The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelombang Yang Tak Terlihat
“Aku yakin itu sihir Van Rijk,” bisik Yuni sambil tetap menatap layar holografik yang menunjukkan rekaman beberapa menit lalu—sosok samar seperti monolit hitam yang muncul di kejauhan, lalu perlahan memudar ke dalam kegelapan laut.
Dira mengangguk kecil. “Tapi yang penting sekarang, objek itu menghilang.”
Tak ada yang menyela. Ketegangan yang sempat menghantui ruang navigasi perlahan larut, berganti dengan keheningan. Meskipun pertanyaan tentang siapa—atau apa—yang barusan muncul belum terjawab, satu hal jelas: mereka belum benar-benar sendiri di samudera ini.
Jam demi jam berlalu. FX Vault Tank 805 meluncur mulus dalam mode Phantom. Cahaya biru dari lampu-lampu senyap di sisi kapal menerangi jalan di kedalaman Samudera Hindia. Tidak ada sinyal satelit, tidak ada suara komunikasi dari dunia luar. Hanya bunyi lembut mesin dan dengung air yang melintas di luar kapal.
Dan lalu, seperti adegan yang terlalu indah untuk dipercaya, mereka sampai di area laut dalam yang begitu jernih dan penuh kehidupan. Kubah kaca 360 derajat di ruang observasi menyajikan pemandangan luar biasa: ubur-ubur bercahaya melayang seperti bintang, segerombolan ikan pari besar yang berenang anggun, dan sekilas bayangan hiu raksasa yang lewat tanpa menoleh.
“Wih... kayak nonton film dokumenter, tapi langsung di tengah-tengahnya,” ujar Noval dengan mulut sedikit terbuka, tak sadar kalau dia sedang memegang keripik tapi tidak dimakan.
Rendi menatap keluar dengan tenang. “Ini... damai banget, ya. Aneh. Mengingat kita bisa mati kapan aja.”
Intan hanya menghela napas. “Ngomong-ngomong soal mati, jangan terlalu nyaman dulu. Kita belum sampai.”
Rivani duduk di salah satu kursi pojok sambil memeluk tablet penuh data. Dia tidak melihat ke luar, lebih sibuk memperhatikan grafik tekanan air. “Kapal ini luar biasa. Stabil banget meski tekanan udah makin tinggi.”
Yuni berjalan perlahan ke tengah ruangan, berdiri dekat Dira dan Bagas. “Gimana pun... tempat ini indah. Tapi juga bikin takut. Kaya... terlalu tenang.”
Bagas yang sedari tadi diam, akhirnya bicara. “Kadang, tenang itu tanda sebelum badai.”
Dan seolah semesta mendengar, kapal tiba-tiba bergetar halus.
“Uh... barusan apa?” tanya Noval, sedikit panik.
“Bukan kita yang nabrak apa-apa,” sahut Rendi, cepat memeriksa panel sensor getaran.
Dira langsung bergerak ke ruang utama kontrol. “Arka, deteksi anomali di sekeliling kapal.”
Suara Robit AI Arka menjawab cepat dari speaker:
“Gelombang air dalam radius 3.2 kilometer meningkat. Deteksi awal menunjukkan perubahan tekanan atmosferik signifikan. Kemungkinan besar badai akan terbentuk dalam dua menit.”
“Naik ke permukaan?” tanya Rivani.
“Gak bisa,” jawab Dira cepat. “Kita lagi di bawah front badai. Kalau kita naik sekarang, kita bisa hancur di tengah ombak.”
Lampu di dalam kapal berubah dari putih ke merah muda redup. Mode siaga darurat aktif otomatis. Di luar, air mulai bergejolak. Gelombang besar di permukaan mengguncang dasar laut hingga efeknya terasa sampai ke dalam.
Petir menyambar di kejauhan. Kilatan cahayanya sampai ke kedalaman, menerangi bentuk-bentuk aneh di kejauhan yang tak bisa diidentifikasi.
BOOM.
Kapal terguncang keras. Intan terpental ke samping, untungnya sabuk pengaman kursi masih terpasang.
“Arka! Stabilkan navigasi!” seru Bagas.
“Menyesuaikan sistem kemudi. Menstabilkan sumbu rotasi. Mohon bertahan.”
Noval berpegangan erat pada pilar di tengah ruangan. “Gila... ini badai jenis apa sih?! Sampe ke dasar laut getarannya.”
Yuni memejamkan mata sejenak, seperti mencoba merasa. “Enggak cuma badai, deh... aku rasa ini ada sesuatu lagi.”
Bagas menoleh padanya. “Kau pikir sihir?”
“Bisa jadi... atau mungkin pertahanan alami wilayah ini. Kita makin dekat Antartika. Mungkin ini zona terlarang—secara metafisik.”
Rendi membuka layar lain, memperlihatkan koordinat terbaru. “Kita udah nyaris setengah jalan. Tapi kalau kita terus maksa dalam kondisi begini, sistem kemudi bisa rusak.”
“Enggak ada pilihan,” jawab Dira mantap. “Kita harus terus. Kalau kita balik sekarang, semua ini sia-sia.”
Petir kembali menyambar. Kali ini lebih dekat. Cahaya menyilaukan masuk ke ruangan observasi, diikuti bunyi dentuman yang terasa sampai ke tulang.
Tiba-tiba, sesuatu melintas cepat di luar kaca. Terlalu cepat untuk dikenali.
“M-Momen... barusan—“ suara Noval tercekat.
Dira menatap ke luar. Tidak ada apa-apa. Tapi firasatnya buruk.
“Arka, ada objek yang mendekat?”
“Negatif. Tidak ada objek terdeteksi dalam radius 500 meter.”
Yuni berbisik. “Kalau itu sihir... tentu nggak bakal ke-detect sama teknologi biasa.”
Mereka semua terdiam. Detak jantung seolah terdengar di udara.
Dan tepat saat itu... suara nyaring menggelegar dari lambung kapal.
DENGG!
Sesuatu menghantam mereka dari bawah.
Alarm berbunyi.
“Kerusakan ringan di lapisan bawah kapal. Tidak kritis. Sistem masih stabil.”
Rivani menatap ke layar tekanan. “Ada sesuatu di bawah kita.”
“Intan, aktifkan sonar manual,” perintah Bagas.
Sonar menyala... dan yang muncul di layar adalah bentuk aneh. Terlalu besar untuk ikan, terlalu cepat untuk kapal selam biasa.
Rendi bergumam pelan, “Itu bukan kapal, bukan binatang... terus apa?”
Sebuah simbol muncul samar di layar—melengkung seperti sayap, dan ada bentuk seperti mata di tengahnya.
Noval perlahan duduk di lantai. “Guys... aku pernah lihat itu. Di salah satu catatan yang aku kumpulin.”
Mereka semua menatapnya.
“Itu... simbol dari Zwarte Sol.”
Bersambung....