NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Paris, aku datang

Pesawat perlahan lepas landas, menembus awan menuju langit Eropa yang jauh.

Aira duduk di dekat jendela, mengenakan selimut tipis, sementara Abraham duduk di sampingnya, membuka novel yang sejak tadi belum sempat dibaca.

Beberapa menit setelah tanda sabuk pengaman dipadamkan, Aira menoleh ke Abraham dan berbisik pelan, “Aku ingin es jeruk.”

Abraham langsung menepuk jidatnya dengan ekspresi drama.

“Kenapa nggak bilang tadi waktu masih di lounge, ya Tuhan...” Lalu, dengan sigap dan sedikit tergesa, ia menekan tombol pemanggil pramugari.

Tak lama kemudian, pramugari datang dengan senyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Abraham menoleh ke Aira lalu berkata, “Pak—eh, teman duduk saya ini pengin es jeruk. Bisa dibantu?”

Pramugari tersenyum dan mengangguk. “Tentu, sebentar ya.”

Begitu pramugari pergi, Aira mencubit lengan Abraham pelan. “Pak—eh? Maksudnya apa?”

Abraham pura-pura tidak tahu. “Tadi aku bilang ‘penumpang’, kamu aja yang salah dengar.”

Aira mendesah, tapi tak bisa menahan senyum geli di wajahnya.

Beberapa saat kemudian, pramugari datang membawa gelas berisi es jeruk. Aira menerimanya dengan senang, lalu menyeruput pelan.

“Enak?” tanya Abraham sambil melirik.

Aira mengangguk. “Seger.”

Abraham kembali menyender ke kursinya, matanya memejam sejenak. “Kalau kamu senang, aku juga tenang.”

Di antara cahaya lampu kabin yang remang-remang, suara mesin pesawat, dan percakapan pelan, suasana terasa hangat.

Tak ada keributan, tak ada bayang-bayang masa lalu hanya dua hati yang sedang menempuh perjalanan panjang, bersama-sama.

Aira membuka matanya perlahan. Nuansa cahaya dari jendela pesawat berubah, lebih hangat dan cerah.

Ia menoleh dan melihat Abraham masih duduk di sebelahnya, menatap keluar sambil tersenyum tenang.

“Udah sampai?” gumam Aira dengan suara serak bangun tidur.

Abraham menoleh, matanya lembut. “Selamat datang di Paris, Nona Aira.”

Aira mengusap wajahnya, lalu baru menyadari sesuatu yang mengganggunya sejak awal.

Ia menoleh ke sekeliling kabin semuanya hening. Tak ada penumpang lain, bahkan sejak dari awal penerbangan.

“Pak Abraham... kenapa dari tadi cuma kita berdua di pesawat ini?” tanyanya curiga.

Abraham hanya menghela napas pelan dan menjawab sambil memasang wajah malas menanggapi,

“Udah jalan saja, jangan banyak bicara.”

Aira mengerutkan dahi, tapi kemudian tertawa kecil.

“Bapak menyewa satu pesawat buat berdua?”

Abraham tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk pelan saat pramugara membukakan pintu pesawat.

Beberapa saat kemudian, mereka menuruni tangga pesawat dan menginjak landasan di Bandara Le Bourget, bukan bandara komersial biasa.

Udara Paris menyambut mereka dengan aroma khas musim semi dan semilir angin yang sejuk.

Aira berdiri diam sejenak, memandangi kota yang selalu ia impikan.

“Jadi ini... Paris?” ucapnya pelan.

Abraham berjalan di sampingnya, menyelipkan tangan ke saku.

“Tempat yang katanya cuma kamu impikan dari buku dan film. Sekarang, kamu lihat sendiri.”

Aira tersenyum. “Terima kasih, Pak Abraham.”

“Perjalanan baru dimulai. Dan aku akan pastikan kamu menikmati setiap detiknya,” jawab Abraham sambil meliriknya hangat.

Mobil hitam elegan menjemput mereka di bandara dan membawa Aira serta Abraham ke sebuah hotel butik mewah yang terletak tak jauh dari Menara Eiffel.

Hotel itu tidak terlalu besar, tapi sangat artistik dengan dinding marmer putih dan sentuhan klasik, aroma bunga lavender menyambut di lobi, dan staf hotel yang langsung menyapa dengan ramah.

Begitu masuk kamar, Aira langsung terpukau. Jendela besar menghadap ke taman kecil, dan cahaya matahari menari di atas ranjang berlapis linen lembut.

“Hotel ini... cantik banget,” ucap Aira sambil menyentuh tirai.

Abraham meletakkan koper mereka dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan.

“Aku tahu kamu suka tempat yang tenang dan elegan. Ini cocok, kan?”

Aira menoleh dan tersenyum. “Pak Abraham selalu tahu, ya.”

Setelah istirahat sejenak dan mengganti pakaian, Abraham berdiri sambil merentangkan tangan.

“Ayo. Kita cari makan siang.”

“Di sekitar sini?” tanya Aira.

Abraham mengangguk. “Aku tahu satu tempat kecil, nggak jauh dari sini. Katanya croissant-nya paling enak di seluruh Paris.”

Aira tertawa kecil. “Bapak serius ngajak aku makan croissant buat makan siang?”

“Di Paris, croissant itu bisa makan utama,” jawab Abraham dengan gaya bercanda yang khas.

Mereka berjalan menyusuri trotoar batu khas Eropa, melewati deretan toko buku tua, kafe mungil, dan musisi jalanan yang memainkan biola.

Aira merasa seperti masuk ke dunia yang hanya ada di mimpinya tapi kali ini Abraham ada di sana bersamanya.

Kafe kecil di sudut jalan itu tampak hangat dan ramai.

Meja kayu bundar di teras, aroma kopi pekat dan roti panggang memenuhi udara.

Abraham dan Aira duduk berhadapan, menikmati hidangan sederhana tapi penuh cita rasa—quiche hangat, salad segar, dan segelas jus jeruk untuk Aira.

“Paris ini kayak... lukisan hidup,” gumam Aira sambil menatap jalanan yang sibuk tapi terasa damai.

Abraham menyendok kuenya sambil tersenyum.

“Kamu cocok di sini. Tenang, tapi punya rasa ingin tahu yang tinggi.”

Aira tertawa kecil. “Itu pujian atau sindiran halus?”

“Sesuai interpretasi,” jawab Abraham santai, membuat Aira mencibir pelan sambil tersenyum.

Namun, tiba-tiba sekelompok wanita muda berjalan melewati kafe.

Salah satu dari mereka, mengenakan gaun merah mencolok, melambaikan tangan ke arah Abraham dengan percaya diri. Ia melangkah mendekat tanpa ragu.

“Bonjour, Monsieur,” ucapnya manja.

“Apakah aku boleh berkenalan?”

Abraham meletakkan garpunya, menatap wanita itu dengan tenang namun tegas.

“Apakah kamu tidak melihat aku sedang mengobrol dengan istriku?”

Aira spontan membelalakkan mata. “Istri...?”

Wanita itu terdiam sejenak, tampak malu, lalu cepat-cepat meminta maaf sebelum pergi bersama teman-temannya yang menahan tawa kikuk.

Aira menatap Abraham, bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin bertanya sesuatu—tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Abraham hanya mengambil kembali garpunya dan melanjutkan makannya dengan santai. “Kenapa? Mukamu kayak baru lihat hantu.”

“Bapak bilang... istri?” tanya Aira pelan, agak bingung.

Abraham tersenyum tipis, lalu menatap mata Aira dengan tenang.

“Kamu keberatan?”

Aira tak menjawab. Pipi merah, dada hangat, tapi senyum tak bisa ia sembunyikan. Ia hanya menggeleng perlahan, lalu kembali menyuap saladnya tanpa menatap Abraham langsung.

“Dasar gila,” gumamnya pelan.

“Tapi kamu suka,” jawab Abraham sambil terkekeh pelan.

Setelah makan siang, Abraham dan Aira melanjutkan jalan-jalan mereka.

Mereka mengunjungi museum kecil yang tenang, lalu duduk di taman kota sambil menikmati es krim.

Langit Paris perlahan berubah warna, semburat jingga keemasan menghiasi cakrawala saat matahari mulai tenggelam.

Aira tampak bahagia. Senyumnya ringan, matanya berbinar.

Di setiap langkah yang mereka ambil, suasana terasa akrab dan nyaman seperti dua jiwa yang sudah lama saling mengenal.

Saat malam tiba, Abraham membawa Aira kembali ke hotel, namun ia tidak langsung naik ke kamar.

“Aku minta kamu tunggu sebentar di lobi, ya,” kata Abraham misterius.

“Kenapa? Bapak nggak bawa kejutan aneh lagi, kan?” Aira mencibir ringan.

Abraham hanya tersenyum dan melangkah naik ke atas.

Tak lama kemudian, salah satu staf hotel menghampiri Aira dan dengan sopan memintanya ikut naik ke rooftop.

Sesampainya di sana, mata Aira membelalak.

Meja bundar dengan taplak putih dan lilin menyala, kelopak mawar tersebar rapi, dan pemandangan Menara Eiffel yang berkilau di kejauhan menjadi latar sempurna.

Abraham berdiri di ujung meja, mengenakan jas hitam elegan, tampak berbeda dari biasanya lebih tenang, lebih hangat.

“Selamat malam,” katanya, menarik kursi untuk Aira.

Aira masih terdiam, matanya berkaca-kaca tanpa sadar.

“Kamu suka?” tanya Abraham pelan.

“Ini... terlalu indah,” jawab Aira lirih.

“Liburan ini bukan hanya tentang jalan-jalan. Tapi tentang kita,” ucap Abraham sambil menuangkan wine ke dalam gelas Aira (yang ternyata hanya air anggur tanpa alkohol).

Mereka makan malam di bawah langit Paris yang gelap, dihiasi cahaya bintang dan suara musik lembut dari kejauhan.

Tidak banyak kata, hanya tawa kecil, tatapan yang saling memahami, dan perasaan yang perlahan tumbuh semakin dalam.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!