Sean, seorang Casanova yang mencintai kebebasan. Sean memiliki standar tinggi untuk setiap wanita yang ditidurinya. Namun, ia harus terikat pernikahan untuk sebuah warisan dari orang tuanya. Nanda Ayunda seorang gadis yatim piatu, berkulit hitam manis, dan menutup tubuhnya dengan jilbab, terpaksa menyanggupi tuntutan Sean karena ulah licik dari sang Casanova.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
"Sean, kamu di mana?"
"Di jalan. Ada apa?" sahut Sean, tetap fokus menyetir. Ia menggunakan headset agar konsentrasinya tidak terganggu.
"Kebetulan, aku juga sedang ingin keluar."
"Wow, kebetulan sekali."
Terdengar tawa renyah dari seberang sana. "Kamu di mana? Siapa tahu kita berjodoh keluar. Kamu bisa jemput aku, mungkin?"
"Aku ingin sekali, tapi..."
"Aku ada di kafe X-Kiss. Mungkin saja kamu tak jauh."
"Sayang sekali."
"Ah, apakah jauh? Kamu di mana?"
"Jakarta."
Sean langsung mematikan panggilan sepihak dan melempar headset sembarangan. Ia lelah. Hampir seharian di jalan, menempuh perjalanan lebih dari sepuluh jam. Apalagi, sempat terjebak macet. Yang ia inginkan hanyalah pulang dan tidur di bawah selimut hangat.
Pukul enam petang, lelaki beralis tebal itu memarkirkan mobilnya di garasi. Ia berjalan ke teras, merogoh kantong celana, lalu mengeluarkan kunci duplikat untuk membuka pintu rumah. Ruang depan remang karena lampu tidak dinyalakan. Aroma masakan menyambut kedatangannya. Sean tersenyum, menerka-nerka apa yang sedang Nanda masak. Perutnya tiba-tiba terasa lapar.
Semakin masuk ke dalam rumah, terdengar musik dari dapur. Di ambang pintu dapur yang memang tanpa daun pintu, Sean berdiri diam.
Dapur itu dipenuhi suara musik berirama cepat, berpadu dengan suara masakan dan dentang spatula. Seorang gadis, membelakanginya, ikut bernyanyi sambil menggoyangkan tubuh. Gumaman kecilnya mengikuti irama lagu. Sepertinya, ia sedang menikmati suasana memasak.
Sean ragu menyebutnya Nanda. Sebab, gadis itu tidak mengenakan jilbab seperti biasanya. Rambut panjang hitam legamnya tergerai hingga punggung. Ia mengenakan piyama lengan panjang bermotif kucing berwarna hitam. Entah mengapa, bibir Sean tertarik ke atas. Padahal sebelumnya, ia sangat ingin memarahi Nanda karena perkataannya di telepon semalam.
Karena terlalu hanyut dalam musik, Nanda tak menyadari kehadiran Sean. Ia masih bersenandung dan menari kecil, sementara tangannya terus mengaduk masakan di wajan. Sean tanpa sadar ikut menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Entah apa yang menghipnotisnya—musik yang mengalun atau gerakan Nanda?
Tiba-tiba, Nanda berbalik sambil membawa spatula di tangannya. Ia tersentak begitu melihat Sean di ambang pintu dapur. Matanya membesar, tubuhnya membeku. Spatula di tangannya jatuh ke lantai, tetapi ia tetap terpaku.
Siapa itu? Gadis manis dengan poni menyamping, menutupi sebagian alisnya. Imut sekali, meski kulitnya cenderung gelap. Seperti anak SMA yang polos dan tak tahu apa-apa.
Nanda menunduk, matanya bergerak ke sana kemari dengan panik. Ini pertama kalinya ia ada di hadapan Sean tanpa jilbabnya.
Malu!
Kenapa Sean pulang lebih cepat? Apakah ini hanya halusinasi? Apa yang ada di pikiran Sean setelah melihatnya seperti ini?
Dengan kepala tertunduk, Nanda berjalan cepat melewati Sean, masuk ke kamarnya, dan menutup pintu.
Sean hanya diam, mengikuti kepergian Nanda dengan pandangan mata. Hingga gadis itu menghilang di balik pintu kamar.
"Siapa dia?" gumam Sean, masih bingung. Tapi, siapa lagi yang mungkin ada di rumah ini jika bukan Nanda?
Aroma masakan yang mulai terlalu matang mengusik penciumannya. Sean menoleh ke arah kompor.
"Astaga!"
Ia buru-buru mengambil spatula yang tergeletak di lantai, melemparnya ke wastafel, dan mengambil yang baru. Mengaduk-aduk masakan yang mulai berubah warna.
"Anak itu ngapain sih? Masak malah ditinggal," omelnya.
Merasa tak bisa mengatasi keadaan, ia mematikan kompor. Baru melakukan sedikit saja sudah membuatnya merasa lelah. Aneh memang.
"Nanda!"
"Gosong!"
Sean menatap gadis yang kini sedang memindahkan nasi ke dalam piring. Sekarang, Nanda sudah mengenakan jilbab seperti biasa.
"Apa?"
