NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:54.9k
Nilai: 4.9
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memburuk

Pagi menjelang siang ketika Vanessa kembali mengunjungi rumah Morla untuk melakukan perawatan rutin. Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela, menyinari ruangan sederhana yang sunyi.

Begitu pintu dibuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok Morla yang masih terbaring di ranjang. Nafas wanita tua itu tampak pelan, hampir tak terdengar.

Vanessa melangkah mendekat dan duduk di sisi ranjang, tersenyum lembut. “Selamat pagi, Morla,” ucapnya pelan. “Waktunya bangun dan minum obatmu.”

Namun, tak ada respons.

Vanessa mengerutkan kening, lalu melirik ke atas nakas di sebelah tempat tidur. Mangkuk tanah liat yang biasanya berisi ramuan itu sudah kosong. Hanya bekas cairan di dasar mangkuk yang terlihat.

Tumben… pikirnya.

Mungkin Tabib Alana sudah memberinya ramuan sebelum ia datang. Atau mungkin… ramuan hari ini bekerja lebih kuat dari biasanya, membuat Morla tertidur lebih dalam.

Vanessa menarik selimut hingga menutupi dada Morla dengan hati-hati. Jemarinya menyusuri dahi wanita itu sejenak, lalu berbisik pelan, “Tidurlah yang nyenyak. Kau akan segera sembuh. Kami semua menantikan senyummu.”

Ia berdiri, melangkah pelan meninggalkan rumah itu. Tapi entah mengapa, langkahnya terasa berat… dan hatinya digelayuti rasa tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. Ia mencoba menepisnya, menganggap itu hanya kelelahan.

Namun, tanpa ia sadari—di balik tenangnya napas Morla yang terlelap—racun Haldegar perlahan mulai bekerja. Diam-diam, dari dalam, mengikis keseimbangan tubuh yang selama ini berjuang untuk bertahan hidup.

——

Vanessa tiba di depan gedung desa—bangunan tua yang selama bertahun-tahun dibiarkan mati tanpa fungsi. Kini, suasananya mulai hidup kembali. Beberapa warga terlihat sibuk menyapu, membersihkan debu dari dinding, dan menyingkirkan pecahan kayu lapuk. Ada semangat baru dalam langkah-langkah mereka, meski tubuh mereka masih belum sepenuhnya pulih.

Di dalam gedung, terlihat Elric tengah berbicara dengan Tabib Alana dan Lucien. Ketiganya segera menoleh saat melihat Vanessa melangkah masuk.

Tabib Alana memberi hormat, diikuti oleh Lucien dan Elric. “Yang Mulia, apakah Anda baru kembali dari rumah Nyonya Morla?” tanya Alana dengan nada sopan.

Vanessa mengangguk pelan. “Ya. Tapi sepertinya efek ramuannya cukup kuat. Dia tertidur sangat lelap.”

Tabib Alana tersenyum singkat. “Saya memang memberinya ramuan tadi pagi, sesuai permintaan Morla sendiri.”

Vanessa sedikit terkejut. “Dia memintanya sendiri?”

“Benar, Yang Mulia. Mungkin karena ia ingin cepat pulih. Semangatnya cukup besar meski tubuhnya belum sejalan.”

Vanessa hanya bisa mengangguk, merasa lega sekaligus khawatir. Namun ia tak ingin menunjukkan kecemasannya di depan yang lain.

Pandangan Vanessa lalu beralih pada Elric, pria paruh baya yang kini tampak lebih tegak berdiri daripada hari pertama mereka bertemu.

“Tuan Elric,” ucap Vanessa, langkahnya mantap menghampiri. “Saya akan memulai pembangunan kembali desa ini. Sudah terlalu lama tempat ini terabaikan. Sebagai Ratu, saya memiliki tanggung jawab untuk memastikan rakyat saya hidup layak dan sejahtera.”

Ia menatap mata Elric dalam-dalam. “Tapi saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya ingin warga ikut terlibat. Tidak hanya agar proses ini berjalan lebih cepat, tapi juga agar mereka kembali merasa memiliki desa ini.”

Elric terdiam sejenak. Matanya sedikit bergetar, penuh emosi. “Yang Mulia… itu adalah kehormatan bagi kami.” Ia menunduk dalam. “Sudah lama kami tidak memiliki harapan sebesar ini. Perintahkan saja apa yang perlu kami lakukan—dan kami akan melakukannya.”

Vanessa tersenyum. Ada kehangatan di sana. Dan untuk pertama kalinya, gedung tua itu dipenuhi oleh sesuatu yang lebih dari sekadar suara dan langkah: harapan.

——

Langit di luar istana mendung, seolah menyerap aura tegang dari dalam ruangan berpanel kayu tua yang sunyi. Di ujung meja panjang, Maxime duduk dengan tangan terlipat. Matanya tajam, menusuk seperti pedang yang belum terhunus.

Di hadapannya, berdiri seorang pria tua berjubah ungu—Lord Vernath, salah satu dewan keuangan yang selama ini dipercaya mengawasi distribusi bantuan ke desa-desa wilayah timur.

Namun kali ini, tak ada senyum diplomatis di wajah Maxime.

“Beritahu aku, Lord Vernath,” suaranya tenang, tapi bergetar dingin. “Seberapa sering bantuan dari istana benar-benar sampai ke Rousanne?”

Lord Vernath tampak tersenyum gugup. “Tentu saja, Yang Mulia. Setiap laporan kami lampirkan—”

Maxime mengangkat sebelah tangan, menghentikan pembelaan itu.

“Aku sudah ke sana.” Nadanya datar. “Aku melihat sendiri dengan mata kepala ini, kondisi rakyat yang kelaparan, air kotor, dan obat yang tak pernah tiba.”

Wajah Vernath memucat.

“Kau yakin… ingin menyangkal apa yang kulihat dengan mataku sendiri?” lanjut Maxime.

Suasana ruangan mencekam.

“Jalur distribusi berada di bawah pengawasanmu. Dana keluar dari tanganmu. Dan sekarang… ada kesalahan besar.” Maxime berdiri perlahan, tinggi dan tak terbantahkan.

“Jika satu dari mereka—satu anak, satu ibu, satu jiwa—mati karena kelalaianmu…”

Ia mendekat. “Maka darahnya… berada di tanganmu.”

Lord Vernath gemetar. “Yang Mulia, saya hanya—mereka—ada perintah dari—”

“Perintah dari siapa?” Maxime menyipit. “Kau ingin menyeret lebih banyak nama ke jurang pengkhianatan?”

Vernath tak menjawab.

Maxime menghela napas pelan, lalu menoleh ke Bastian yang berdiri di samping pintu.

“Bawa dia ke ruang interogasi bawah. Jangan sampai ada satu pun yang tahu pergerakannya hari ini. Aku ingin seluruh jalur distribusi dibuka, diperiksa, dan diaudit.”

Bastian mengangguk. “Baik, Yang Mulia.”

Sebelum Vernath dibawa pergi, Maxime kembali berkata—dingin, mematikan.

“Jika istriku tersakiti karena permainanmu… maka tiang gantungan takkan cukup untuk menebus dosamu.”

Dan saat pintu tertutup kembali, Maxime menatap peta besar di dinding ruangan.

Tangannya mengepal.

“Aku takkan membiarkan kebusukan di dalam istana lebih berbahaya dari musuh di luar temboknya.”

——

Hujan tipis mulai turun, membasahi kaca jendela tinggi yang membingkai langit gelap di luar. Maxime duduk sendiri di ruang kerjanya, di hadapannya tergelar puluhan dokumen keuangan lama, peta distribusi, dan catatan jalur logistik dari lima tahun terakhir.

Lilin di meja hampir habis. Tapi matanya tetap awas, tak ingin melewatkan satu pun celah.

Bastian baru saja kembali dari ruang bawah tanah, membawa laporan dari penggeledahan mendalam atas kantor Lord Vernath.

“Yang Mulia,” ujar Bastian, meletakkan satu map tua di meja. “Kami menemukan ini di laci tersembunyi. Tidak dicatat dalam arsip resmi istana.”

Maxime membukanya perlahan. Kertas di dalamnya tampak kuno, berdebu, dan ditulis dengan tulisan tangan yang terburu-buru.

Catatan Jalur Khusus – Distribusi Wilayah Timur

Tujuan: Rousanne, Elvenich, Farrawind

Metode: Non-kuda, pengangkutan manual

Distribusi via Titik Bayangan No. 3

Ttd: H.C.

Maxime menyipitkan mata. Inisial H.C.—begitu samar, begitu familiar. Ia mengambil kertas lain, membandingkan. Jalur bayangan itu bukan bagian dari sistem resmi logistik kerajaan.

“Bastian,” katanya perlahan. “Temukan siapa saja yang memiliki inisial H.C. dan pernah terlibat dalam pemerintahan distrik Belvoir.”

Beberapa saat kemudian, Bastian kembali dengan wajah menegang.

“H.C. – hanya satu nama yang cocok dalam daftar pengawas regional… tapi ia sudah dinyatakan hilang lebih dari tujuh tahun lalu, setelah pemberontakan di Belvoir.”

Maxime berdiri.

“Siapa namanya?”

Bastian menatap lurus.

“Lord Haldegar Cendervale.”

Hening. Hanya suara api yang berderak di perapian.

Maxime menatap kembali catatan itu. Kini semuanya masuk akal.

“Tak ada yang benar-benar mati… di dunia orang-orang yang menyimpan dendam,” gumamnya.

Ia berjalan ke rak besi dan menarik keluar satu buku besar yang penuh dengan catatan pemberontakan lama. Di dalamnya, potret kabur Haldegar terselip di antara laporan pergerakan senjata gelap dan eksperimen medis.

“Apa mungkin… dia yang mengatur semua ini dari balik bayangan?”

Ia menoleh pada Bastian.

“Mulai malam ini, awasi semua pergerakan yang berkaitan dengan bahan medis—terutama yang keluar masuk Rousanne.”

Maxime kemudian menatap ke arah peta besar kerajaan yang tergantung di dinding.

Matanya terhenti di satu titik kecil… Desa Rousanne.

“Jika Haldegar benar-benar hidup… maka Vivienne sedang berada tepat di tengah papan permainan pria itu.”

——

Langit Rousanne tampak redup, seolah matahari pun enggan bersinar penuh hari itu. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, menyelimuti desa dengan bayangan kelabu. Udara terasa berat—seperti firasat yang tertahan di dada.

Vanessa melangkah cepat menuju rumah Morla setelah seorang anak kecil datang tergopoh-gopoh, napasnya terengah dan wajahnya pucat, mengabarkan bahwa ibunya tengah mengalami kejang-kejang hebat.

Pintu kayu rumah itu dibuka paksa. Deritnya menggema di antara keheningan.

Vanessa langsung menjatuhkan diri berlutut di sisi ranjang tempat Morla terbujur. Tubuh wanita tua itu menggigil tak terkendali, punggungnya melengkung, dan napasnya terdengar seperti desahan kasar yang tercabik-cabik. Bibirnya membiru, kulitnya pucat kebiruan. Keringat dingin mengalir deras dari pelipis dan dahinya.

“Morla…” bisik Vanessa, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar hebat.

Ia meraih tangan Morla, meraba pergelangan dengan ujung jari. Denyut nadi terasa lemah dan tidak teratur.

Tachycardia… kemungkinan gangguan sistem saraf… atau toksin.

Ia menelusuri lengan wanita itu dengan telapak tangan, mencari kemungkinan memar, luka baru, atau reaksi alergi. Lalu ia menyentuh dahi Morla, memeriksa suhu tubuh. Panas—tapi bukan demam biasa. Ini bukan gejala dari penyakit yang sebelumnya ia tangani.

“Ada yang salah…” gumamnya.

Tangan kirinya berpindah ke area dada, menghitung ritme napas. Terlalu cepat. Terlalu dangkal.

Ia memeriksa pupil mata Morla dengan menyibakkan kelopak matanya—tampak melebar tak merespons cahaya. Ini… bukan kelanjutan dari proses penyembuhan. Ada sesuatu yang baru.

Sesuatu yang tidak seharusnya ada di tubuh Morla.

Vanessa menggigit bibir bawahnya, lalu menoleh cepat ke arah jendela.

“Alana!” teriaknya. “Lucien!”

Langkah kaki terdengar tergesa di luar rumah. Dalam hitungan detik, pintu terbuka lebar. Tabib Alana dan Lucien masuk hampir bersamaan, disusul oleh beberapa warga yang penasaran dan cemas. Di antara mereka, Elric menyelinap ke dalam, wajahnya tegang.

“Ada apa, Yang mulia?!” tanya Tabib Alana cepat, matanya langsung tertuju pada Morla yang kini tubuhnya menggeliat lemah dengan napas tersengal.

Lucien segera menghampiri Vanessa. “Apa yang terjadi?”

Vanessa tak menjawab langsung. Matanya justru mengarah pada mangkuk tanah liat di atas nakas. Ramuan itu—yang seharusnya ia berikan sendiri pagi ini—sudah habis. Dan dari sisa cairan yang menempel di dinding mangkuk, tercium aroma tajam yang menusuk inderanya.

Aroma yang tidak ia kenal. Tapi sangat tidak asing bagi penciumannya sebagai seorang dokter.

Vanessa mengambil mangkuk itu, mengangkatnya pelan ke bawah hidungnya. Ia menghirup aromanya hati-hati.

Mendadak matanya menyipit.

“Aneh…” gumamnya. “Ramuan ini… baunya menyengat. Seperti… jamur busuk dicampur logam.”

Ia menoleh cepat pada Tabib Alana yang kini tengah memeriksa denyut nadi Morla.

“Tabib Alana, apakah kau tahu aroma ini?” Vanessa menyodorkan mangkuk itu.

Tabib Alana mengerutkan dahi, lalu menerima mangkuk itu dan menghirup pelan.

Seketika wajah wanita itu menegang. Bola matanya membulat, dan ia langsung menoleh pada Vanessa.

“Ini… tidak mungkin…”

“Ada apa?” tanya Vanessa cepat.

“Ini racun. Racun lambat yang dikenal dari wilayah utara—Serpentis Murien. Biasanya digunakan dalam dosis kecil untuk membuat tubuh lumpuh secara perlahan. Tak berwarna, tapi aromanya… khas.”

Bisik-bisik warga mulai terdengar. Beberapa menatap Morla dengan ngeri, seolah racun itu bisa menyebar hanya dari napasnya.

“Elric,” ujar Vanessa, menatap pria tua itu tajam. “Siapa saja yang punya akses masuk ke rumah ini?”

Elric menggeleng cepat. “Hanya beberapa tetangga dekat yang membantu bergantian, Yang Mulia. Tapi semalam… aku tidak melihat siapa pun masuk.”

Vanessa memalingkan wajah, matanya menajam. Hatinya mencelos. Ini bukan kecelakaan.

Ada yang mencoba membunuh Morla.

Dan kemungkinan besar—pesannya ditujukan untuk dirinya.

“Yang Mulia… saat tengah malam kemarin, saya sempat melihat seseorang datang ke rumah Nyonya Morla,” ujar Tabib Alana pelan, suaranya mengandung keraguan.

Vanessa langsung menoleh. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”

Tabib Alana menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Karena… orang itu mengatakan bahwa ia diutus oleh Anda sendiri untuk membersihkan ruangan. Ia tampak tenang, dan berbicara dengan sopan. Saya memang sempat curiga, tapi… saya memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu.”

Ia menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara lebih lirih, “Saya khawatir akan menuduh orang yang tak bersalah… dan sekarang saya menyadari kesalahan saya. Maafkan saya, Yang Mulia.”

Vanessa terdiam sesaat. Matanya menatap ke arah ranjang tempat Morla terbaring sekarat.

“Seseorang menyusup, dan kita membiarkannya begitu saja…” gumamnya. Suaranya tak meninggi, tapi cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu terdiam.

Ia mengangkat pandangannya kembali, kali ini pada Lucien.

“Cari tahu siapa dia. Periksa semua orang baru yang datang ke desa ini dalam dua hari terakhir. Siapkan penjagaan di rumah Morla dan pastikan tak ada satu pun yang bisa masuk tanpa sepengetahuan kita.”

Lucien mengangguk tegas. “Akan saya laksanakan sekarang juga.”

Vanessa mengembuskan napas panjang. Di balik ketenangannya, amarah mulai berpendar pelan—bukan hanya karena ancaman terhadap nyawa Morla, tapi karena seseorang sedang bermain api… dengan nyawa rakyat, dan harga diri seorang ratu.

Sementara itu, di luar rumah Morla, langit Rousanne menggelayut kelabu. Angin membawa bisikan-bisikan yang menyelinap di antara celah bangunan tua dan lorong-lorong sempit.

Sekelompok warga yang berkumpul tak jauh dari rumah itu. Mereka mulai berbicara pelan, tapi cukup jelas bagi siapa pun yang lewat untuk menangkap nada gugup dan curiga yang menyelimuti kata-kata mereka.

“Ramuan itu… bukankah katanya menyembuhkan?” bisik seorang perempuan paruh baya, wajahnya pucat dan lelah. “Tapi lihat apa yang terjadi. Nyonya Morla hampir mati pagi ini!”

“Katanya dia ratu… penyelamat…” sahut pria bertubuh kurus, melipat tangan di dada. “Tapi sekarang? Bukannya sembuh, malah nyaris membunuh orang yang paling tua dan bijak di desa ini.”

“Bagaimana kalau kita semua dijadikan kelinci percobaan?” suara lain menimpali, disertai desahan ketakutan dari yang lain. “Siapa tahu… ini hanya permainan bangsawan untuk menyingkirkan kita perlahan…”

“Cukup!”

Suara lantang itu memotong seluruh percakapan. Tuan Elric telah berdiri di tengah kerumunan, wajahnya mengeras. Matanya menatap tajam satu per satu warga yang hadir, membuat beberapa di antaranya langsung menunduk.

“Apa kalian semua sudah lupa siapa yang pertama kali datang saat desa ini ditinggalkan? Saat tak satu pun dari dewan atau bangsawan kerajaan peduli, siapa yang berjalan melewati lumpur dan bau busuk untuk menyentuh tangan kalian satu per satu?”

Semua terdiam.

“Tuan Elric…” seorang warga mencoba berbicara, namun pria tua itu mengangkat tangannya, menghentikan kalimat itu.

“Aku tahu kalian takut. Aku pun takut. Tapi bukan ini caranya. Jangan hancurkan harapan yang baru saja kita bangun dengan ketakutan yang belum terbukti. Yang Mulia datang kemari bukan dengan pasukan, bukan dengan senjata, tapi dengan obat dan niat baik. Jangan nodai itu dengan bisikan jahat.”

Ia menatap mereka dalam-dalam, suaranya menurun, namun tak kehilangan wibawa.

“Pulanglah. Jaga keluarga kalian. Doakan Nyonya Morla agar kuat. Dan biarkan kami menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang ada yang salah, kita akan hadapi bersama. Tapi bukan dengan fitnah.”

Perlahan, kerumunan mulai bubar. Bisikan-bisikan berubah jadi keheningan yang tegang, menyisakan Elric yang berdiri diam… menatap rumah Morla dengan kekhawatiran dalam hatinya.

Karena di balik ketegasannya… ia pun mulai bertanya-tanya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dan siapa yang diam-diam mengincar kehancuran ratu mereka?

1
Ester Natalia
ok tetap semangat ratu
Vlink Bataragunadi 👑
sakit hati bgttt jadi Vivi/Sob/
Ita Xiaomi
Jd sedih😢
Wiliam Zero
Novelnya bagus 👍
Ita Xiaomi
Seandainya Theo tau klo Vivienne telah tiada.
Suryani Tohir
up
Ita Xiaomi
Hati-hati patah loh batang gelasnya😁.
Dewi hartika
thor jangan sampai kaisar terjatuh perangkap helena,moga ada yang menggambarkan kepada Vanessa bahwa raja tidak baik-baik saja,agar cepat di obati,panessa cepat di hukum lanjut thor semangat...
Qori Hasan
waduh.. ngeri ngeri sedap.. smoga... catatan smua tetsimpan di otak saja
Suryani Tohir
next
Suryani Tohir
up
Era Simatupang
ayo thor buat Maxim cemburu guling2 , loncat2 sampai bengek
nacho hong
cinta luar bisa
Era Simatupang
AQ sulit mencerna nya " peluang datang dari kebodohan"
nacho hong
ok
Ivo shaka
alurnya menarik dan membuat penasaran, sehingga tidak bisa berhenti membaca.
luar biasa
neen
ih gemes sama selene.. semoga max dan vivi bisa menghadapi bersama
Siti Amalia
kerennnnnnn bangettt novelnya thorrr....up yg banyak thor semoga happy ending
MiaCoxk
Menarik.. penuh intrik.
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️
syh 03
ceritanya bagus apa lg cara nulisnya dan kata2nya halus banget..enak di cerna 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!