NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel bintang lima itu, memantulkan cahaya keemasan yang menari di setiap sudut ruangan. Dentingan gelas beradu, suara obrolan rendah, dan tawa ringan para tamu berpadu jadi satu, menciptakan suasana yang glamor sekaligus penuh gengsi. Semua orang dari kalangan elit kota hadir malam itu, pebisnis, politisi, sampai sosialita yang selalu haus sorotan kamera.

Di tengah panggung, Casandra Cromwel berdiri anggun dengan gaun malam berwarna merah marun yang membalut tubuhnya sempurna. Senyum lembut tersungging di bibirnya, seakan dia adalah ibu yang penuh kasih, tuan rumah yang ramah, sekaligus istri yang setia mengenang suaminya. Mikrofon di tangannya membuat seluruh ballroom hening begitu dia mulai bicara.

“Hadirin sekalian,” suara Casandra terdengar lembut, dipoles penuh wibawa. “Malam ini kita berkumpul bukan hanya untuk mengenang sosok almarhum Alexander Cromwel, seorang pria hebat, ayah, suami, sekaligus sahabat yang tak tergantikan. Beliau adalah cahaya keluarga ini… dan saya berjanji, selama saya masih berdiri di sini, saya akan menjaga apa yang beliau tinggalkan.”

Riuh tepuk tangan memenuhi ruangan, beberapa tamu mengangguk penuh simpati, sebagian lagi memasang wajah pura-pura terharu. Kamera media berkilat-kilat, menangkap setiap senyum manis Casandra yang tampak begitu tulus.

Namun, dari kursinya di barisan depan, Elanor menggenggam tangannya erat di pangkuan. Matanya menatap lurus ke arah panggung, tapi dalam sorot itu, jelas ada bara yang mendidih. Setiap kata yang keluar dari bibir ibunya hanya terdengar seperti racun yang dibungkus madu. Dia tahu semua yang dikatakan Casandra hanyalah sandiwara, kebohongan yang disulap jadi kebenaran di hadapan publik.

Jantung Elanor berdegup lebih cepat. Rasa muak dan marah bercampur, membuat tubuhnya seakan tak betah lagi duduk diam. Jemarinya sudah menyentuh ujung meja, siap mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Dia ingin membuka mulut, membantah semua kepalsuan itu, mengungkap wajah asli Casandra di depan semua orang.

Tapi sebelum sempat bergerak, sebuah tangan hangat menahan pundaknya.

Elanor menoleh, dan di sampingnya Rafael berdiri tegak dengan seragam manservant hitamnya. Tatapannya tajam tapi tenang, kontras dengan gejolak yang sedang menguasai Elanor. Dia menunduk sedikit, mendekat ke telinganya, berbisik cukup pelan agar hanya Elanor yang mendengar.

“Belum sekarang, Nona,” suaranya rendah, mantap, namun lembut. “Waktu yang tepat akan datang.”

Elanor terdiam, tubuhnya masih tegang, tapi genggaman Rafael di pundaknya terasa menyalurkan ketenangan yang aneh. Nafasnya yang tadinya memburu perlahan melambat. Walau hatinya masih berontak, Elanor kembali menyandarkan punggung ke kursinya, matanya tetap menusuk ke arah panggung.

Di atas sana, Casandra melanjutkan pidatonya dengan penuh drama, seolah-olah dia benar-benar wanita paling tulus dan penuh kasih.

Pidato Casandra akhirnya berakhir dengan tepuk tangan panjang dari seluruh tamu. Senyumnya masih melekat di bibir, pura-pura penuh haru, sebelum ia turun dari panggung dengan anggun. Tak lama kemudian, suara musik berubah—gesekan biola dan dentingan piano berpadu, memunculkan alunan lembut khas ballroom. Lantai dansa yang luas di tengah ruangan mulai terisi oleh para pasangan elegan, gaun-gaun berkilau berputar mengikuti irama.

Elanor menarik napas dalam, seolah menyingkirkan rasa jengah yang tadi menyesakkan dadanya. Ia bangkit dari kursinya dan segera menghampiri Bella yang duduk tak jauh darinya.

“Gila, gue kira tadi lo bakal berdiri di tengah pidato nyokap lo,” bisik Bella sambil terkekeh kecil.

Elanor tersenyum samar, menyandarkan dagunya sebentar di bahu sahabatnya itu. “Percaya deh, itu sempat ada di kepalaku.”

Mereka berdua tertawa pelan, obrolan ringan mengalir. Bella bercerita betapa canggungnya jadi tamu VIP yang sorotannya terus mengarah ke dia. Elanor hanya menggeleng, menikmati kepolosan sahabatnya.

Tapi tiba-tiba, percakapan itu terhenti. Dari depan mereka, dua tangan terulur hampir bersamaan, menunggu untuk digenggam. Elanor sempat mengerjap bingung, sebelum matanya menelusuri ke atas dan mendapati siapa pemiliknya.