"Kamu mau menyuruhku makan oseng tempe yang setengah gosong ini?" protes Sean ketika Nanda menyendok oseng tempe yang kecoklatan—bahkan ada yang menghitam.
"Jadi Kakak mau makan apa? Adanya cuma ini. Kalau nggak suka, Kakak bisa pesan lewat aplikasi," ketus Nanda, meletakkan piring berisi nasi saja. Ia urung memindahkan oseng tempe setelah mendengar protes Sean tadi.
"Apa ini? Kenapa hanya nasi?"
Nanda yang sudah kesal karena Sean pulang tanpa pemberitahuan menarik kembali piring yang sudah ia letakkan.
Sean buru-buru menahan piringnya. "Apa ini? Kenapa diambil lagi?"
"Bukannya Kakak nggak mau makan?"
"Siapa yang bilang?"
Nanda melepaskan piringnya, bersamaan dengan Sean yang menariknya kembali ke hadapan. Sama-sama diam. Hening. Lalu, secara bersamaan pula mereka menghela napas berat.
"Kenapa pakai jilbab lagi?" tanya Sean, memindahkan telur dadar ke piringnya.
"Ada Kak Sean," jawab Nanda singkat.
Gerakan Sean terhenti. Ia menatap Nanda.
"Apa dia pikir aku akan memakannya jika nggak pakai jilbab seperti ini?" batinnya.
"Aku nggak tahu Kakak pulang secepat ini. Kupikir baru nanti malam sampai," lanjut Nanda.
Sean mengangguk-angguk, menyendok oseng tempe yang setengah gosong, lalu menyuapnya.
"Tapi, kamu selama ini selalu pakai jilbab. Setiap aku pulang, kamu sudah terbungkus seperti itu."
Nanda enggan menjawab. Ia memilih untuk fokus makan.
"Kamu manis juga kalau nggak pakai jilbab," celetuk Sean tiba-tiba.
Nanda yang sedang menyuap nasi langsung tersedak. Ia menatap Sean dengan wajah penuh perasaan ngeri.
"Jangan jatuh cinta padaku!"
Sean tergelak. Tawanya pecah.
"Kamu kok lucu banget," ujarnya sambil menggelengkan kepala.
"Bisa saja kan Kakak jatuh cinta padaku?"
Sean semakin tertawa lebar. Nanda semakin kesal. Ia memilih menyelesaikan makan tanpa menghiraukan Sean. Bahkan saat ia selesai, Sean masih saja terkekeh sambil menggeleng-geleng.
"Apa sih yang lucu?" gerutu Nanda.
Ia bangkit, membawa piring bekas makannya ke wastafel. Saat ia mencuci, Sean menyusul, berdiri di sampingnya. Masih tertawa kecil, bahunya berguncang pelan.
Nanda yang sudah selesai mencuci hanya melirik ke arahnya. Melihat Sean mencuci piring sendiri adalah sesuatu yang langka. Namun, ia jengkel karena Sean masih saja tertawa.
Memutar mata malas, Nanda melangkah pergi.
"Ini!"
Sean, yang tengah bersantai sambil merokok di halaman belakang, menatap benda pipih yang disodorkan Nanda.
"Apa ini?"
"Test pack."
Sean menoleh, melihat Nanda yang kini berdiri di sampingnya.
"Iya, tahu. Buat apa?"
Nanda berdecak kesal. "Mama pikir aku hamil kemarin. Jadi, daripada ambil risiko, lebih baik tunjukkan saja ini."
Sean tersenyum miring, menghisap rokoknya.
"Pintar."
"Demi apa coba aku sampai beli test pack dan tes urin sendiri?!"
Sean terkekeh. "Berarti sudah selesai urusan Mama. Sini biar ku foto."
Ia meletakkan rokoknya di asbak, mengambil test pack, lalu memotretnya.
Nanda, yang tidak suka asap rokok, langsung mematikan rokok Sean.
"Apaan sih? Aku masih mau ngudut!" protes Sean.
"Ngudud lah," tukas Nanda, merebut test pack dari tangan Sean, lalu pergi. Tapi, sebelum benar-benar melangkah jauh, ia berbalik, mengambil puntung rokok yang masih panjang, lalu mematahkannya menjadi dua.
Sean langsung melotot.
"Kamu!"
Merasa dalam bahaya, Nanda melempar puntung rokok ke arah Sean, lalu berlari ke dalam.
Sean mendelik melihat patahan rokok di tangannya.
"Nggak bisa dibiarkan nih bocah!"
Sean bangkit, berlari mengejar Nanda.
"Malika, kedelai hitam!"
"Kubikin kecap kamu!"
sampai bikin malika kaget
🤔👍❤🌹🙏
hayooh nti terlambat loh keburu diambil irham
🤣🤣🙏🌹❤👍
mending kamu terus aja hubungan sama Irham 👍👍👍😁
🤣🙏🌹❤👍
heheee... pasti kaget lou tau 🤭🙏🌹❤👍
dah tau sean udah muak sama kamu udah dblokir pula ehhh PD bgt sok nlpon2
🤭👍🌹❤🙏
sean siap siap otakmu dipenuhi nanda nanda dan nanda 🤣🤣