Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HIJRAH RASA - 14
Kini Azzam dan Zira sudah berada di kamar apartemen. Sementara Farah gadis itu pulang bersama mereka tadi, tapi harus kembali ke minimarket depan untuk membeli sesuatu.
“Abang, kenapa sih masih jalan sama mbak Sienna? Abang itu suami orang,” ujar Zira sembari melipat tangannya di dada, menatap Azzam dengan mata yang seolah mencari jawaban.
Azzam menghela napas pelan. Ia baru saja kembali dari menaruh koper Zira di kamar, dan kini berdiri di tengah ruang dengan tangan menyilang di dada berusaha tampak tenang.
“Kita ada kerjaan, Ra…”
Zira memutar bola matanya malas. Lalu duduk di pantry, kaki disilangkan dengan angkuh. Di depannya, segelas air putih terdiam begitu saja, seolah menjadi saksi bisu dari tensi yang terus meningkat.
“Kerjaan kok mesra banget sih, Bang,” sindir Zira dengan suara tajam, menyiratkan rasa tidak puas
dengan jawaban Azzam.
Azzam menatap Zira sekilas. Pandangannya sejenak tajam, namun ia segera mengalihkan pandangan dan kembali meneguk airnya hingga tandas lalu berucap.
“Kamu kan tau, Abang dan Sienna memang sedekat itu sejak lama. Ya wajar lah, kalau kita kelihatan dekat,” ucap Azzam enteng.
Zira mendengus kasar, lalu berdiri dari duduknya.Tangannya menepuk meja pantry pelan.Gerakannya tidak kasar, namun penuh dengan kebosanan yang tak terucapkan.
“Setidaknya hargai status Abang sebagai suami Farah,” ujar Zira dengan nada yang mulai meninggi, namun tidak terlalu keras.Lalu ia melangkah menuju kamarnya.
Begitu Zira menghilang di balik pintu kamar, pintu apartemen terbuka perlahan. Farah muncul di ambang pintu.Wajah gadis itu terlihat lelah dan tangan kanannya terlihat menenteng sebuah paper bag coklat. Farah menoleh sekilas pada Azzam yang masih berada di kursi pantry, tatapan mereka sekilas saling bertaut, hingga kembali teralih ketempat lain. Tak ada tegur sapa walau hanya sekedar basah basi.
Farah kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mereka.
Namun, baru saja tangan Farah menyentuh knop pintu kamar, suara Azzam memgalihkan atensinya.
“Kita perlu bicara,”suara Azzam terdengar tegas.
Farah menarik napas dalam, seolah menyiapkan diri untuk pertempuran kata-kata yang sudah sering terjadi. Ada perasaan tak ingin terlibat lebih dalam, namun ada juga rasa yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
“Besok aja Mas, aku ngantuk,” ucap Farah pelan, suaranya seperti dibungkus keletihan yang dalam.
“Saya perlu ngomong sekarang,”Azzam berkata lagi, kali ini sedikit lebih keras, memaksa.
Farah berhenti sejenak, namun tak menjawab. Ia hendak melanjutkan langkahnya, namun tiba-tiba lengannya tertahan oleh Azzam.
Tanpa peringatan, Azzam menarik Farah dengan cepat, tidak kasar, namun tegas. “Ikut saya.”
Farah tidak melawan. Langkahnya terasa berat, seolah ia mengikuti arus meskipun hati dan pikirannya sedang melawan. Mereka berjalan keluar dari apartemen.
Keduanya menyusuri lorong sepi di Cannaregio. Udara malam menusuk pelan, membawa aroma air asin dan bebatuan basah. Cahaya lampu jalan membias samar di permukaan kanal, bergoyang pelan dibelai angin.
Farah mengedarkan pandangannya ke arah air yang menghitam, tempat hanya pantulan cahaya temaram menari di permukaannya. Diam-diam, ia menahan napas sejenak, seperti bersiap untuk menghadapi sesuatu yang sudah ia duga.
“Mau ngomong apa?” Tanya Farah tanpa basa-basi. Suaranya terdengar datar.
Azzam menoleh sekilas padanya. Wajah Farah nyaris tak menunjukkan ekspresi. Ia kembali memandang kanal sebelum membuka suara.
“Maaf,” ujar Azzam.
Gadis itu menoleh sekilas pada Pria disampingnya lalu kembali menatap kanal didepan.
“Untuk pernikahan kita?” Sudah bisa Farah tebak.
“Hm. Saya masih belum mengatakan status kita pada Sienna, atau siapa pun,” ujar Azzam ada jeda berat di kalimatnya. “Dan soal kedekatan saya dan Sienna.Saya harap kamu bisa mengerti,” Sambungya lagi.
