Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Lorong di lantai atas rumah itu sunyi. Lampu-lampu dinding menyala redup, menciptakan atmosfer yang tenang sekaligus sedikit mencekam.
Langkah kaki Arya terdengar mantap, menggema pelan di sepanjang karpet halus yang menutupi lantai.
Meskipun tampak tenang, pikirannya berputar tak ada kata yang benar-benar bisa mewakili perasaan yang kini menguasainya. Ia hanya tahu bahwa ada satu tujuan yang hendak dicapainya malam ini: kamar Kaila.
Setibanya di depan pintu, Arya ragu sejenak. Setelah menarik napas panjang, ia mengetuk pintu dengan perlahan, suara yang hampir tidak terdengar.
Pintu terbuka, dan di baliknya, Kaila berdiri dengan wajah yang terlihat lebih segar dari yang ia bayangkan.
Piyama biru muda yang dikenakannya menyiratkan kesederhanaan, sementara rambutnya yang tergerai menciptakan kesan alami dan tenang. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata Kaila sebuah kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
“Kau belum tidur?” tanya Arya dengan suara pelan.
Kaila mengangguk kecil. “Belum. Sedang membaca sedikit. Ada yang bisa saya bantu?”
Arya merenung sejenak, lalu dengan hati-hati melangkah masuk ke dalam kamar, menatap sekeliling.
Ruangan ini berbeda jauh dari kamar utama yang dia tinggali bersama Nayla , ruangan Kaila lebih sederhana, lebih hidup, dan terasa lebih personal.
“Aku baru keluar dari kamar Nayla,” ujar Arya tanpa basa-basi, suaranya tetap tenang meskipun ada beban tersembunyi. “Dia mencoba menggoda aku lagi.”
Kaila terdiam, menatap Arya dengan cermat. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda. Arya melanjutkan, seolah tak peduli dengan kebisuan itu.
“Tapi aku tak bisa menyentuhnya, Kaila,” tambah Arya dengan nada datar.
Kaila menahan napas, matanya menyelidik. “Kenapa kau memberitahuku ini?”
Arya mengangkat bahu dengan lemah. “Entah. Mungkin karena aku tak ingin menyimpan ini sendiri. Atau mungkin… karena hanya di dekatmu, aku bisa sedikit lebih jujur.”
Kaila diam sejenak, berusaha mencerna kata-kata itu. Namun, ada sesuatu yang membuat hatinya semakin berat.
Ternyata, malam ini bukan hanya tentang pernikahan kontrak mereka, tetapi tentang sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu bagaimana harus meresponnya.
“Aku tak ingin kau merasa tidak nyaman di sini,” Arya melanjutkan, suaranya kini lebih rendah, penuh ketulusan.
“Jika Nayla atau siapa pun melangkah terlalu jauh, katakan padaku.”
Kaila mengangguk perlahan. “Aku baik-baik saja.”
Namun, tatapan Arya yang dalam dan tajam kini beralih ke matanya. Ada ketegangan yang tak bisa dipungkiri.
Dalam keheningan itu, Arya mendekatkan dirinya sedikit, meskipun tetap menjaga jarak. Matanya menatap langsung ke mata Kaila, dan untuk pertama kalinya, ada keraguan yang terlihat jelas.
“Aku…” Arya menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara pelan, “Bolehkah aku tidur di sini malam ini? Aku merasa lelah, dan tidak ingin kembali ke kamar Nayla.”
Kaila terkejut, tetapi mencoba menyembunyikan kekagetannya. “Tidur di sini?”
“Ya,” jawab Arya dengan tegas, namun tetap menunjukkan keraguan di wajahnya. “Hanya tidur. Aku tidak ingin kembali ke kamar utama malam ini.”
Kaila merasa ada yang aneh, tetapi setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama.”
Arya menghela napas lega, meskipun masih ada keraguan yang mengendap. Ia berjalan menuju ranjang, duduk sejenak di tepi kasur.
Ternyata, ada sesuatu yang lebih dari sekedar kelelahan yang membuatnya ingin tinggal di sini malam ini. Sesuatu yang bahkan ia sendiri belum tahu bagaimana menjelaskannya.
