NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Pagi yang tenang menyelimuti ruang perawatan dengan sinar matahari masuk melalui tirai tipis, menyentuh wajah Helena yang tertidur di kursi samping ranjang.

Tangannya masih menggenggam jemari Karan erat, seolah tak mau lepas sedetik pun.

Karan perlahan membuka matanya, pandangannya samar sebelum akhirnya fokus.

Rasa perih di punggungnya masih terasa, tapi hatinya langsung hangat saat melihat istrinya yang tertidur pulas, dengan mata sembab karena semalaman menangis.

Senyum tipis muncul di bibir Karan. Ia mengangkat tangan yang bebas, berusaha menyentuh rambut Helena.

Sentuhan lembut itu membuat Helena tergerak, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka.

"Mas..."

Helena membuka matanya dan melihat suaminya yang tersenyum kearahnya.

"Selamat pagi, sayang." sapa Karan.

Helena langsung memeluk tubuh suaminya dan menangis sesenggukan.

"Jangan menakutiku lagi, Mas. A-aku takut jika kamu pergi." ucap Helena.

Karan menghela napas pelan, mencoba menenangkan perasaan istrinya. Ia membelai rambut Helena dengan lembut, lalu berbisik di telinganya.

“Sayang, aku masih di sini. Aku janji nggak akan pergi ninggalin kamu. Maaf kalau aku bikin kamu ketakutan,” ucap Karan dengan suara serak namun penuh ketulusan.

Helena mengangkat wajahnya, matanya merah dan basah oleh air mata.

“Mas, aku nggak kuat kalau harus kehilangan kamu. Aku lebih baik nggak usah menikah, asal kamu selamat.”

Karan tersenyum tipis, meski rasa sakit di punggungnya masih menusuk.

Ia menyeka air mata di pipi Helena dengan ibu jarinya.

“Jangan ngomong seperti itu, Hel. Aku mau kita menikah dan hidup bersama sampai rambut kita memutih. Tusukan ini nggak sebanding sama rasa takutku kehilangan kamu.”

Helena kembali menangis, kali ini sambil tersenyum kecil.

“Mas…”

Karan meraih jemari Helena, menggenggamnya erat.

“Kita sudah janji di altar, kan? Aku akan menjaga kamu selamanya. Nggak ada yang bisa pisahkan kita, bahkan nyawa sekalipun aku relakan demi kamu.”

Helena memeluknya lagi, lebih erat, sambil terus berusaha menahan isak tangisnya.

“Aku percaya sama Mas. Jangan pernah tinggalin aku, ya?”

“Tidak akan pernah.” jawab Karan sambil mengecup kening istrinya dengan penuh cinta.

Tak berselang lama perawat masuk dan memeriksa keadaan Karan.

Perawat lainnya masuk membawa nampan berisi bubur, susu kedelai.

"Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Helena sambil menggenggam tangan suaminya.

Perawat tersenyum tipis dan mengatakan kalau kondisi Karan sudah stabil.

"Sarapan tolong dihabiskan, ya." ucap perawat.

Helena mengangguk, lalu mengambil sendok perlahan.

Ia meniup bubur itu sebentar sebelum menyuapkannya ke mulut Karan.

“Pelan-pelan ya, Mas. Jangan buru-buru,” ucap Helena lembut.

Karan menatap wajah istrinya yang penuh perhatian, lalu tersenyum kecil.

“Hel, aku bisa makan sendiri kok.”

Helena menggeleng cepat dan melarang suaminya untuk makan sendiri.

“Tidak, biarkan aku yang menyuapi. Aku ingin pastikan Mas benar-benar makan dengan tenang. Aku nggak mau ada yang terjadi lagi.”

Disaat yang bersamaan tiba-tiba Dion, Bi Fia dan Sintia datang membawa sarapan untuk Helena.

"Aduh pengantin baru, pagi-pagi sudah suap-suapan." ucap Sintia.

Helena langsung menoleh, wajahnya memerah karena malu.

“Duh, kalian ini bisa aja,” ucap Helena sambil menunduk, namun tangannya tetap menyendok bubur untuk Karan.

Karan tersenyum lebar, menikmati perhatian istrinya sekaligus kehadiran orang-orang terdekat yang membuat suasana menjadi lebih hangat.

“Biarin aja, Hel. Anggap ini latihan jadi istri manja,” candanya, membuat semua yang hadir ikut tertawa.

Dion meletakkan kantong berisi sarapan untuk Helena di meja.

“Nyonya Helena, jangan lupa makan juga. Kalau cuma nyuapin Tuan Karan terus, nanti Nyonya sendiri yang tumbang.”

Sinta ikut menimpali sambil mengedipkan mata nakal.

“Iya, Hel. Kamu kan harus jaga kesehatan juga. Karan butuh kamu sehat biar bisa cepet pulih.”

Helena menoleh sebentar, tersenyum malu-malu saat mendengar perkataan dari Sinta.

“Iya, aku makan kok. Tapi Mas duluan, dia yang harus cepat sembuh.”

Karan menatap Helena dengan tatapan lembut, lalu menggenggam tangannya.

“Kalau kamu sehat, aku juga cepat sembuh, Sayang.”

Helena tersenyum dan kembali menyuapi suaminya.

Karan memanggil Dion untuk menyiapkan bulan madunya ke Paris.

Dion yang baru saja meneguk kopinya hampir tersedak mendengar ucapan Karan.

“Paris, Tuan? Baru bangun dari operasi langsung mikirin bulan madu?” tanyanya sambil menggeleng tak percaya.

Bi Fia menepuk pundak Dion, lalu tersenyum hangat.

“Itu tandanya Tuan Karan semangat buat sembuh cepat. Supaya bisa bahagiain Nyonya Helena.”

Helena terdiam, matanya melebar mendengar kata bulan madu ke Paris.

“Mas, kita baru saja melewati hal berat. Apa nggak terlalu cepat mikirin itu?” tanyanya pelan, sedikit khawatir.

Karan meraih jemari Helena, menatapnya dengan penuh kesungguhan.

“Justru karena kita baru saja melewati semua itu, aku ingin kita punya kenangan indah yang nggak akan terlupakan. Paris bukan cuma liburan, Hel. Itu hadiahku untukmu dan sebagai awal baru kita.”

Helena menundukkan kepalanya dengan wajahnya bersemu merah dan ada rasa bahagia yang tak bisa disembunyikan.

“Tapi Mas harus sembuh dulu. Aku nggak mau kamu maksa.”

“Aku janji nggak akan maksa. Aku akan sembuh dengan cepat, karena aku punya alasan kuat—kamu.”

Dion mencatat sesuatu di ponselnya, lalu mengangguk.

“Baik, Tuan. Saya akan urus semua persiapannya. Tapi setelah dokter bilang Tuan benar-benar sehat.”

Semua yang ada di ruangan itu tertawa kecil, suasana yang tadinya penuh ketegangan kini berganti hangat dan penuh harapan.

Helena memeluk suaminya dengan lembut, menempelkan kepalanya di bahu Karan

Setelah itu mereka bertiga berpamitan pulang dan Dion mengantarkan Sintia terlebih dahulu.

Helena menoleh sebentar ke arah Bi Fia yang masih duduk sambil merapikan barang bawaan.

“Bi, nggak ikut pulang sama Dion dan Sintia?” tanya Helena penasaran.

Bi Fia tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.

“Ah, Nyonya, saya sekalian ke pasar dulu. Ada beberapa bahan masakan yang harus saya beli. Lagipula kalau ikut pulang sekarang, nanti malah numpuk orang di mobil,” jawabnya dengan nada tenang.

Karan yang sedang menyandarkan tubuhnya di ranjang hanya mengangkat alisnya sebentar, menyadari sesuatu dari nada suara Bi Fia.

“Pasar, Bi? Tumben banget pagi-pagi udah semangat sekali,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Bi Fia pura-pura sibuk membenarkan tas belanja yang dibawanya.

“Namanya juga dapur, Tuan. Harus selalu siap, kan?” ucapnya, berusaha menutupi alasan sebenarnya.

Helena menatap Bi Fia sejenak, lalu melirik ke arah Dion yang sedang membereskan ponselnya.

Tatapannya berganti ke Sintia, yang tampak tak menyadari apa pun. Senyum kecil pun muncul di wajah Helena.

“Baiklah, Bi. Hati-hati di jalan. Oh iya, jangan belanja terlalu lama ya,” ujar Helena sambil tersenyum penuh arti.

Bi Fia hanya mengangguk cepat, lalu berjalan keluar ruangan.

Namun sebelum benar-benar keluar, ia sempat melirik sekilas ke arah Dion dan Sintia yang berjalan berdampingan menuju pintu.

Karan menangkap lirikan itu, lalu tertawa pelan saat menyadari apa yang terjadi pada Dion dan Sinta.

“Hel, sepertinya Bi Fia sengaja memberi mereka waktu berdua.”

Helena ikut tersenyum, lalu menunduk menahan tawa kecil.

“Iya, Mas. Aku juga curiga dari tadi. Bi Fia itu pintar sekali mencari alasan.”

Karan menggenggam tangan istrinya, matanya berkilat nakal.

“Kalau benar begitu, kita tinggal tunggu waktu sampai Dion berani bicara.”

Helena terkikik kecil, lalu menyandarkan kepala di bahu Karan.

“Semoga saja, Mas. Aku ingin lihat Dion bahagia juga.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!