Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Di ruang kelas XI IPA 1, para siswa terlihat tengah serius mendengarkan materi yang disampaikan oleh pak Denis-guru matematika di depan mereka. Beberapa terlihat sibuk mencatat, namun barisan belakang ada juga yang terlihat tidak tertarik.
Tok..tok..
Suara ketukan dari pintu sontak memecah fokus para siswa, Bu Indi-wali kelas mereka muncul dari balik pintu, "Mohon maaf mengganggu waktunya sebentar."
Pak Denis menghentikan penjelasannya, kemudian menoleh ke arah pintu, "Ya, silahkan bu."
Bu Indi melangkah masuk, pandangannya menyapu seluruh ruangan, "Selamat siang anak-anak."
"Siang Bu.." seru para siswa hampir serentak.
"Baik, disini ibu ingin menyampaikan, untuk ulang tahun sekolah bulan depan, setiap kelas wajib mengirim pertunjukan teater. Tadi sudah diundi, kelas kita mendapat drama Lutung Kasarung, dan ibu sudah pilih orang-orangnya." Bu Indi menunjukkan kertas yang berisi nama para siswa yang sudah dipilihnya.
Bisik-bisik mulai terdengar dari para siswa, ada yang antusias, ada juga yang takut terpilih.
"Nayla, tolong nanti dibacakan ya." Bu Indi memberikan kertas itu pada siswi bernama Nayla yang merupakan ketua kelas.
"Baik Bu." balas gadis bernama lengkap Nayla Kartika itu.
"Itu saja yang ingin ibu sampaikan, ibu harap untuk siswa yang terpilih, agar mulai berlatih, nanti akan ibu kirim naskahnya, jika ada yang keberatan bisa langsung hubungi ibu."
Bu Indi menutup map cokelat di tangannya, lalu menoleh ke arah Pak Denis. "Terima kasih waktunya ya Pak."
"Iya Bu, sama-sama," jawab Pak Denis sambil tersenyum.
Bu Indi pun melangkah keluar kelas, meninggalkan suasana yang mendadak ramai. Pak Denis kembali ke papan tulis, namun fokus siswa sudah terpecah.
"Nay, baca sekarang aja gak sih?" celetuk salah satu siswa dari bangku belakang.
"Iya penasaran," sahut yang lain.
Nayla menoleh ke arah Pak Denis, meminta izin dengan tatapan. Pak Denis menghela napas kecil, lalu mengangguk. "Lima menit aja ya, habis itu kita lanjut."
"Oke Pak," jawab Nayla cepat.
Gadis itu berdiri dari bangkunya, membuka kertas yang tadi diberikan Bu Indi. Tangannya sedikit bergetar, entah karena grogi atau terlalu antusias.
"Peran utama, Lutung Kasarung," Nayla membaca, lalu berhenti sejenak. "Tristan."
Seketika kelas bergemuruh.
Nayla kembali melanjutkan membaca, "Peran Purbasari, Alleta.."
Riuh kembali terdengar, Alleta dan Tristan saling menoleh, layaknya sahabat yang saling memberi semangat.
"Udah gayss tenang dulu." Nayla berseru, berusaha menenangkan seisi kelas. "Untuk peran Purbararang gue sendiri dan yang jadi pangeran Indrajaya, Sagara.
Alleta memalingkan wajah ke arah Sagara, pemuda itu nampak tenang, entah menerima atau menolak peran yang ia dapat, sangat sulit menebak dari raut wajahnya.
Riuh kembali terdengar, kali ini lebih heboh dari sebelumnya. Aru langsung menepuk meja di hadapannya, Alleta sontak menoleh, "Sumpahh, bakal seru sih.."kata Aru.
"Aru, Nami, sama Raya, jadi dayang. Dan untuk cowoknya, Bara, Nula, Vero, sama Gazi, kalian jadi peran pendukung. Nanti ada juga yang jadi pohon, sama bunga, gue share di grup." ujar Nayla kembali melanjutkan.
Kelas kembali riuh rendah setelah Nayla menyebutkan beberapa peran pendukung, ada yang tertawa, ada yang tidak terlalu peduli tapi juga penasaran.
Pak Denis berdehem pelan, tapi tegas. "Oke, saya tau ini menarik, tapi kita punya limit turunan yang belum selesai."
"Yah.." Seisi kelas mengerang serempak.
"Bentar lagi pak.." Kata siswa bernama Gazi Abhiseva yang duduk di belakang, pemuda itu jelas tidak tertarik untuk melanjutkan pelajaran.
"Lima menit sudah lewat, sekarang buka halaman 54." kata pak Denis tegas, tanpa kompromi.
Nayla buru-buru kembali ke bangkunya, kelas kembali tenang meskipun bisik-bisik masih terdengar dari berbagai sudut.
