NovelToon NovelToon
Jadi Istri Om Duda!

Jadi Istri Om Duda!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:471
Nilai: 5
Nama Author: Galuh Dwi Fatimah

"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perasaan Riri

Pertanyaan itu membuat Bastian sedikit terdiam. “Pertanyaan kamu… cukup berat.”

“Ya kan aku cuma nanya,” jawab Riri cepat. “Om masih muda, ganteng, sukses. Masa sih gak ada yang deketin?”

Bastian menatap lurus ke jalan, tak ingin menoleh. “Saya sudah tidak muda lagi, Riri. Lagipula Bukan gak ada… tapi belum ada yang cocok.”

“Kalau cocoknya itu muncul tiba-tiba, gimana?” suara Riri makin pelan. “Misalnya dari orang yang gak Om duga sebelumnya?”

Bastian menelan ludah kecil, hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu. “Riri… kamu itu masih muda. Kamu harus fokus sama masa depan kamu. Jangan buang waktu mikirin hal aneh-aneh.”

Riri menoleh, menatapnya lekat-lekat. “Tapi gimana kalau ‘hal aneh-aneh’ itu bikin aku bahagia?”

Bastian terdiam. Tak ada jawaban keluar. Dalam hati, ia berusaha keras menyangkal perasaan yang mulai tumbuh — perasaan yang jelas-jelas tidak seharusnya ia rasakan untuk putri sahabatnya.

Mobil melaju dalam hening. Hanya suara hujan menemani dua hati yang mulai kacau oleh perasaan masing-masing.

Suasana malam itu tenang. Mobil Om Bastian melaju pelan dan berhenti tepat di depan rumah Riri. Lampu jalan remang-remang memberi kesan hangat, tapi suasana di dalam mobil justru dipenuhi ketegangan yang tak terlihat.

“Udah sampai,” ujar Om Bastian datar, masih menggenggam setir. Sesekali ia melirik ke arah Riri yang duduk dengan ekspresi serius.

Riri tidak langsung membuka sabuk pengaman. Ia tetap duduk diam, menatap ke luar jendela rumahnya. “Om,” panggilnya pelan.

“Hm?” Om Bastian menoleh sedikit.

“Aku boleh ngomong sesuatu?”

“Ngomong apa?”

“Jangan potong dulu ya, Om. Aku cuma pengin Om dengerin.”

Nada suara Riri tegas. Om Bastian akhirnya benar-benar menoleh, menatap wajah gadis itu. Pandangannya dalam, tapi penuh kehati-hatian.

“Selama ini, aku tahu posisi aku siapa. Aku anak sahabat Om, bawahan Om di kantor, anak baru yang harusnya banyak belajar. Tapi semua itu nggak bikin perasaan aku ke Om berkurang,” kata Riri mantap.

Bastian terdiam, matanya sedikit membesar, tapi ia tak menyela.

“Aku suka sama Om,” lanjut Riri, menatapnya lurus. “Aku nggak tahu kapan tepatnya perasaan ini di mulai… mungkin sejak Om nolongin aku jatuh waktu di restoran itu, atau mungkin sejak gathering di pantai. Tapi yang aku tahu, perasaan ini nyata. Dan aku nggak ngerasa salah menyukai seseorang yang nggak punya siapa-siapa.”

“Riri…” suara Om Bastian terdengar berat.

“Om selalu bilang aku masih muda, masih banyak hal yang harus aku kejar. Tapi aku bukan anak kecil yang nggak tahu perasaanku sendiri,” ucap Riri dengan mata berbinar namun tegas.

Suasana di dalam mobil menjadi hening. Angin malam bertiup pelan dari luar.

Om Bastian menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak. “Kamu nggak salah, Ri… perasaan itu nggak pernah salah. Tapi Om—”

“Om takut,” sela Riri lembut. “Takut sama status, takut sama pendapat orang, takut sama Papa, iya kan?”

Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang bergetar di udara,perasaan yang selama ini hanya mereka rasakan diam-diam.

“Riri… Om nggak bisa kasih jawaban sekarang,” ucap Om Bastian perlahan. “Om cuma… butuh waktu.”

Riri tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca. “Aku nggak minta jawaban sekarang, Om. Aku cuma nggak mau terus pura-pura nggak punya perasaan setiap kali kita berdua.”

Ia membuka sabuk pengamannya dan meraih gagang pintu. Sebelum turun, ia menoleh sebentar, tersenyum lembut. “Selamat malam, Om. Makasih udah nganterin aku pulang.”

Om Bastian hanya bisa menatap kepergian Riri lewat kaca spion. Begitu Riri masuk ke rumah, ia menyandarkan kepala ke kursi, mengusap wajahnya kasar. “Riri… kenapa kamu bikin semuanya jadi serumit ini…” gumamnya lirih.

___

Sudah tiga hari berlalu sejak malam Riri menyatakan perasaannya. Namun bukannya menjawab, Bastian justru berubah. Ia tak lagi menyapa hangat di pagi hari, tak lagi melempar candaan ringan di sela jam kerja.