Farah mengulas senyum tipis. Bukan senyum lega, lebih seperti lapisan rapuh yang menyembunyikan riak luka. Bohong kalau dia tidak merasa kesal melihat kedekatan wanita itu dengan suaminya.
Status mereka memang hanya pernikahan kontrak, tetapi entah kenapa rasanya begitu menyesakan.
“Aku, nggak masalah soal status kita yang masih Mas, sembunyikan,” akunya pelan.
“Dan soal Mas dan Mbak Sienna … aku oke-oke aja. Selama impianku bisa terwujud, aku nggak masalah.” pungkas Farah, seperti menyatakan sesuatu yang sudah ia yakini berkali-kali dalam hati.
Azzam mengukir senyum sama, menatap langit malam yang pekat di atas kota tua itu. Angin kembali bertiup, menerpa tubuh mereka, membuat coat hitamnya bergeser sedikit. Ia menariknya rapat.
Hening. Mereka sibuk dengan isi kepalanya masing-masing.
“Maaf, kalau kamu merasa tidak nyaman dengan pernikahan ini,” kata Azzam akhirnya
Farah menoleh, menatap Azzam sejenak, lalu membuang pandangannya kembali ke depan lalu berucap.
“Seenggak nyaman bagaimanapun pernikahan ini, aku akan tetap lanjutin. Aku punya mimpi yang baru saja akan aku mulai.” Entah kenapa, kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Azzam terdiam. Malam terasa lebih sunyi, seolah seluruh kota menahan napas bersama mereka.
“Jika suatu saat nanti pernikahan ini sudah membuat kamu tidak nyaman, silahkan pergi. Tenang saja impian kamu akan tetap terwujud,” imbuh Azzam.
Farah tersenyum sinis. Tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak tersampaikan.
“Selama pernikahan ini masih menguntungkan, aku akan bertahan.” ujarnya, jujur tapi perih.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Farah melangkah pergi. Langkahnya mantap namun lambat, seolah ingin segera menjauh tapi juga berat untuk benar-benar pergi. Azzam hanya berdiri diam. Ia tidak menghalangi, hanya memandangi punggung istrinya yang menjauh, dibalut coat coklat yang kontras dengan gelapnya lorong.
“Maaf, Fa...” gumam Azzam lirih, nyaris tak terdengar. Matanya masih menatap punggung Farah yang sebentar lagi hilang di balik gelap lorong.
Langkah Farah terus berderap, tapi hatinya seperti dihantam gelombang yang tak bisa diredam. Kata-kata yang ia ucapkan tadi menggema di kepalanya, keras, jujur, dan menyakitkan. Tapi ia menahannya.
Ia terus melangkah, berpura-pura tidak peduli. Tapi setiap langkah seperti mengikis kekuatannya.
Entah sejak kapan, ia merasa begini. Sejak kapan kata-katanya tak lagi sejalan dengan isi hati. Tapi malam ini, berpura-pura kuat adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
***
Venezia pagi itu tak ubahnya lukisan hidup. Udara segar menyelinap di antara celah bangunan tua yang terpantul indah di permukaan kanal. Langitnya masih pucat, sementara sinar matahari mulai merayap pelan, menyentuh permukaan balkon apartemen-apartemen bergaya Renaissance di kawasan Cannaregio. Deru lembut air kanal beradu dengan riuh camar, membangunkan kota yang tak pernah benar-benar terlelap.
Di sebuah apartemen mewah, kehangatan aroma bumbu tumis sudah lebih dulu memenuhi udara.
Zira, gadis dengan jilbab instan hitam,tengah sibuk di dapur. Tangannya lincah bermain dengan spatula.Cahaya matahari menyorot wajahnya yang tampak fokus. Aroma masakan menguar di dalam ruangan, menggugah selerah sang penghuni apartemen.
Farah duduk santai di kursi pantry, dagunya bertumpu pada telapak tangan, matanya tak lepas dari gerak-gerik Zira.
“Sumpah, kangen banget sama masakan kamu,” ucap Farah sambil mengendus udara, mencoba menangkap aroma yang begitu familiar.
Zira tertawa pelan. “Emang, kamu tuh nggak bisa move on sih dari masakan aku.”
“Bener-bener, semenjak di sini yang aku ingat itu masakan kamu. Apalagi mie instan buatanmu… behh… gagal move on aku.”
Zira tergelak, ekspresinya geli. “Lebay, bilang aja mau aku masakin kan.”
Farah nyengir kuda. “ Boleh sih, kalau kamu maksa.”
Zira memutar bola matanya malas. “ Cih. Tapi tenang, aku bawa stok mie instan banyak.”
“Wah, tau aja kamu, disini indomie mahal banget,” Farah terbahak.
Seketika ruangan penuh dengan gelak tawa keduanya.
Namun ketenangan itu terpecah saat bel apartemen berbunyi. Sekali, lalu dua kali. Suaranya tak nyaring, tapi cukup memecah kehangatan pagi itu.
