Dion terpaksa menikahi wanita yang tidak cintainya karena perjodohan yang diatur orang tuanya. Namun kehidupan pernikahannya hancur berantakan dan membuatnya menjadi duda.
Selepas bercerai Dion menemukan wanita yang dicintai dan hendak diajaknya menikah. Namun lagi-lagi dia harus melepaskan wanita yang dicintainya dan menuruti keinginan orang tua menikahi wanita pilihan mereka. Demi menyelamatkan perusahaannya dari kebangkrutan, akhirnya Dion bersedia.
Pernikahan keduanya pun tidak bisa berlangsung lama. Sang istri pergi untuk selamanya setelah memberikan putri cantik untuknya.
Enam tahun menduda, Dion bertemu kembali dengan Raras, wanita yang gagal dinikahinya dulu. Ketika hendak merajut kembali jalinan kasih yang terputus, muncul Kirana di antara mereka. Kirana adalah gadis yang diinginkan Mama Dion menjadi istri ketiga anaknya.
Kepada siapa Dion melabuhkan hatinya? Apakah dia akan mengikuti kata hati menikahi Raras atau kembali mengikuti keinginan orang tua dan menikahi Kirana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Up Close and Personal
Tepat pukul dua belas siang Raras meninggalkan ruangannya. Tujuannya tentu saja ke ruangan Dion. Wanita itu ingin mengajak atasannya itu untuk makan siang bersama. Begitu masuk ke dalam, nampak Dion baru saja bangun. Pria itu mengambil kunci mobil dan ponselnya lalu menjauh dari meja kerjanya.
“Kita makan siang bareng ya,” ajak Raras.
“Maaf Ras, aku sudah ada janji.”
“Janji? Janji dengan siapa? Kenapa tidak ada dalam jadwal mu?”
“Aku akan makan siang dengan Leti.”
“Apa? Tidak! kamu tidak boleh pergi!”
“Ras, tolong jangan seperti anak kecil. Aku makan siang dengan istri ku sendiri. Apa itu salah?”
“Lalu bagaimana dengan ku?”
“Kamu bisa makan siang dengan Reza.”
“Aku tidak mau makan siang dengan Reza! Aku maunya makan siang dengan mu!”
“Maaf Ras, lain kali saja.”
Dion bergegas meninggalkan ruangannya. Dia tidak mempedulikan teriakan Raras. Dengan langkah panjang pria itu berjalan menuju lift. Ditinggalkan begitu saja oleh Dion, Raras berusaha menyusul. Namun sayang, begitu sampai, pintu lift sudah menutup. Raras hanya bisa berteriak kesal.
Sesampainya di basement, Dion segera menuju mobilnya. Pria itu memacu kendaraannya dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya pria itu sudah tidak sabar untuk bertemu dengan istrinya. Dalam waktu dua puluh menit dia sudah sampai di kantor Letisha. Setelah memarkirkan mobilnya, Dion memasuki lobi kantor. Ini pertama kalinya dia mengunjungi kantor sang istri.
“Kalau ruangan Bu Leti ada di lantai berapa?” tanya Dion pada petugas resepsionis.
“Bapak mau bertemu Ibu Leti?”
“Iya.”
“Maaf, apa sudah buat janji? Ini jam makan siang, takutnya Bu Leti sedang makan siang.”
“Sebenarnya dia sedang menunggu saya untuk makan siang.”
“Ehm.. Bapak..”
“Saya suaminya.”
“Oh maafkan saya, Pak. Mari saya antar.”
Bergegas resepsionis tersebut meninggalkan mejanya. Dia segera mengantarkan Dion menuju lift khusus petinggi perusahaan. Lebih dulu wanita itu menempelkan kartu akses ke panel yang ada di sisi dinding lift lalu memijit tombol 11.
“Silakan, Pak. Ruangan Bu Leti ada di lantai 11.”
“Terima kasih.”
Pintu lift segera menutup. Dion terus memandangi panel yang ada di atas pintu. Pria itu seakan berharap kotak besi yang dinaikinya segera sampai ke lantai 11. Begitu sampai di lantai 11, Dion langsung menuju satu-satunya ruangan yang ada di lantai tersebut. Dia yakin sekali kalau ruangan tersebut adalah ruangan Letisha. Ketika hendak mengetuk, pintu sudah terbuka lebih dulu. Letisha keluar dari dalamnya dengan tas di tangan.
“Apa kamu menunggu ku?” tanya Dion seraya melemparkan senyuman.
“Resepsionis baru memberitahu ku kalau Mas sudah sampai.”
“Mau langsung pergi sekarang?”
“Boleh.”
Keduanya berjalan menjauhi ruangan untuk sampai ke lift. Letisha terkesiap ketika tiba-tiba Dion menarik pinggangnya lalu memeluknya. Jantung wanita itu langsung berdebar tak karuan. Buru-buru dia menundukkan kepalanya untuk menutupi rona merah di pipinya.
Ketika keluar dari lobi, Dion tetap tidak melepaskan pelukan di pinggang Letisha. Karyawan yang berada di lobi tak bisa melepaskan pandangan dari keduanya. Selama menikah, ini pertama kalinya pasangan ini tampil berdua di kantor Letisha. Desas-desus yang mengatakan kalau keduanya terpaksa menikah karena perjodohan dan investasi seakan terpatahkan.
“Kita mau makan di mana?” tanya Letisha setelah berada di dalam mobil.
“Terserah kamu saja. Asal tempat makannya selezat masakan mu.”
Tak ayal sebuah senyum terbit di wajah Letisha mendengar pujian Dion. Pria itu segera menjalankan kendaraan mengikuti petunjuk yang diberikan Letisha. Lima belas menit berselang, mereka sampai di tujuan. Dion memarkirkan kendaraannya di depan warung lesehan. Warung makan tersebut menyediakan menu olahan ayam.
“Mas ngga keberatan kita makan di sini?”
“Kok kamu nanyanya gitu?”
“Takutnya Mas ngga pernah makan di kaki lima seperti ini.”
“Siapa bilang? Waktu kuliah dulu, aku sering makan dan nongkrong di kaki lima.”
Dion teringat akan kebersamaannya dengan Nilan saat masih menyelesaikan kuliahnya. Acara kencan mereka kerap diisi dengan mencicipi kuliner dari warung tenda satu ke warung tenda lainnya. Setelah berpisah dari Nilan, Dion tidak pernah lagi makan di kaki lima. Bukan karena dia anti makan di kaki lima lagi, tapi karena itu mengingatkannya akan Nilan. Lamunan Dion terhenti ketika mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru pria itu keluar untuk menyusul Letisha yang sudah keluar lebih dulu.
Letisha mengambil meja di bagian sudut. Tempat makan ini berbentuk lesehan. Pengunjung yang datang menikmati makan sambil duduk beralaskan tikar dengan meja yang terbuat dari bambu sebagai tempat untuk menaruh makanan.
“Mas mau makan apa?”
“Yang enak apa?”
“Kalau aku suka ayam tulang lunaknya. Enak banget.”
“Ya sudah itu aja.”
Letisha mengangkat tangannya, salah satu dari dua pegawai menghampirinya. Wanita itu memesan dua porsi ayam tulang lunak dengan nasinya. Tidak lupa Letisha meminta sambal dan lalap sebagai teman makan.
Ketika sedang menunggu pesanan, masuk tiga orang ke dalam tempat makan tersebut. Satu pria memegang gitar, satu pria membawa dua kendang yang diikat di pinggangnya, sementara satu lagi seorang wanita muda. Sepertinya ketiga orang tersebut adalah pengamen yang biasa menghibur pengunjung yang datang. Sang pemilik tempat makan pun membiarkan saja pengamen itu mencari rejeki di tempatnya asal tidak membuat pengunjungnya tak nyaman.
Suara gitar yang dipadu dengan suara kendang mulai terdengar. Pengunjung yang ada di sana langsung mengalihkan perhatiannya pada ketiga pengamen tersebut, tak terkecuali Dion dan Letisha. Lagu yang dimainkan berirama cepat, wanita muda itu mulai menggoyangkan tubuhnya. Kemudian terdengar suara merdunya menyanyikan lagu yang dipopulerkan oleh Happy Asmara.
“Dua tahun ngana, sa tinggal. Ngana pegi. Bertahan, basiksa, basiksa basiksa lagi. Mati mati rasa, rasa mo mati, mo mati, mo mati. Kambing dek kambing mo baku dapa, ayam-ayam pam pam pambasilet. Mar ternyata binatang. Memang kita sa curiga, kalau torang dua suka main di belakang, pam pam pambasilet.”
Lagu berjudul Pambasilet itu yang berirama cepat, sukses membuat pengunjung tak bisa menahan diri untuk bergerak. Ada yang menggerakkan kepalanya, kakinya, tangannya, bahkan ada yang ikut menyanyikan. Dion pun tidak luput dari hal tersebut. Pria itu menggerakkan tangannya di meja, seperti orang yang tengah memainkan gendang. Letisha sampai menganga melihat apa yang dilakukan suaminya.
Wajah Dion tak lepas dari senyuman ketika mengetuk meja. Apa yang dilakukan pria itu sukses menarik perhatian para pengamen tersebut. Ketiganya segera mendekati Dion. Sang wanita terus bernyanyi sambil melihat pada Dion dan Letisha. Dion terus mengetuk meja seperti bermain gendang. Letisha tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah sang suami. Begitu wanita muda itu selesai menyanyikan lagunya, terdengar tepukan tangan Letisha.