Daniel berdiri tegak di sisi kiri, tuxedo emasnya memantulkan cahaya lampu kristal. Senyumnya tenang, tatapannya penuh kelembutan khas seorang gentleman.

Sementara di sisi kanan, Dominic bersandar santai dengan tuxedo perak dan kemeja bagian atas terbuka. Anting di telinganya berkilat, dan ekspresi malasnya sama sekali tak menyembunyikan aura badboy yang memabukkan.

“Kak Daniel…” Elanor bergumam kecil, matanya berpindah ke Dominic yang sudah menaikkan sebelah alis. Dua kakaknya menunggu jawaban, dan jelas-jelas keduanya tak ada niat mundur.

Bella menahan napas, merasa aura di antara tiga bersaudara itu tiba-tiba berubah.

Elanor menghela napas pendek, lalu berdiri. Dengan senyum hangat yang terarah pada kakak sulungnya, ia meletakkan tangannya di atas tangan Daniel. “Malam ini, aku memilih Kak Daniel.”

Tatapan Daniel melunak, penuh kemenangan yang tersamar oleh sopan santunnya.

Namun, sebelum mereka melangkah ke lantai dansa, Elanor sempat menoleh ke Bella. Dengan usil, ia menarik tangan sahabatnya, lalu meletakkannya di telapak tangan Dominic. “Jagain sahabatku, ya.”

Dominic terbelalak sebentar, sementara Bella langsung panik. “LALAAAAA! Jangan bercanda gini dong!” serunya setengah menjerit pelan, tapi Elanor sudah terkekeh dan berbalik.

Ia melangkah mantap bersama Daniel menuju tengah lantai dansa. Daniel sempat melirik sekilas ke arah kembarannya, bibirnya membentuk senyum tipis penuh kemenangan. Dominic mendecak kecil, tapi genggamannya otomatis menguat pada tangan Bella, yang masih mematung dengan wajah merah padam.

Daniel dan Elanor melangkah ke tengah ballroom, menembus kerumunan para tamu yang otomatis memberi jalan. Alunan biola semakin meresap, seakan seluruh ruangan memang diciptakan untuk menyaksikan mereka berdua. Begitu tangan Daniel menyentuh pinggang adiknya, dan tangan Elanor bertengger anggun di bahu kakaknya, gerakan mereka seolah sudah terlatih bertahun-tahun.

Lantai dansa menjadi panggung pribadi. Setiap langkah Daniel memimpin dengan mantap, dan setiap gerakan Elanor mengikuti dengan luwes, seolah keduanya terhubung oleh benang tak kasatmata. Gaun Elanor yang berkilau keperakan berputar mengikuti ritme, berpadu sempurna dengan tuxedo emas Daniel.

Beberapa tamu bahkan tak sadar bahwa mereka berhenti mengobrol, karena pandangan sudah tertuju pada pasangan kakak-adik itu. Indah sekali, bisik salah satu tamu. Dan memang benar, mereka terlihat seperti pasangan bangsawan dari negeri dongeng.

“Ela, sekolahmu gimana sekarang? Aku belum sempet nanya tentang sekolah mu,” suara Daniel terdengar lembut, nyaris tenggelam di antara musik.

Elanor tersenyum, kepalanya sedikit mendongak menatap kakak sulungnya. “Lancar, Kak. Tapi kakak tau kan, sekolah selalu ribet sama tugas dan ujian. Aku aja lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Kalau kakak sendiri gimana? Kerjaan kantor bikin kakak gila, nggak?”

Daniel menghela napas kecil, tapi senyumnya tak luntur. “Ya, begitulah. Dunia bisnis nggak pernah berhenti berisik. Tapi aku seneng dengernya, kalau kamu bisa hadapin sekolah mu El. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri, oke?”

Elanor hanya mengangguk. Mereka saling bertukar cerita ringan; tentang karyawan baru di kantor Daniel yang sering buat masalah, tentang Bella yang selalu jadi sumber tawa Elanor di sekolah, bahkan hal-hal kecil seperti makanan favorit mereka yang ternyata nggak banyak berubah sejak kecil.

Namun, semua percakapan itu berhenti sejenak ketika Daniel dengan elegan memutar tubuh Elanor. Gaun sang adik berputar indah, rambut panjangnya ikut melayang pelan mengikuti gerakan itu. Ketika Elanor kembali ke pelukan dansa, Daniel tak bisa menyembunyikan keterpakuannya.

Matanya menatap lurus, jantungnya berdegup aneh. Wajahnya yang biasanya selalu dingin kini dilumuri rona merah samar. Pipinya merona sempurna, dan tanpa sadar ia menahan napas.