Farah dan Zira saling pandang. Farah mengangkat bahu ia pun tidak tahu siapa yang datang.
“Emang suka ada tamu ya pagi-pagi gini?” Tanya Zira, alisnya terangkat.
Farah menggeleng pelan. “Nggak sih… baru kali ini ada tamu.”
Zira berniat menuju pintu, tapi Farah menahannya dengan lambaian tangan. “Biar aku yang buka. Kamu selesaiin aja masakannya.”
Zira mengangguk. Farah berjalan menuju pintu. Bel masih berbunyi, kali ini lebih pendek. Ia menarik napas, lalu memutar knop.
Di balik pintu berdiri seorang perempuan berambut gold brown panjang yang tergerai lembut di bawah bahu. Mantel hitam panjang melapisi tubuh tingginya. Ia tersenyum ramah.
Farah bergeming. “Mbak Sienna?”
“Hai …” Sapa Sienna.
Farah tersenyum kaku, belum juga mempersilahkannya masuk.
“Siapa, Fa?” Suara Zira terdengar dari dalam. Langkahnya makin dekat.
Langkah Zira terhenti begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Ekspresinya berubah dalam sekejap.
“Loh… Mbak Sienna ngapain ke sini pagi-pagi?” Nada suaranya ketus, tanpa basa-basi.
Sienna tetap tersenyum. “Gue bawa sarapan buat Azzam.” Sembari mengangkat paper bag coklat yang dibawahnya.
Zira mendengus, matanya memutar dengan malas. “Nggak perlu kali, Mbak. Bang Azzam udah ada kami yang masakin.”
Farah menyikut Zira pelan, lalu melontarkan senyum sopan. “Masuk dulu, Mbak.”
“Fa…” Zira hendak protes, tapi Farah menatapnya tajam. Zira memilih diam, meski jelas dari wajahnya amarah belum padam.
Farah mempersilakan Sienna duduk di sofa. Atmosfer dalam ruangan berubah kaku, seperti ada sesuatu yang menggantung, tak terlihat tapi nyata.
Tak lama kemudian, Azzam keluar dari kamar. Jas dan dasi sudah rapi. Ia tampak terkejut melihat siapa yang ada di ruang tamu.
“Loh… kok di sini?”
“Gue bawain lo sarapan,” jawab Sienna, senyum di bibirnya tak pudar.
Azzam membalas dengan senyum tipis. “Makasih.”
Di sudut ruangan, Zira berdiri bersedekap. Sorot matanya menusuk.
“Besok-besok nggak usah bawa sarapan segala, Mbak. Kami masih mampu kok masak buat Bang Azzam.”
Farah menatap Zira tajam, tapi tak berkata apa-apa. Sienna hanya diam. Seolah ucapan Zira tak pernah ada. Azzam pun tetap sibuk memeriksa file tanpa komentar.
Zira makin kesal. Diam mereka membuatnya merasa tak dianggap. Ia nyaris maju, tapi Farah menahannya, menggenggam lengannya, memberi isyarat dengan tatapan: bukan sekarang.
“Yuk, berangkat sekarang,” ucap Azzam kepada Sienna.
Tanpa pamit, keduanya berlalu begitu saja. Farah dan Zira hanya diam menatap pintu yang kini kembali tertutup.
Zira mengepalkan tangannya. Amarah bergejolak di dadanya, tapi Farah masih terlihat tenang. Setenang permukaan air kanal yang menyembunyikan arus di dasarnya.
Setelah kepergian Azzam dan Sienna. Farah masuk ke kamar, mengambil tas dan dokumen. Zira mengikutinya.
“Fa... kamu nggak bisa biarin Bang Azzam pergi berdua sama Mbak Sienna itu.” Nada Zira tajam, nyaris memohon.
Farah tetap diam, mengacak berkas-berkas di atas meja.
“Fa…”
Farah akhirnya menoleh.Gadis itu menghela napas pelan lalu berucap.
“Ra... please, bisakah kita nggak bahas ini dulu? Fokus ke permesso dulu.”
Zira menahan napas. Lalu mengangguk dengan malas. “Iya-iya.” Zira masuk ke kamarnya, mengambil dokumen, lalu kembali menghampiri Farah yang sudah menunggu di depan pintu.
Farah tahu, semua ini adalah bagian dari pilihannya. Menikah bukan karena cinta, tapi karena impian. Ia tahu resikonya. Ia paham konsekuensinya. Tapi tak ada yang mempersiapkan hatinya untuk perasaan yang datang diam-diam.
Dan kini, satu-satunya cara bertahan adalah tetap berjalan, menjaga ritme hati, dan menolak jatuh karena ia tahu, sekali terjatuh, luka itu bisa lebih dalam dari yang ia kira.