Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebangkitan Sang Bintang
Suara desingan memekakkan telinga masih bergetar di telinga Rohim, meskipun kapsul darurat yang mereka tumpangi telah menghantam permukaan air dengan kekuatan brutal. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, namun yang paling menakutkan adalah sensasi terlempar ke bawah, ke dalam kegelapan yang dingin. Air laut langsung menyergap, membanjiri kapsul yang sudah hancur, menyeret mereka ke kedalaman.
Di detik-detik mengerikan itu, saat kegelapan mulai merenggut kesadaran, Rohim merasakan desakan energi yang luar biasa panas dari dalam dirinya. Seperti inti matahari yang tiba-tiba bangkit. Telapak tangannya memanas, memancarkan cahaya keemasan yang menembus pekatnya air. Ia tidak tahu bagaimana, tapi ia ingin melindungi keluarganya. Hasrat itu memicu sesuatu. Energi panas menyembur keluar dari tubuhnya, membentuk gelembung udara raksasa yang mendorong kapsul, bahkan serpihan air di sekitarnya, ke atas dengan kecepatan abnormal.
Fitriani merasakan sengatan dingin air laut, diikuti oleh rasa takut yang luar biasa. Ia memeluk Humairah erat-erat, matanya terpejam. Di tengah kepanikan itu, ia merasakan kilatan cahaya perak yang lembut namun kuat memancar dari dirinya. Cahaya itu membalut Humairah dan dirinya, menciptakan medan energi pelindung. Kilatan cahaya bulan yang tiba-tiba muncul dari tangannya bukan hanya sekadar penerang, tapi juga semacam perisai yang mendorong air, membuat mereka terangkat. Ia tidak tahu bagaimana, namun naluri seorang ibu untuk melindungi anaknya memicu kekuatan yang tak terduga ini.
Shalih, yang tadinya terdiam dalam syok, kini merasakan tubuhnya ringan tak terkendali. Ia melayang, bukan karena air, tapi karena sesuatu yang aneh. Dari kedua tangannya, ledakan energi cahaya bintang menyembur tak terkendali, bukan hanya mendorong dirinya, tapi juga menciptakan riak-riak gravitasi mikro yang membelokkan puing-puing di sekelilingnya. Ia memejamkan mata, ketakutan, namun di benaknya ada intuisi yang samar, 'bergerak ke atas'.
Humairah, yang masih menangis di pelukan Fitriani, tiba-tiba berhenti. Matanya terbuka, memancarkan aura ungu samar. Tubuhnya bersinar lembut, menciptakan gelombang energi penyembuhan yang menenangkan. Aura pelindung kosmik itu memancar dari dirinya, mengusir dinginnya air dan melindungi mereka dari tekanan dasar laut, sekaligus menarik mereka ke atas dengan daya dorong yang tak kasat mata. Tangisan Humairah berubah menjadi gumaman lembut, seolah ia sedang berbicara dengan alam semesta itu sendiri.
Dengan kekuatan-kekuatan yang sepenuhnya tak terkendali itu, kapsul yang hancur itu, bersama keluarga Wiratama di dalamnya, melesat naik menembus permukaan laut. Bukan dengan kecepatan kapal selam, melainkan dengan kekuatan dahsyat yang seperti dilepaskan dari inti planet. Air bergolak hebat, menciptakan gelombang raksasa. Mereka menembus batas air, melayang beberapa meter di atas permukaan, kapsul itu seperti terangkat oleh kekuatan gaib.
Mata Rohim dan Fitriani membelalak tak percaya. Mereka melihat diri mereka sendiri, terhuyung-huyung di atas air, di dalam kapsul yang hancur lebur, namun tanpa luka sedikit pun. Pakaian mereka basah kuyup, namun tidak ada goresan. Jantung mereka masih berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan akan tenggelam, melainkan karena kaget yang luar biasa.
"Apa... apa yang terjadi?" Fitriani berbisik, suaranya parau, menatap Rohim dengan mata membulat. Ia merasakan sensasi geli di tangannya yang tadi memancarkan cahaya, seperti ada energi sisa yang menari-nari di bawah kulitnya. Hijabnya yang basah kuyup kini menempel erat di wajahnya, menunjukkan ekspresi kebingungannya.
Rohim tak bisa menjawab. Tangannya masih memancarkan kehangatan yang aneh. Ia merasakan tubuhnya dipenuhi energi yang melimpah, seolah ia baru saja menyerap seluruh panas matahari. Ia menatap telapak tangannya yang sedikit berasap, lalu melihat ke Shalih.
Shalih masih terdiam, tatapannya kosong. Tubuhnya sedikit terangkat dari kursi, melayang samar. Kilatan cahaya bintang sesekali terlihat di sekelilingnya, meskipun redup dan tak stabil.
"Shalih, Nak... kamu baik-baik saja?" Rohim mencoba meraih putranya, namun tangannya melewati tubuh Shalih seolah ada medan gravitasi kecil di sekelilingnya.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Shalih, suaranya pelan. Ia menoleh ke Rohim dan Fitriani. "Rasanya... aku melayang."