Elanor mengerling, senyum nakalnya mengembang. “Kak, kenapa pipimu merah gitu?” suaranya rendah, penuh nada menggoda.

Daniel terperangah. “A-apa? Nggak, nggak… itu… panas kali ya di ruangan ini.” Ia buru-buru melirik ke arah lain, mencari alasan, suaranya bahkan terdengar lebih gugup daripada yang ia maksudkan.

Elanor terkekeh pelan, matanya berkilat puas. “Kakak Daniel yang di kenal dingin kayak patung es, sekarang gugup juga ternyata.”

Daniel hanya menggeleng, berusaha menutupi rasa malunya. Tapi hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di dalam dadanya, rasa yang seharusnya tidak tumbuh, tapi kini perlahan mulai berkembang.

Sementara itu, di sisi lain ballroom, suasana antara Dominic dan Bella jelas jauh berbeda.

Bella tampak kaku luar biasa, kedua kakinya seperti tidak mau diajak bekerja sama. Tangannya dingin ketika berada di genggaman Dominic, dan tatapannya terus melirik ke bawah, takut membuat kesalahan.

“Lo tau nggak,” Dominic menyahut dengan nada santai, “kaki lo udah injek gue tiga kali.”

Wajah Bella langsung memanas. “A-astaga! Maaf! Gue nggak bisa… ini pertama kalinya gue berdansa!”

Alih-alih marah, Dominic justru terkekeh. Tawanya rendah, sedikit mengejek, tapi sama sekali tidak terdengar jahat. “Santai aja, gue nggak keberatan. Malah lucu ngeliat lo panik gitu.”

“Dominic! Jangan ketawa! Gue seriusan grogi, tau!” Bella merengut, wajahnya makin merah padam.

Dominic menundukkan kepala, mendekat sedikit, suaranya terdengar seperti bisikan yang membuat Bella makin gugup. “Grogi karena gue? Atau karena lo nggak biasa dansa?”

Bella tercekat, matanya membelalak. “J-jangan ngomong gitu! Gue jadi makin… makin salah langkah!” Dan benar saja, kakinya kembali menginjak sepatu hitam mengilap Dominic.

Dominic tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Empat kali. Gue rasa lo mau bikin sepatu gue hancur malam ini.”

Bella benar-benar ingin menghilang ke dalam lantai. Tapi meski tubuhnya gemetar karena malu, dalam hatinya ia tak bisa menolak fakta bahwa berdansa dengan Dominic, si badboy yang sering jadi bahan khayalan liar di kepalanya, terasa seperti mimpi aneh yang jadi nyata.

Di seberang sana, Daniel melirik singkat ke arah kembarannya sambil tersenyum penuh kemenangan. Dominic membalas tatapan itu dengan ekspresi malas bercampur cemberut, seolah berkata ini belum selesai.

Dan di tengah semua sorot mata tamu, dua pasangan itu menari, satu elegan dan memesona, satu lagi canggung tapi penuh kehangatan yang tak kalah mencuri perhatian.

Musik lembut terus mengalun, membawa suasana ballroom ke titik yang hampir magis. Para tamu sibuk berbisik, sebagian iri, sebagian kagum, melihat dua pangeran Cromwell menari dengan pasangan mereka masing-masing. Namun, bagi Dominic, dansa ini terasa seperti perang dingin.

Sesekali ia melirik ke arah tengah, di mana Daniel dan Elanor tampak begitu selaras, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Senyum kecil di wajah Daniel membuat Dominic semakin tidak betah. Halah, gaya banget lo, Kak, batinnya mendengus, meski dalam hatinya ia tahu—ia juga ingin ada di posisi itu.

“Lo kenapa sih liatnya ke sana terus?” Bella memberanikan diri bertanya, masih dengan langkah yang agak kaku.

Dominic mengangkat alis, sedikit terkejut tapi langsung tersenyum miring. “Lo peka juga ternyata. Gue cuma mikir… kayaknya lebih seru kalau gue ada di posisi Daniel sekarang.”

Bella hampir tersedak udara. “Hah? Maksud Lo apa?!”

Dominic tidak menjawab. Ia hanya tertawa pendek, lalu menggiring Bella dengan langkah dansa ke arah yang semakin mendekati Daniel dan Elanor. Matanya fokus, menunggu celah.

Dan celah itu datang. Ketika musik berganti ke bagian yang sedikit lebih cepat, Daniel memutar tubuh Elanor ke arah luar, seolah memperlihatkan sang adik pada seluruh ruangan. Di saat yang sama, Dominic dengan lihai mengarahkan Bella untuk berputar ke sisi yang berlawanan.

Dalam satu gerakan yang nyaris tampak disengaja oleh musik, pasangan itu bertukar. Daniel mendapati Bella di hadapannya, sementara Elanor kini berada di pelukan Dominic.

