Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Malam telah larut. Jam dinding di sudut kamar menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit, namun Viola masih terjaga. Matanya yang sembab menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikirannya terus dihantui bayang-bayang masa lalu yang enggan pudar. Seperti pita kaset tua yang terus memutar lagu usang, kenangan itu kembali menyayat hatinya.
Ia menghela napas panjang, menoleh ke sisi ranjang yang ditempati Arga—suaminya. Lelaki itu tengah tertidur pulas, wajahnya tenang dan damai, seolah dunia baik-baik saja. Tapi tidak dengan Viola. Hatinya bergejolak.
“Kenapa harus susah percaya lagi?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Viola menutup matanya sejenak, mencoba menghalau ingatan yang datang satu per satu tanpa diundang.
Dulu, dia pernah mencintai. Bukan sekali dua kali. Tapi setiap cinta yang ditanam selalu tumbuh dengan akar pengkhianatan. Para pria yang datang ke hidupnya selalu menyukai citranya—seorang wanita mandiri, cerdas, dan berbakat. Tapi tak ada yang benar-benar mencintai dirinya seutuhnya.
Mereka mendekat hanya untuk memanfaatkan. Setiap makan malam, Viola yang membayar. Setiap ulang tahun mereka, Viola yang memberi hadiah mahal. Pernah, seorang kekasihnya dengan enteng meminta jam tangan seharga jutaan. Lain waktu, sepatu edisi terbatas. Dan dia, yang kala itu masih meyakini cinta, menuruti tanpa banyak tanya.
Hingga akhirnya ia sadar, dirinya telah dijadikan ATM berjalan.
Dan sejak saat itu, hatinya tertutup rapat. Ia menaruh curiga pada setiap pria yang mencoba mendekat. Ia tidak butuh cinta yang palsu lagi.
Termasuk pada Arga. Meskipun lelaki itu telah resmi menjadi suaminya, Viola masih belum sepenuhnya membuka hati. Arga telah berusaha keras menunjukkan ketulusan, tapi luka-luka lama masih terlalu dalam untuk diobati hanya dengan perhatian sesaat.
“Aku... aku takut, Ga,” bisiknya. “Takut kamu sama seperti mereka.”
“Aku butuh waktu...” ucapnya lirih.
Viola memejamkan matanya dengan gamang. Dalam gelap yang tercipta di balik pelupuknya, ia tak menemukan ketenangan, hanya hening yang penuh tanda tanya. Entah sampai kapan pintu hatinya akan terbuka, entah sampai kapan dirinya akan benar-benar percaya bahwa cinta itu tidak selalu berarti luka.
Hatinya telah seperti gerbang tua yang berderit, dipenuhi karat dari masa lalu. Butuh waktu, butuh keberanian, dan mungkin—butuh seseorang yang tak sekadar mengetuk, tapi bersedia menunggu di depan pintu, meski hujan dan badai datang bergantian.
Dan semua itu, tergantung pada Arga.
Pada seberapa besar usahanya untuk membuktikan bahwa tidak semua laki-laki datang hanya untuk mengambil. Pada seberapa kuat tekadnya untuk bertahan, meski ditolak, meski dicurigai, meski disakiti oleh luka yang bukan dia yang ciptakan.
Jika Arga mampu bersabar, mampu menggenggam tanpa mengekang, memeluk tanpa menuntut, mungkin... suatu hari nanti, Viola akan membuka pintu itu. Bukan karena paksaan, bukan karena keharusan. Tapi karena percaya—bahwa kali ini, ia tidak akan dikhianati lagi.
Untuk saat ini, Viola hanya bisa diam dalam pelukan malam. Tapi di dalam diam itu, sebuah harapan kecil mulai tumbuh. Rapuh, memang. Tapi tetap hidup.
**
**
Sementara itu, di kamar yang berbeda, Arga pun masih terjaga. Cahaya temaram dari lampu tidur menyinari sebagian wajahnya yang tampak murung. Ia berbaring menatap langit-langit, napasnya tertahan dalam jeda-jeda cemas yang tak berkesudahan.
Ia belum bisa memejamkan mata.