Kaila duduk di kursi dekat meja, mencoba untuk memberi jarak. “Saya akan tidur di sini,” ucapnya lembut, memberi ruang bagi Arya untuk merasa lebih nyaman.
Arya mengangguk, dan dalam keheningan itu, mereka berdua mencoba menyelami rasa yang sulit untuk dipahami. Namun, malam itu, entah kenapa, segala sesuatu terasa lebih tenang.
Tanpa kata-kata lebih lanjut, keduanya terbaring di tempat tidur yang sama, meskipun dengan jarak yang sangat jauh, masing-masing merenungkan perasaan yang lebih rumit daripada yang bisa diungkapkan.
Udara di kamar itu mulai terasa berbeda. Waktu sudah larut, namun keduanya belum juga terlelap. Lampu tidur di sisi tempat tidur menyala temaram.
Menciptakan cahaya hangat yang menyapu permukaan kasur dan dinding-dinding berwarna krem lembut.
Arya berbaring membelakangi Kaila, sementara Kaila masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur, memeluk lututnya sendiri.
Ia merasa canggung, tapi juga tidak punya alasan kuat untuk mengusir Arya dari kamar itu. Ada sesuatu dalam cara Arya meminta izin tadi yang membuat hatinya lunak.
“Arya…” Kaila akhirnya memecah keheningan.
Arya membuka mata. “Hm?”
“Kau yakin tak apa tidur di sini? Maksudku… ini bukan rumahmu saja.”
Arya membalikkan tubuhnya perlahan hingga berhadapan dengannya. Mata mereka bertemu dalam cahaya redup.
“Aku hanya ingin dekat denganmu malam ini,” ucapnya jujur. “Setelah semua yang terjadi, rasanya terlalu dingin untuk sendiri.”
Kaila tak membalas. Ia menunduk, menghindari tatapan Arya yang seperti membaca isi hatinya.
Detik demi detik berlalu. Angin dari jendela yang terbuka sedikit membuat tirai bergoyang perlahan. Lalu, terdengar gemuruh petir dari kejauhan. Hujan mulai turun, menyapu malam dengan rintik-rintik yang membasahi kaca jendela.
Kaila terlonjak kecil saat petir menyambar lebih dekat. Arya yang melihat reaksi itu otomatis mendekat. “Kau takut?”
Kaila menggeleng, meski tubuhnya sedikit gemetar. “Tidak juga. Hanya kaget.”
Tanpa banyak kata, Arya bangkit, mengambil selimut tambahan dan duduk di sisi tempat tidur, tepat di sebelah Kaila.
“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya.
Kaila hanya mengangguk, matanya menatap hujan di luar jendela.
Hening. Hujan mengguyur semakin deras. Kilat menyambar sekali lagi, dan kali ini Kaila reflek menyandarkan diri pada Arya. Ia terdiam, namun tubuhnya masih bersandar ringan di dada Arya yang hangat.
“Maaf,” bisiknya, hendak menjauh.
Namun tangan Arya menahan pelan. “Tidak apa.”
Kaila tetap diam, mendengarkan detak jantung pria itu dari dekat. Entah mengapa, kehadiran Arya yang biasanya terasa penuh wibawa dan jarak, kini justru menghadirkan ketenangan yang aneh.
Lalu, seolah waktu melambat, kedekatan itu perlahan meleburkan batas. Tanpa saling mengucap kata apa pun, gerakan kecil seperti menyentuh tangan, menarik selimut, hingga menyandarkan kepala, berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam sebuah kebutuhan untuk merasa dimiliki dan diterima.
Tak ada paksaan. Tak ada kemarahan. Hanya kehangatan dua hati yang sama-sama lelah menghadapi dunia mereka masing-masing.
Malam itu, sekali lagi, keduanya tenggelam dalam pelukan yang rumit dan membingungkan. Sebuah pelukan yang seharusnya tak terjadi, tapi nyatanya menjadi tempat paling aman yang mereka punya.
Kaila tak menolak. Namun lebih seperti ia menginginkan sentuhan lembut Arya.
Arya tergoda dengan Nayla sebagai laki - laki normal. Namun Kaila lah yang menjadi labuhan Arya.