Bella membeku. “Loh… kok bisa—”

Daniel tersenyum lembut, tangannya dengan tenang menuntun Bella agar tidak jatuh karena kaget. “Tenang. Cuma ganti pasangan sebentar. Ikutin gue aja, ya.” Nada suaranya lembut, penuh kesabaran, dan entah kenapa membuat Bella merasa sedikit lebih rileks.

Sementara itu, Elanor terbelalak kaget ketika sadar siapa yang kini memegang tangannya. “Kak Dom? Sejak kapan kita…”

Dominic menunduk sedikit, menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan, bibirnya membentuk senyum nakal. “Sejak gue mutusin buat ambil alih. Daniel udah cukup lama monopoli lo.”

Elanor menghela napas, tapi tidak bisa menahan senyumnya. “Kamu ini yah kak… selalu saja bikin ribut.”

“Ribut? Nggak. Gue cuma ngambil yang seharusnya jadi milik gue,” bisik Dominic, dengan nada setengah bercanda tapi matanya menatap terlalu dalam untuk dianggap main-main.

Elanor terdiam sejenak, hatinya berdetak aneh. Di sisi lain ballroom, Bella masih berusaha menyesuaikan diri dengan langkah Daniel. Tapi berbeda dengan Dominic, Daniel memimpin dengan sabar, setiap gerakannya terukur, seolah menenangkan Bella.

“Tarik napas dalam-dalam,” kata Daniel lirih. “Lalu ikutin langkah ku. Lihat mata ku saja, jangan malah lihat kaki mu.”

Bella menurut, meski wajahnya makin merah. Tatapan mata Daniel terlalu hangat, terlalu… gentleman. Dan tanpa sadar, langkah Bella mulai membaik. Ia merasa aman, seolah kalau Daniel yang menggandengnya, ia tidak akan salah langkah lagi.

Sementara itu, Dominic dan Elanor berputar selaras di tengah ballroom. Dominic tersenyum penuh kemenangan, tapi jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Setiap sentuhan, setiap tatapan, mulai menyalakan perasaan yang selama ini ia tidak pernah biarkan tumbuh.

Musik dansa masih mengalun indah, gerakan keempatnya selaras dengan ritme. Ballroom iTu penuh dengan senyum, tepuk tangan kecil, dan tatapan kagum dari para tamu. Semua seperti terbuai dalam pesta elegan yang sempurna—sampai sesuatu yang tak terduga terjadi.

Mendadak, seluruh ruangan gelap gulita.

Lampu gantung kristal yang megah padam bersamaan.

“KYAAA!”

Suara teriakan para tamu langsung memenuhi udara. Gelas beradu jatuh ke lantai, kursi bergeser, dan kepanikan mulai merebak.

Dominic otomatis mempererat genggamannya pada tangan Elanor, naluri pelindungnya muncul. Namun dalam hitungan detik, perasaan aneh menjalar—genggaman itu kosong. Ia meraih udara.

“Elanor?” suaranya tercekat, matanya menajam dalam kegelapan.

Jantungnya berdegup kencang, lebih cepat daripada musik yang baru saja berhenti.

Beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala. Ballroom itu terang lagi. Para tamu kebingungan, sebagian masih berteriak, sebagian saling berdesakan untuk mencari rasa aman.

Tapi bagi keluarga Cromwell, hanya ada satu yang mereka sadari: Elanor menghilang.

Dominic menoleh ke kanan, ke kiri—kosong. Tangannya gemetar. Matanya melebar, napasnya terengah. “Elanor! ELANOR!” teriaknya, suaranya bergema sampai ke seluruh sudut ballroom.

Daniel, yang berdansa dengan Bella, juga langsung tersadar. Tatapannya berkeliling dengan cepat, wajah dinginnya berubah panik. “Tidak mungkin…” suaranya parau. “Dia ada di sini barusan.”

Bella ikut berdiri kaku, matanya membesar, tangannya bergetar. “La… Lala?! Nggak mungkin… dia barusan di depan kita! Dia nggak mungkin…” Nafasnya terpotong-potong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Suasana ballroom semakin kacau. Para tamu sibuk berbisik, kamera media berusaha mencari momen, tapi semuanya terasa tidak nyata.

Lalu tiba-tiba, suara asing bergema melalui speaker ballroom. Suara berat, datar, dan dingin—cukup keras untuk membungkam semua keributan.

“Selamat menikmati.”

Hening.

Seluruh ruangan membeku.

Dominic menegang, rahangnya mengeras, matanya berkilat seperti ingin menerkam siapa saja. Daniel mengepalkan tinjunya, wajahnya suram. Bella menutup mulutnya dengan tangan, air matanya mulai menggenang.

Dan di tengah sorot lampu mewah ballroom itu, semua orang tahu: pesta elegan malam itu baru saja berubah menjadi awal dari mimpi buruk.

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!