...****************...
"Yuk." Seru Tristan yang sudah siap di atas motornya.
"Ayoo.." Alleta yang tak kalah bersemangat kemudian naik ke jok belakang, setelah memakai helm, motor sport merah itu mulai melaju dari pekarangan rumah Alleta.
Sementara itu, di kediaman Nayla, semuanya terlihat sudah berkumpul kecuali dua orang yang belum datang. Nayla mulai membagikan naskah masing-masing.
"Okey guys.., sambil nungguin mereka datang, kalian coba hafalin dialog masing-masing dulu ya." kata Nayla.
"Siap ibu ketua.." balas Bara.
Mereka pun terlihat mulai sibuk dengan peran masing-masing, Aru, Nami dan Raya terlihat mulai latihan menari, karena ada bagian mereka yang berisi adegan menari.
"Lah, kok gue jadi monyet..?" Gazi menggaruk kepalanya, dia jelas tidak terima dirinya mendapat peran sebagai monyet.
"Gue juga.." seru Nula Baswara yang juga mendapat peran yang sama.
"Mana dialognya cuma uuu aa uu aaa lagi.." lanjut Gazi lagi.
"Nay, serius, masa muka spek artis Drakor gini jadi monyet..??" protes Nula.
"Mana gue tau.., itu udah Bu Indi yang bagiin.., lagian tampang kalian berdua emang mirip monyet."
Perkataan Nayla langsung disambut teriakan protes dari Nula dan Gazi. Sementara Vero Aksadana yang mendapat peran sebagai ayahanda dan Bara Barunika sebagai penasihat kerajaan, hanya bisa tertawa cekikikan di belakang.
"Ayolah Nay, gue jadi ksatria kek, atau ninja, apapun deh asal jangan monyet.." pinta Nula, setengah pasrah.
Aru tertawa sambil tetap berusaha menghafal gerakan, "Mikir lah kocak, mana ada ninja di drama Lutung Kasarung." seru Aru yang disambut gelak tawa oleh yang lain.
Nayla melipat tangan di depan dada, santai. "Udah, terima nasib aja, lagian peran monyet itu penting tau, tanpa Lo berdua, Lutung kasarung gak akan jadi Lutung."
Suasana ruang tamu Nayla menjadi riuh, dipenuhi tawa dan celoteh. Hingga terdengar suara motor dari luar.
"Nahh, itu pasti mereka dateng." ujar Nayla kemudian menoleh ke arah pintu.
Benar saja, tak lama berselang, Alleta muncul dari pintu utama disusul oleh Tristan di belakangnya. Begitu mereka muncul, seisi ruangan langsung bereaksi.
"Akhirnya.., bintang utama kita datang juga, mari kita sambut Lutung Kasarung dan Purbasari..." seru Vero bersemangat, seolah menjadi MC dari sebuah acara seremoni penyambutan.
"Apaan sih.." respon Alleta, bercanda.
Tristan tersenyum tipis, matanya langsung dapat menangkap sosok Sagara yang duduk di sofa sembari memegang naskah, ekspresinya tampak tenang, meskipun terdapat sisa tawa yang jelas di wajahnya.
"Oke lengkap." kata Nayla sambil bertepuk tangan. "Sekarang kita mulai baca naskah bareng. Fokus ya, ini latihan pertama."
Semuanya duduk melingkar, Alleta duduk bersebelahan dengan Tristan, sementara Sagara agak berjauhan.
"Scene pertama, " Nayla membaca arahan, "Ayahanda menetapkan Purbasari sebagai calon ratu."
Vero mulai membaca dialognya, "...Purbasari," suara Vero terdengar dibuat-buat berat, jelas masih terbawa suasana bercanda, "engkau putriku yang paling bijak. Kerajaan ini akan Ayah serahkan kepadamu."
Beberapa langsung terkekeh, namun Nayla cepat-cepat mengangkat tangan. "Stop ketawa, serius dikit. Ulang dari dialog Ayahanda."
Vero mengangguk, lalu mengulang dengan nada lebih tenang. Kali ini suasana perlahan berubah. Alleta menunduk sebentar, membaca bagiannya, lalu mulai masuk ke dialog.
"Ayahanda..." suara Alleta lembut, ragu, sesuai karakter Purbasari. "Hamba belum pantas menerima semua ini."
Latihan terus berlanjut, meski tawa masih pecah sesekali, terutama pada bagian Nula dan Gazi yang harus masuk dengan suara monyet mereka. Namun ketika adegan utama dimulai, suasana kembali serius dengan sendirinya.
Scene selanjutnya adalah adegan ketika Purbasari bertemu dengan Lutung Kasarung di hutan, Alleta menarik napas pelan sebelum membaca dialognya. "Kamu lutung??, bisa bicara??"