Pikirannya melayang ke beberapa bulan lalu—sebuah titik awal dari semuanya. Saat itu, ia sedang mengantar Celine, rekan kerja sekaligus sahabat lamanya, ke sebuah butik besar yang cukup ternama di kota ini. Biasa saja awalnya, hanya menemani, hanya menunggu di sudut butik sambil menatap ponselnya tanpa benar-benar fokus.
Namun semuanya berubah saat seorang wanita berjalan keluar dari ruang belakang butik, membawa setumpuk kain dengan penuh keanggunan dan wibawa.
Viola.
Saat pertama kali melihatnya, Arga merasa seperti dunia berhenti sejenak. Bukan karena wajahnya semata—meski Viola memang memiliki paras menawan—melainkan karena aura yang menyelimuti dirinya. Ada ketegasan dalam gerak-geriknya, ada keanggunan yang lahir dari kecerdasan, bukan sekadar penampilan. Di balik sorot matanya yang tajam, Arga menangkap sebuah luka yang dalam. Dan entah kenapa, itu justru yang membuatnya tertarik.
Sejak saat itu, Viola menghuni pikirannya.
Arga mulai mencari tahu. Siapa dia. Apa yang dia lakukan. Apa yang dia sukai. Hingga pada akhirnya, ia tahu bahwa wanita itu telah terlalu sering dikecewakan. Terlalu sering dijadikan sasaran ambisi lelaki yang hanya tertarik pada kilau keberhasilannya, bukan dirinya.
Tapi Arga berbeda. Ia tidak datang untuk mengambil.
Ia datang untuk menetap.
Dan dengan segala keberanian yang dikumpulkannya, Arga membuat keputusan gila—melamar Viola. Tanpa sepengetahuannya. Tanpa pacaran. Tanpa pendekatan panjang yang biasanya diperlukan untuk menyentuh hati wanita sepertinya.
“Kalau aku tunggu dia membuka pintu, mungkin pintu itu tak akan pernah terbuka,” gumamnya lirih malam itu. “Tapi kalau aku mengetuk dan menunggu, setidaknya dia tahu aku di sini.”
Kini, setelah sah menjadi suami istri, Arga menyadari bahwa perjuangannya baru dimulai. Menikah bukan berarti mencuri hatinya sepenuhnya. Viola masih menyimpan luka yang tak bisa dihapus hanya dengan cincin di jari manis.
Namun, Arga tak akan mundur.
Ia akan tetap bertahan. Karena cinta sejatinya bukan tentang siapa yang pertama kali membuat jantung berdegup, tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya terasa berat.
Dan malam itu, meskipun terpisah dinding, mereka berdua sama-sama belum bisa tidur—masing-masing terjebak dalam keraguan dan harapan yang diam-diam tumbuh di antara luka.
Arga tersenyum miring, seolah menertawakan betapa gilanya perasaan yang tumbuh di dalam dadanya. Tapi senyum itu bukan cerminan putus asa—melainkan tekad yang mengeras. Di tengah sepi malam, ia bergumam pelan, nyaris seperti janji yang ia ucapkan hanya untuk dirinya sendiri.
“Aku akan terus berusaha... sampai hati itu benar-benar jadi milikku.”
Ia tahu, mencintai Viola bukan perkara mudah. Ia bukan wanita yang bisa luluh hanya dengan rayuan manis atau hadiah mahal. Viola telah membangun tembok setinggi langit untuk melindungi dirinya, dan Arga tahu, setiap batu di tembok itu terbentuk dari kekecewaan masa lalu.
Tapi ia tak gentar.
“Aku nggak akan menyerah. Nggak hari ini, nggak besok. Bahkan kalau butuh waktu bertahun-tahun pun, aku akan tetap di sini.”
Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar, namun pikirannya telah melampaui malam. Ia membayangkan hari di mana Viola akhirnya menatapnya tanpa ragu, hari di mana pelukannya tak lagi ditahan, hari di mana cinta itu tumbuh tanpa beban masa lalu.
Cepat atau lambat, ia yakin.
Viola akan jatuh ke pelukannya—bukan karena terpaksa, bukan karena status, tapi karena cinta itu akhirnya menyentuh hatinya.
Dan saat hari itu tiba, Arga bersumpah, ia akan menjadi rumah bagi wanita yang pernah kehilangan tempat berpulang.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran