Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Bagas duduk termenung di sudut kamarnya. Sebuah handuk kecil basah tergenggam di tangannya, ia gunakan untuk mengompres luka lebam di pipinya. Sesekali ia meringis, mengingat jelas bagaimana tinju pria asing itu mendarat tepat di wajahnya. Bukan hanya sakit, tapi juga menyisakan tanya yang tak kunjung reda.
“Siapa dia sebenarnya?” gumam Bagas pelan, pandangannya kosong menatap dinding.
Ia tak kenal pria itu. Namun, jelas terlihat dari cara pria itu memperlakukan Alya. kasar dan menakutkan. Dan yang membuat Bagas makin resah, ia sempat melihat tatapan Alya... ada ketakutan di sana. Bukan takut karena pertengkaran biasa, tapi seolah ada luka yang belum sembuh. Luka yang belum sempat Bagas pahami.
Tangannya kembali bergerak, menekan handuk hangat ke pipinya yang memar. Dingin yang perlahan berubah hangat itu membuat rasa sakit sedikit mereda, tapi tidak dengan pikiran-pikirannya.
Secara fisik, Bagas tahu dia kalah jauh. Pria itu tinggi besar, berotot, dan jelas bukan tipe yang mudah ditaklukkan dengan logika apalagi amarah. Tapi bukan itu yang membuat Bagas gelisah. Yang membuat dadanya sesak adalah ekspresi Alya. Ia seperti menyimpan ketakutan yang tak bisa diucap, dan itu membuat Bagas merasa harus tahu. Harus mengerti.
“Alya harus jelasin semuanya,” ucapnya lebih tegas.
Bagas, atau lengkapnya, Bagaskara. Usianya baru menginjak 18 tahun, setahun lebih tua dari Alya. Ia tumbuh tanpa orang tua sejak usia lima tahun karena kecelakaan. Selama bertahun-tahun, neneknya yang merawatnya. Nenek yang begitu sabar, hangat, dan satu-satunya keluarga yang ia punya. Tapi sejak neneknya meninggal setahun lalu, Bagas benar-benar hidup sendiri. Ia terbiasa dengan sepi, tapi bukan berarti ia kebal terhadap rasa kehilangan.
Dan saat Alya hadir, gadis itu memberi warna baru dalam hidupnya. Bukan hanya sekadar teman. Alya membuatnya merasa tidak sendirian. Tapi kini, saat luka di pipinya makin terasa, hatinya pun ikut terluka. Ada hal yang disembunyikan Alya. Dan Bagas ingin tahu... karena hatinya terlalu peduli untuk membiarkannya begitu saja.
...
Beberapa jam telah berlalu. Amarah yang sempat membakar dada Reihan kini telah padam, digantikan oleh keheningan yang mencubit nuraninya. Ia duduk terpaku, menatap pintu kamar yang sejak tadi terkunci rapat. pintu yang memisahkannya dari perempuan yang telah ia sakiti. Pandangannya kosong, namun sarat dengan sesal. Ia menarik napas panjang, seakan mencoba menyingkirkan bayang-bayang emosinya sendiri.
Perlahan, ia bangkit dari duduk. Langkah kakinya ringan namun berat, seakan setiap langkah membawa beban penyesalan yang tak terucapkan. Ia membuka kunci pintu dengan hati-hati, menghindari suara berisik, seakan takut mengganggu luka yang belum mengering.
Begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Alya. Gadis itu duduk memeluk lututnya di atas ranjang, wajahnya tenggelam dalam pelukan dirinya sendiri. Pundaknya bergetar pelan, tanda bahwa tangisnya belum juga reda. Udara di dalam kamar terasa pekat, sesak oleh kesunyian dan kesedihan yang menggantung.
Reihan melangkah mendekat, lalu duduk perlahan di tepi ranjang, menghadap langsung ke arah Alya.
“Alya...” panggilnya pelan, hampir seperti bisikan yang terbawa angin.
Namun Alya tak bergerak. Tak ada respons. Hanya tangis hening yang terus mengalir tanpa suara.
“Maafkan aku...” ucap Reihan, suaranya nyaris pecah.
“Aku tahu... aku salah. Aku tak seharusnya memperlakukanmu seperti tadi. Tapi aku... aku terbakar amarah.”
Ia menunduk, menahan napas sejenak sebelum melanjutkan.
“Entah kenapa, saat melihatmu bersama pria lain... rasanya dadaku sesak. Aku benci melihat senyummu untuk orang lain. Aku benci caramu menatapnya... seolah kau benar-benar nyaman di dekatnya.”
Alya masih tak bergeming. Hening kembali merebak, membuat ruang itu terasa semakin menyakitkan. Lalu, suara serak memecah keheningan.
“Apa salahku...?” ucap Alya lirih, napasnya tersendat karena terlalu lama menangis. “Kenapa kalian semua membenciku...? Kenapa kalian terus mengganggu hidupku, padahal aku tak pernah mengganggu siapa pun...? Kenapa...?”
Suara itu menggema, lemah tapi penuh luka. Reihan hanya bisa menatapnya, bisu oleh rasa bersalah yang mencengkeram.
“Aku muak...” lanjut Alya, kali ini dengan suara bergetar dan napas yang berat.
“Aku muak dengan kalian semua!”
Lalu tangisnya pecah kembali, lebih keras, lebih dalam, seolah menumpahkan semua luka yang telah ia pendam.
“Maafkan aku...” ucap Reihan lagi, suaranya nyaris tenggelam di antara isakan Alya.
“Aku membencimu!” teriak Alya. Ia mendongak, menatap Reihan dengan sorot mata yang tajam dan penuh kebencian. Di sana, dalam mata yang sembab itu, ada luka yang tak terucapkan, ada dendam yang belum tersampaikan.
Melihatnya seperti itu, Reihan tak kuasa. Ia mengulurkan tangan, lalu memeluk Alya. memaksanya masuk ke dalam dekapannya. Pelukan itu hangat, meski penuh paksaan. Bukan sekadar pelukan biasa, melainkan jeritan sunyi dari seorang pria yang menyesal terlalu terlambat.
Alya mencoba memberontak, memukul pelan dadanya, namun Reihan tetap memeluknya erat.
“Kumohon... maafkan aku,” bisiknya.
“Aku tahu aku pengecut. Aku terlalu takut kehilangan nama baik, terlalu pengecut untuk berdiri di sampingmu saat semua menghakimi mu. Tapi sejak kau pergi... aku sadar satu hal. aku merindukanmu.”
Kata-katanya menggantung di udara, berat dan dalam. Reihan menenggelamkan wajahnya di pundak Alya, menghirup dalam aroma vanila yang selalu melekat pada tubuh gadis itu.
Dan di pelukan itu, di tengah luka dan air mata, dua hati yang saling melukai perlahan mulai bicara dalam bahasa yang tak bersuara.