui. Namun, tangannya tetap menggenggam kenop pintu, seolah memberi dirinya jalan keluar jika masih ingin berpikir ulang.
Max tidak bergerak. Ia hanya menunggu, menikmati momen ini—momen di mana ia tahu bahwa Laura telah memilih untuk kembali, bahkan sebelum pikirannya menyusul keputusannya.
"Kamu ingin masuk atau hanya ingin berdiri di sana?" tanyanya, suaranya terdengar santai, tetapi ada sesuatu di balik kata-katanya—sebuah kepastian bahwa Laura tidak akan pergi lagi.
Laura mengembuskan napas perlahan. Kali ini, ia tidak berbalik. Tidak mencoba melawan. Ia melangkah masuk dan membiarkan pintu tertutup di belakangnya.
Dan Max? Max hanya tersenyum.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura