NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Malam di Taman Kota terasa lebih sunyi dari biasanya.

Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya pucat di permukaan balok raksasa berwarna hitam pekat yang berdiri di tengah area edukasi. Bentuknya tidak lazim—permukaan halus dengan sudut-sudut aneh, seperti mematahkan hukum geometri. Balok itu sudah ada di sana tiga tahun, jatuh dari luar angkasa, dan sejak itu menjadi objek penelitian dan “edukasi” publik.

Namun di balik statusnya yang seolah tak berbahaya, ada regu prajurit Stellaris yang berjaga siang-malam. Tidak ada yang mau mengulang tragedi insiden dua tahun lalu ketika salah satu murid akademi mencoba mengutak-atiknya dan langsung menghilang tanpa jejak.

Di bawah cahaya rembulan, dua sosok berjubah hitam berdiri di salah satu atap gedung observasi, memandangi balok itu dari jauh.

Salah satu dari mereka, berpostur kurus tapi berotot, menatap alat komunikasi di pergelangan tangannya. Lampu indikator merah berkedip cepat.

Ia mengerutkan kening. “Apa-apaan ini? Ketua menyuruh semua pemburu untuk kembali?”

Temannya, yang bertubuh lebih kekar dengan tatapan seperti binatang buas, mengangkat bahu. “Hm… sepertinya begitu. Ledakan kemarin membuat organisasi kita dicurigai. Dan kalau sampai petinggi Stellaris mengendus jejak, semua jaringan kita bisa terbongkar.”

Si kurus mengepalkan tinju. “Sialan… aku sudah lama tidak membunuh orang semenjak dapat tugas konyol ini. Mengawasi balok yang bahkan kita tidak tahu gunanya apa… tiga tahun lebih, tanpa hasil!”

Temannya terkekeh pelan. “Tenanglah. Aku juga sama.”

Tapi sebelum ia melanjutkan, kepalanya sedikit menoleh, tatapannya berubah tajam.

“Oi, kenapa kau tiba-tiba diam? Bukannya kau yang bilang kita harus cepat?” Si kurus menepuk bahu temannya.

Tiba-tiba, si kekar menutup mulut temannya dengan cepat. “Diam.”

“Cih! Singkirkan tanganmu dari mulutku!” Si kurus menepisnya, tapi kemudian ikut terdiam.

Ada denyut.

Bukan suara.

Bukan getaran tanah.

Tapi… denyut energi.

Seolah sesuatu di balik balok itu mengirimkan gelombang kosmik yang merambat masuk ke tulang mereka.

Si kekar mengerutkan alis. “Kau merasakannya? Lonjakan energi kosmik… sangat pekat.”

Si kurus tersenyum tipis. “Tidak cuma itu… Star Soul-ku… bergetar. Rasanya… kalau aku menyerap energi ini, aku bisa langsung naik tingkat. Bahkan mungkin—”

“Melebihi batas kita saat ini.” Si kekar melanjutkan, sudut bibirnya melengkung ke arah yang mengerikan.

Tatapan mereka saling bertemu. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan untuk memahami pikiran masing-masing.

“Mau mencobanya?” tanya si kekar dengan nada licik.

Si kurus mengangkat dagu, senyum dingin menyelinap. “Tentu saja. Tapi sebelum itu…” Matanya melirik ke arah para penjaga Stellaris di bawah. “Kita bersihkan dulu arena ini.”

“Hahaha… itu akan mudah.”

Dan begitu kata itu diucapkan, malam yang tenang mulai berubah menjadi ladang pembantaian.

Awal Pembantaian

Prajurit Stellaris yang berjaga di perimeter tidak pernah mengira bahaya akan datang dari atas, bukan dari arah luar pagar. Dua bayangan melesat seperti panah gelap, mendarat di tengah pos penjagaan timur.

Hanya ada waktu setengah detik sebelum pisau berlapis energi menembus helm seorang prajurit, menancap langsung ke tengkorak. Darah memercik, tubuhnya jatuh tanpa suara.

Alarm nyaris berbunyi, tapi si kurus memutar gelang perangkat disruptor—gelombang sunyi menyapu area, memutus semua transmisi komunikasi dalam radius seratus meter.

Prajurit lain sempat menoleh, namun si kekar sudah memukul dadanya dengan tinju yang dilapisi energi Star Soul. Armor berat itu hancur seperti kaca, dan tubuh prajurit tersebut terlempar menghantam dinding pos.

“SATU!” teriak si kekar, seolah sedang menghitung skor.

Si kurus mencabut pedangnya yang tipis dan panjang, bergerak seperti tarian angin. Setiap langkah adalah garis kematian—leher dipotong, arteri dibuka, kepala dipisahkan dari tubuh. Gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata biasa.

Kekacauan Menyebar

Murid-murid senior Akademi yang sedang melakukan patroli malam langsung melompat turun dari menara observasi. Mereka mengenakan baju tempur ringan, senjata siap di tangan.

“Siapa kalian?!” salah satu murid berteriak sambil memancarkan aura Star Soul-nya.

Si kekar hanya menatap seperti melihat anak-anak yang mencoba mengancam singa. “Hmph… bocah Akademi. Menarik.”

Murid itu melesat, pedangnya membentuk lengkungan cahaya biru. Namun sebelum tebasannya menyentuh target, si kekar sudah menghilang dari pandangan. Dalam sepersekian detik, tubuh murid itu membeku—lalu ambruk, dada terbelah hingga terlihat tulang rusuknya.

Jeritan pecah di udara.

“SERANG MEREKA!”

Enam murid menyerbu sekaligus. Si kurus menari di antara mereka, pedangnya bergerak seolah memotong udara, tapi setiap ayunan meninggalkan garis darah di tubuh lawan.

Suara logam beradu bercampur dengan teriakan kesakitan. Dalam waktu kurang dari satu menit, empat murid tewas, dua lainnya berlutut dengan luka parah, darah membasahi tanah.

Si kekar tertawa puas, darah menetes dari tinjunya. “Ah… aku hampir lupa rasanya mematahkan tulang manusia.”

Si kurus mengibaskan pedangnya, darah menetes di tanah, menciptakan pola aneh di bawah cahaya bulan. “Kita sudah lama menahan diri. Sekarang… kita bebas.”

Namun, aura dari balok itu semakin kuat. Retakan di permukaannya mulai bercahaya tipis—cahaya putih keperakan, seperti api yang dibungkus es.

“Waktunya mendekat,” kata si kurus. “Energinya… semakin liar. Kalau kita terlambat, mungkin akan hilang.”

“Tapi kita belum membunuh semua penjaga.”

Si kurus menatap sisa prajurit Stellaris yang gemetar di kejauhan. “Mereka? Biarkan saja. Mereka sudah terlalu takut untuk bergerak.”

Kedua pemburu melangkah melewati tubuh-tubuh berserakan. Tanah berlumur darah, senjata tergeletak, dan udara penuh bau besi.

Saat mereka semakin dekat ke balok, denyut energi semakin jelas. Rasanya seperti gelombang ombak kosmik menghantam dada mereka dari dalam. Star Soul mereka bergetar, panas, seperti dipaksa berkembang.

“Rasanya… seperti ada sesuatu yang memanggil,” gumam si kekar.

“Ya. Dan aku akan menjawab panggilan itu,” balas si kurus, senyumnya semakin lebar.

Mereka berdiri tepat di depan balok. Retakan-retakan bercahaya kini semakin besar, cahaya putih itu berputar perlahan seperti pusaran kabut bercampur api.

“Kalau kita menyerapnya bersama, kita bisa…”

Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka bergetar. Sebuah suara berat, seperti bisikan kuno, terdengar langsung di kepala mereka.

'Yang menyentuh inti… akan terbakar bersama bintang.'

Si kekar tertawa, mengabaikan peringatan itu. “Ancaman murahan.”

Tangan si kekar hampir menyentuh permukaan balok ketika…

BRAGH!

Retakan cahaya putih itu meledak, dan dari dalamnya menyembul sebuah tangan—besar, gelap, jari-jari panjangnya berkilau seperti diselimuti debu kosmik. Dalam sepersekian detik, telapak itu menutup rapat di kepala si kekar.

“A-APA—!”

Suaranya teredam, tubuhnya bergetar seperti anak panah yang menancap di kayu.

Si kurus yang berdiri di sampingnya refleks mundur, mata melebar. “Gila… apa itu?!”

Si kekar mencoba menarik tubuhnya, tapi jari-jari hitam itu menancap dalam, mencengkeram seperti akar yang menembus tengkoraknya. Napasnya terengah, Star Soul di dalam dirinya menyala liar, tapi entah kenapa semua energi itu seperti disedot masuk ke tangan misterius itu.

KREEEKK…

Bunyi tulang retak terdengar.

Lalu, perlahan… permukaan balok itu mulai runtuh. Bukan retak biasa—tapi hancur menjadi serpihan cahaya yang beterbangan, seperti pasir bintang yang tertiup angin. Setiap butir debu itu berputar, mengelilingi sosok yang mulai terbentuk di tengahnya.

Saat balok lenyap sepenuhnya, berdirilah sosok humanoid tinggi menjulang. Tubuhnya bukan daging, bukan logam—melainkan hamparan galaksi gelap yang berputar di bawah kulit transparan seperti kaca.

Bintang-bintang kecil bergerak pelan di dalam tubuhnya, dan di dadanya—terpampang sebuah nebula raksasa yang memancarkan cahaya biru-ungu berdenyut pelan.

Matanya… awalnya kosong, hanya kehampaan hitam. Lalu terbuka lebar—kobaran api ungu meledak di dalamnya, merambat hingga membungkus kepalanya.

Si kekar masih tergenggam di tangan makhluk itu, meraung putus asa. “TOLONG! LEPASKAN AKU!”

Si kurus ingin menyerang, tapi lututnya gemetar.

Bahkan prajurit Stellaris yang tersisa di kejauhan hanya mampu menatap, napas tercekat.

Makhluk itu menatap si kekar tanpa ekspresi. Suaranya terdengar langsung di pikiran semua orang, dalam bahasa yang mereka mengerti:

“Aku sudah… mengingatkan kalian.”

Lalu… tubuh si kekar mulai terurai. Dari kepala yang tergenggam, kulitnya mengelupas, otot menghitam, lalu menjadi abu yang beterbangan ke udara. Jeritan terakhirnya pecah sebelum seluruh tubuhnya hilang, meninggalkan hanya debu yang bercampur dengan bintang-bintang di tubuh makhluk itu.

Si kurus mundur beberapa langkah, wajahnya pucat pasi. “Tidak… tidak… ini gila… ini—”

Tanpa menunggu lagi, ia berbalik dan lari.

Tapi hanya satu langkah ia ambil sebelum…

WHUUP!

Makhluk itu sudah berdiri di depannya, tanpa suara, tanpa pergerakan terlihat.

Mata api ungunya menatap lurus ke jiwa si kurus. “Ah… ternyata kau hanyalah manusia. Lemah. Rapuh.”

Si kurus mencoba mengangkat pedangnya, tapi sebuah pukulan ringan dari makhluk itu menghantam dadanya. Tanah di bawah mereka terbelah, tubuh si kurus tertanam dalam cekungan, darah menyembur dari mulutnya.

Ia tersedak, paru-parunya seperti diremuk. “A… aku… tolong…”

Makhluk itu mengangkat tangan kanannya, dan dengan satu jentikan jari, tubuh si kurus mulai terurai menjadi abu dari ujung kaki ke kepala.

“A… a… aku tidak… mau… mati…”

Itulah kata terakhirnya sebelum matanya kosong, tubuhnya menghilang tertelan udara malam.

Makhluk itu berdiri tenang, kepalanya menoleh ke arah lain.

Matanya menyipit, dan api ungunya berkobar lebih kuat.

“Aku… bisa merasakan auranya. Meski kecil… tapi tak salah lagi… ini pasti auranya. Pencarianku… tidak sia-sia.”

Ia melayang perlahan, tubuhnya nyaris tak menyentuh tanah.

Di tempat lain, di rumah yang sunyi, Ryu menerima laporan darurat.

“Komandan! Ada entitas… tingkat kekuatan tidak terdeteksi… muncul dari balok di Hutan Kota!”

Ryu terdiam setengah detik. Tatapannya mengeras. “Sial…”

Ia berbalik menuju pintu, tapi suara lembut menghentikannya. “Ryu… ada apa?”

Itu Elsha, yang baru terbangun.

Ryu mencoba tersenyum, meski sorot matanya gelap. “Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Tapi jangan khawatir, rumah ini aman. Banyak Stellaris elite yang berjaga.”

Elsha menghela napas lega, lalu menatap kamar Asterion. “Jangan khawatir… aku akan menjaganya.”

Ryu menatap Asterion yang masih tertidur. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi itu hanya selapis tipis di atas kekhawatiran mendalam.

Lalu…

BOOM!

Aura Star Soul-nya meledak. Udara di sekitarnya bergetar, dinding rumah berderit. Dalam sekejap, ia melesat meninggalkan rumah, menciptakan gelombang angin yang memecah malam.

Tak butuh waktu lama. Ryu tiba di Hutan Kota, bersama empat Jenderal Stellaris:

Kang Hyun-jo – ahli pedang bintang, dingin dan presisi.

Lee Jae-sung – spesialis artileri Star Soul, kekuatan destruktif jarak jauh.

Han So-min – pengendali medan gravitasi, ahli pertahanan dan kontrol.

Park Min-ho – petarung jarak dekat dengan kekuatan fisik murni.

Mereka tiba di tepi lokasi… dan langsung terdiam.

Di tengah medan yang porak-poranda, tubuh-tubuh tergeletak. Prajurit Stellaris, murid akademi, semua tak bergerak. Bau darah dan debu bercampur menjadi kabut tipis di udara.

Dan di atas tanah yang pecah, makhluk itu melayang tenang. Api ungu di matanya berputar seperti pusaran neraka, dan aura yang terpancar darinya menghancurkan udara di sekitarnya.

Jantung Ryu berdegup keras. Napasnya tercekat.

Lebih mengerikan… dari Star Leviathan.

Lee Jae-sung menelan ludah. “Komandan… kekuatannya…”

Kang Hyun-jo melirik data dari alat pengukur.

“…Levelnya… tidak diketahui. Sistem tidak mampu membaca… bahkan tidak bisa mengkategorikan. Dia adalah… ancaman tingkat nasional.”

Han So-min menegang, tangan sudah memanggil energi Star Soul. “Kalau dia bergerak… kita semua mungkin mati di sini.”

Makhluk itu menoleh… dan menatap langsung ke arah Ryu.

Api ungu di matanya berkobar lebih besar. Nebula di dadanya berputar, memancarkan cahaya seperti detak jantung.

“Kau… yang membawanya…”

Suara itu menusuk masuk ke kepala mereka semua.

Ryu menarik pedangnya, aura bintang membungkus seluruh tubuhnya. “Siapa kau… dan siapa yang kau maksud?”

Makhluk itu tersenyum samar. “Raja-ku.”

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!