Tristan mulai masuk dalam adegan, "Kamu tuan putri, kenapa ada di hutan??"
Alleta mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dibuat waspada namun lembut. "Aku diusir dari kerajaan, kamu lihat sendiri kulitku penyakitan.."
Tristan sedikit menunduk, menyesuaikan postur tubuhnya agar seperti mahluk hutan yang rendah hati. "Penyakitan??, tapi kamu tetap terlihat cantik."
Alleta sempat terdiam sejenak. Kalimat itu membuat beberapa pasang mata refleks terangkat dari naskah.
"Ehem." Nayla berdehem kecil, mengingatkan agar tetap fokus.
Alleta melanjutkan, menahan senyum yang hampir lolos. "Cantik atau tidak, tetap saja aku tak lagi punya tempat," ucapnya lirih, kembali masuk ke peran Purbasari. "Semua orang memalingkan wajah dariku."
Tristan mengangkat kepala perlahan, suaranya dibuat lebih tenang dan dalam. "Selama kamu mau menjadi temanku, hutan ini bisa menjadi rumahmu. Aku akan menjagamu."
Pada adegan itu semuanya mendadak serius, bahkan Nula dan Gazi yang sedari tadi pecicilan tak bisa diam, duduk bersila di belakang Tristan, persis seperti monyet yang sudah diberi pisang.
Latihan terus berlanjut, tak terasa waktu menunjukkan pukul delapan malam. Lampu ruang tamu Nayla mulai terasa lebih redup, bukan karena cahayanya berubah, tapi karena kelelahan yang perlahan merayap ke wajah semua orang.
"Buset... udah jam delapan," ujar Bara sambil melirik jam di ponselnya.
"Ih pantes laper," sahut Aru, langsung rebahan di karpet. "Tapi jujur ya, tadi adegan hutan tuh dapet banget."
Nayla menutup naskahnya pelan. "Iya. Untuk latihan pertama, ini di luar ekspektasi gue."
Alleta menghembuskan napas panjang, pundaknya sedikit turun. "Capek... tapi seru," katanya sambil tersenyum kecil.
"Kita udahin dulu untuk latihan pertama ya, latihan berikutnya kita atur lagi, kalau bisa dua atau tiga kali seminggu." Nayla berdiri perlahan. "Jangan lupa hafalin dialog, terutama yang dapet peran utama."
"Siap ibu sutradara.." jawab Gazi sembari menguap, disusul oleh tawa yang lain.
Mereka pun mulai berbenah, ada yang pamit lebih dulu, ada yang masih bercanda di depan pintu. Alleta yang sudah selesai mengemasi tas kecilnya langsung melangkah ke arah Tristan. "Yuk pulang."
Keduanya kemudian berpamitan. Alleta berdiri dengan helm di tangannya, saat Tristan masih mengeluarkan motornya, disaat bersamaan Sagara muncul dan langsung melangkah menuju motor sport hitam yang terparkir tak jauh dari tempat Alleta berdiri.
"Gue gak nyangka, ternyata Lo jago juga main peran." kata Alleta sembari menghampiri Sagara.
Tadi ketika Sagara mulai berlatih dalam adegan nya, Alleta secara spontan memperhatikannya, karena dia benar-benar tidak menyangka Sagara yang seorang pendiam ternyata bisa berdialog dengan sangat bagus.
Sagara tersenyum tipis, "Biasa aja." Pemuda itu menyelipkan naskah ke dalam tasnya, lalu mengangkat helm cakil hitam miliknya. "Gue cuma berusaha masuk ke karakternya aja."
Alleta mengangguk kecil, "Tetep aja, Lo keren, gak kelihatan kaku."
"Thanks. Lo juga keren." balas Sagara, kali ini senyum benar-benar mengambang di wajahnya, ada nada hangat yang jarang muncul.
Tak lama, Tristan yang sudah berada di motor merahnya melirik sekilas ke arah mereka, lalu berkata santai, "Ayo All, udah malem."
"Iya." Sahut Alleta, dia kembali menoleh ke arah Sagara, "Lo hati-hati ya.
"Lo juga." balas Sagara kemudian melangkah menuju motornya."
Mesin menyala hampir bersamaan, "Duluan ya bro." ujar Tristan yang dibalas anggukan oleh Sagara.
Tristan dan Alleta kemudian melaju terlebih dahulu, meninggalkan pekarangan rumah Nayla, disusul Sagara beberapa detik kemudian, namun mengambil arah yang berbeda di pertigaan depan.
Bersambung...
-Rasa sakit terbaik adalah, rasa sakit yang muncul di perutmu ketika tertawa bersama temanmu-