“Tambah satu lagu lagi, ya. Nanti saya kasih bonus,” ujar Dion.
“Siap, Mas. mau request lagu apa?”
“Bebas.”
Karena tidak ada request lagu apapun dari Dion, akhirnya ketiganya lanjut memainkan lagu yang ada dalam list mereka sendiri. Lagi terdengar suara gitar dan gendang dimainkan. Berhubung makanan sudah tersaji di depan mereka, Dion tidak mengetuk meja seperti tadi. Dia mulai menikmati makanannya bersama dengan Letisha.
Keduanya makan diiringi lantunan lagu kedua yang diperdengarkan pengamen jalanan tersebut. Untuk kali ini, lagu dinyanyikan secara duet. Pengamen yang memainkan gitar ikut bernyanyi menemani vocalis wanita dengan membawakan lagu diet.
“Terlanjur cinta mati. Dikau yang ku sayang. Ijinkan cinta ini bisa ku perpanjang. Tak ada lagi istilah kawin kontrakan. Berapapun mas kawinnya aku bayar kontan.”
Sontak Dion dan Letisha berpandangan ketika mendengar lirik yang dinyanyikan pengamen pria menyebut kawin kontrakan. Keduanya tak bisa menahan senyum.
“Kelaksan kawinan ijab kobul kumandang. Sliramu tangisan terharu aku nyawang. Akhire aku jatuh cinta temenan. Cintaku ini hanyalah untuk Abang,” sambung pengamen wanita.
Usai menyanyikan lagu kedua, mereka lanjut menyanyikan lagu ketiga dan keempat. Siapa tahu saja para pengunjung mau memberikan bayaran lumayan. Begitu lagu keempat selesai dinyanyikan, Dion dan Letisha sudah selesai makan. Setelah mencuci tangan, Dion mengambil dompetnya lalu mengeluarkan uang selembar seratus ribuan. Diberikannya lembaran merah muda itu pada pengamen yang datang mendekatinya.
“Wah makasih, Mas,” ujar pengamen wanita dengan nada sumringah.
Bukan hanya Dion, tapi Letisha pun ikut memberikan uang. Sama seperti Dion, wanita itu juga memberi seratus rupiah untuk para pengamen tersebut.
“Terima kasih, Mas, Mbak. semoga rejekinya digantikan oleh Allah dengan yang lebih banyak lagi.”
“Aamiin..”
“Semoga Mas dan Mbaknya tetap bersama, langgeng terus.”
“Aamiin..” sahut Dion cepat.
Letisha memandangi Dion dengan lekat. Kali ini sorot matanya cukup berbeda. Sikap pria itu hari ini berhasil merubah pandangan Letisha pada dirinya. Wanita itu mulai berpikir untuk membuka hati pada suaminya ini.
“Ada apa?” tanya Dion karena Letisha terus memandanginya.
“Mas sehat kan? Kok hari ini aneh banget.”
“Aneh gimana?”
“Itu tadi sampai ikutan ngetuk-ngetuk meja, kaya lagi main kendang.”
“Hahaha.. aku emang sering banget kaya gini kalau ketemu pengamen yang main dangdut koplo. Seru aja.”
“Astaga, aku ngga nyangka Mas serandom ini.”
“Kenapa? Kamu ngga suka lihat aku yang seperti ini?”
“Ngga kok, aku suka. Kalau memang ini Mas yang sebenarnya, tolong jangan berubah. Aku suka Mas apa adanya.”
“Aku juga lebih suka dengan dirimu yang banyak tersenyum dan tertawa. Ke depannya aku akan berusaha membuat mu tersenyum dan tertawa. Asal jangan tertawa sendirian aja.”
“Hahaha.. gombalan Mas garing banget.”
“Tinggal kasih air biar basah.”
“Hahaha..”
Kembali Letisha tak bisa menahan tawanya. Selama beberapa hari terakhir ini, dia seakan melihat sosok lain dari Dion. Suaminya yang awalnya lebih banyak diam, sangat berhati-hati ketika berbicara dan terkesan dingin, sekarang sudah tidak ada lagi.
“Kamu ada janji penting ngga hari ini?”
“Ngga, kenapa Mas?”
“Kita bolos setengah hari, yuk. Kita jalan-jalan. Anggap aja lagi nge-date. Mau ngga?”
***
Hayo pada senyum² ya?
si Rina malah melemparkan kesalahan juga sama Astrid ,klo tau itu berisiko kenapa diambil kerjaan dari si Astrid demi uang gak seberapa itu