Humairah terkikik pelan di pelukan Fitriani, pipinya gembil. Aura ungu samar masih menyelimuti dirinya, terasa hangat dan menenangkan. Ia menunjuk ke arah air, lalu ke atas, seolah menunjukkan bahwa ia tahu bagaimana mereka selamat.
"Ini... ini yang tadi kita rasakan di tubuh kita, Yah?" Fitriani bertanya lagi, nada suangnya penuh keheranan. "Yang aneh-aneh itu?"
Rohim mengangguk, napasnya masih berat. "Mungkin... ini efek dari tabrakan itu. Atau dari mahluk itu?" Pikirannya kembali melayang pada entitas kosmik yang menabrak mereka. Ia tak menyangka, di luar akal sehatnya, mahluk itu tak hanya menghancurkan, tapi juga memberikan sesuatu yang luar biasa, namun juga menakutkan. Di benaknya, sebagai seorang insinyur yang rasional, semua ini adalah anomali yang harus dijelaskan. Tapi bagaimana?
Ia memeluk erat Fitriani, Shalih, dan Humairah dalam satu dekapan hangat. Pemandangan puing-puing Artemis IV yang bertebaran di angkasa, tubuh-tubuh tak bernyawa yang mengambang beku, semua terlintas di benaknya. Pengalaman ini jauh lebih buruk dari mimpi terburuknya. Kematian di depan mata, kehancuran yang tak terhindarkan, namun mereka... mereka selamat. Tanpa luka. Sebuah keajaiban yang mengerikan.
"Alhamdulillah... kita selamat, Sayang. Kita semua selamat," bisik Rohim, air mata menetes di pipinya. Air mata lega, syukur, dan juga trauma yang mendalam. Ia mengusap punggung Fitriani, mencoba menenangkan.
Fitriani membenamkan wajahnya di dada Rohim, menangis dalam diam. Bukan hanya rasa syukur, tapi juga rasa bersalah yang menusuk. Mengapa mereka yang selamat? Mengapa bukan keluarga lain yang juga punya mimpi? Beban ini terasa berat di dadanya.
Kapsul itu, entah bagaimana, tetap mengambang di atas air. Namun, tiba-tiba, sebuah suara gemuruh di kejauhan menarik perhatian Rohim. Ia menoleh ke langit. Sebuah titik kecil, bergerak cepat mendekati mereka. Ukurannya membesar.
"Itu... helikopter?" Rohim menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas.
Titik itu semakin besar, bentuknya mulai terlihat jelas. Sebuah helikopter militer, diikuti beberapa perahu cepat yang melaju di permukaan air. Bendera Amerika dan logo ISTC terlihat jelas di badan helikopter.
"Tim penyelamat!" seru Fitriani, suaranya nyaring, penuh harap. Ia mengangkat tangan, melambai-lambai lemah.
Helikopter itu mendekat, baling-balingnya menciptakan angin kencang yang mengombang-ambingkan kapsul mereka. Cahaya sorot yang kuat menembus kabut pagi di atas laut, menyorot langsung ke arah mereka. Suara megafon terdengar, meskipun tak jelas karena deru baling-baling.
"Kami datang untuk menolong! Tetap tenang! Jangan bergerak!"
Rohim menghela napas lega, namun ada perasaan campur aduk di hatinya. Mereka selamat. Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana mereka akan menjelaskan apa yang mereka alami? Dan bagaimana dengan kekuatan-kekuatan aneh yang kini bersemayam di dalam diri mereka?
Shalih, yang tadinya hanya terdiam, kini mendongak. Matanya menatap helikopter itu, lalu menoleh ke Rohim dan Fitriani. Ada ekspresi yang tidak bisa diartikan di wajahnya yang polos. Ia mengangkat tangan kirinya, dan secara tak sengaja, sebuah bola kecil energi cahaya bintang keluar dari telapak tangannya, melesat ke atas, lalu menghilang di udara.
Rohim dan Fitriani terkesiap. Mereka melihat satu sama lain. Kekuatan ini... benar-benar nyata. Dan belum terkendali.
Tim penyelamat semakin dekat. Wajah-wajah panik namun lega terlihat dari balik kaca helikopter. Mereka sudah melihat bahwa ada yang selamat. Namun, mereka belum tahu. Mereka belum tahu keajaiban, kengerian, dan misteri yang kini menyelimuti Keluarga Wiratama.
CLIFFHANGER: Helikopter penyelamat akhirnya melayang tepat di atas kapsul mereka. Tali tangga diturunkan, dan beberapa penyelamat berseragam dengan wajah serius mulai turun. Mereka mendekati kapsul yang hancur itu, mata mereka memindai sekeliling. Namun, saat salah satu penyelamat hendak mengulurkan tangan ke arah Rohim, sebuah kilatan cahaya tak sengaja keluar dari tangan Fitriani, nyaris mengenai penyelamat itu. Kekuatan mereka, yang masih liar dan tak terkendali, akan segera terungkap di depan mata dunia. Akankah mereka dipandang sebagai korban, ataukah sebagai ancaman yang tak terduga?
Bersambung....