“Pagi, Pak …” sapa Riri pelan saat masuk ke ruangannya untuk menyerahkan berkas humas.

Bastian hanya mengangkat kepala sekilas, membalas dengan anggukan singkat. “Taruh di meja.” Suaranya dingin, kaku, seolah berbicara dengan karyawan biasa.

Riri terdiam sejenak. Biasanya, Bastian selalu melontarkan sapaan hangat atau minimal senyum tipis. Tapi kali ini? Tidak ada. Ia pun perlahan meletakkan berkas itu dan pergi dengan langkah lesu.

 

Di ruang kerja divisi Humas, Rico menepuk pundaknya. “Woi, kamu kenapa? Dari tadi muka lo kusut banget. Ada masalah?”

“Enggak, nggak kenapa-kenapa,” jawab Riri cepat, berusaha menutupi kegelisahannya.

“Yakin? Biasanya lo ceria banget. Ini udah tiga hari kamu murung. Ada yang nggak beres ya? Jangan-jangan… ada masalah sama Pak Bos?”

Pertanyaan Rico membuat jantung Riri berdegup kencang. Ia hanya bisa tersenyum hambar. “Nggak kok, Ric. Fokus kerja aja, yuk.”

 

Siang harinya, saat Riri hendak keluar dari ruang pantry, ia tak sengaja berpapasan dengan Bastian di koridor. Awalnya ia ingin menyapa, tapi pria itu malah menunduk dan langsung berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Seolah dirinya hanya angin lalu.

Riri berhenti di tempat, dadanya terasa sesak. “Om…” panggilnya lirih, tapi tak terdengar.

 

Malam itu, di kamarnya, Riri membenamkan wajah ke bantal. “Kenapa sih Om jadi kayak gini… Aku salah ngomong ya waktu itu?” gumamnya dengan suara bergetar.

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga. “Aku cuma jujur sama perasaanku… apa itu salah?”

 

Keesokan harinya, Riri masih terus memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Bastian.

“Masuk,” jawab suara itu singkat.

Riri melangkah masuk, menggenggam erat map berisi laporan mingguan. “Pak… ini laporan kegiatan humas minggu ini,” ucapnya dengan nada hati-hati.

“Taruh aja,” jawab Om Bastian tanpa menatapnya. Tangannya sibuk di laptop.

“Om…” panggil Riri lagi, kali ini dengan nada lebih serius. Biasanya Riri akan memanggil, Bastian dengan sebutan 'Pak' tiap mereka di kantor tapi kali ini berbeda.

Bastian akhirnya berhenti mengetik dan mendongak. “Ada apa, Riri?”

“Kenapa Om berubah?” pertanyaan itu keluar begitu saja. “Om nggak seperti biasanya… Om bahkan nggak pernah lihat aku kalau kita ketemu.”

Bastian menarik napas panjang. “Riri, kita di kantor. Jangan bahas masalah pribadi di sini.”

“Justru karena di kantor, aku makin ngerasa Om menjauh. Aku tahu aku ngomong jujur waktu itu, tapi aku nggak nyangka Om bakal dingin kayak gini… Om yang udah nyampurin masalah pribadi kita ke pekerjaan.” suara Riri bergetar.

Bastian terdiam. Ada keraguan di matanya, tapi ia tetap menjaga ekspresi dingin. “Riri, ini bukan tentang kamu salah atau nggak. Ini tentang… batas.”

“Batas?” Riri menatapnya tak mengerti.

“Iya. Batas yang seharusnya nggak kita lewati,” jawab Bastian pelan tapi tegas. “Dan Om sedang berusaha menegakkannya lagi.”

Air mata Riri hampir jatuh, tapi ia menahannya sekuat tenaga. “Om bukan lagi berusaha jaga batas, tapi Om lagi menjauh total dari aku… Om anggap aku seolah kayak aku nggak ada?”

Suasana ruangan mendadak sunyi. Bastian hanya bisa menatap Riri lama, seolah sedang menahan sesuatu yang tak boleh keluar.

“Om harus lakuin hal ini, Karena kalau Om nggak jaga jarak, semua akan makin rumit, Riri,” ucapnya akhirnya.

"Oke Om, aku ngerti. Maaf udah ganggu waktunya."

Riri mengangguk pelan, tapi hatinya hancur. Ia berbalik dan melangkah keluar, tanpa berkata lagi.

Begitu pintu tertutup, Bastian menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memejamkan mata. “Maaf, Riri…” gumamnya lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri.

1
Grindelwald1
Wah, mantap!
Galuh Dwi Fatimah: terimakasih!!
total 1 replies
Niki Fujoshi
Capek tapi puas baca cerita ini, thor! Terima kasih sudah membuatku senang.
Galuh Dwi Fatimah: Terimakasih kak, semoga harimu selalu menyenangkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!