Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aksi Nyai Galuh
"Berhenti!" seru nyai Galuh menghentikan aksi mandor yang mencambuk Sarinah, salah satu pekerja yang sejak tadi tidak luput da0ri perhatiannya. Nyai setengah berlari menghampirinya.
"Mandor, apa yang telah dilakukan Sarinah sehingga harus diperlakukan seperti ini?" tanya Nyai Galuh dengan nada tegas, berusaha menahan amarahnya sambil menatap mata mandor yang terlihat tak acuh. "Sudah cukup, ini tidak manusiawi," tambahnya dengan suara yang semakin keras, berharap bisa membuat mandor itu sadar. Ia tidak yakin bisa menentang pria bertopi bundar ini.
Edwin yang berada di dekatnya memperhatikan adegan ini dengan rasa penasaran, dan segera campur tangan. Edwin menegur nyai Galuh, " Sudah cukup Nyai, kamu tidak perlu ikut campur. Lebih baik kamu pulang dan beristirahat di rumah."
"Tidak, Tuan Edwin! Ini bukan urusan saya yang bisa saya abaikan begitu saja. Mereka adalah manusia, bukan hewan yang bisa diperlakukan seenaknya," jawab Nyai Galuh dengan nada yang tegas dan penuh emosi, menolak saran Edwin sambil tetap menatap Sarinah yang masih terisak. "Apa salahnya jika saya ingin membantu mereka?" tambahnya, menantang pandangan Edwin yang mulai terlihat tidak suka.
"Pemerintahan Belanda sedang dalam kekurangan dana yang besar untuk biaya pelatihan perang, maka mereka harus dipaksa untuk bekerja keras, tidak peduli bagaimana caranya," Edwin melanjutkan kalimatnya dengan dingin, seolah-olah tidak ada pilihan lain selain memperlakukan pekerja dengan keras. "Kamu tidak mengerti, Nyai. Ini bukan tentang memperlakukan mereka dengan baik atau buruk, ini tentang kebutuhan," tambahnya, mencoba membenarkan tindakannya. Nyai Galuh semakin tidak setuju dengan alasan ini.
"Saya tetap tidak setuju, Tuan," sahut Nyai Galuh dengan nada yang tajam. "Jika mereka dipaksa bekerja keras tanpa perawatan yang layak, mereka akan sakit dan produktivitas akan menurun. Bukankah lebih baik jika mereka diperlakukan dengan baik agar bisa bekerja lebih efektif dan menghasilkan lebih banyak kopi untuk kebutuhan pemerintahan Anda?" Nyai Galuh mencoba memberikan logika yang masuk akal untuk membela para pekerja, berharap Edwin bisa memahami pandangannya.
Edwin mendengarkan ucapan Nyai Galuh, agaknya ia mulai terlihat ragu sejenak, mempertimbangkan kata-kata Nyai Galuh yang masuk akal. Untuk pertama kalinya, Edwin melihat ada kemungkinan lain dalam mengelola pekerja selain dengan kekerasan. Namun, keputusan apa yang akan diambilnya masih belum jelas. "Apa yang kamu sarankan, Nyai?" tanya Edwin kemudian, suaranya sedikit berbeda, lebih terbuka untuk mendengarkan solusi yang ditawarkan Nyai Galuh.
"Bagaimana jika kita memberikan waktu istirahat yang lebih panjang di siang hari dan menyediakan makanan yang lebih bergizi ?" usul Nyai Galuh dengan antusias. "Dengan begitu, mereka bisa bekerja lebih efektif dan tidak mudah sakit. Ini juga akan meningkatkan produktivitas perkebunan kopi kita," tambahnya kemudian, berharap Edwin bisa setuju dengan usulan ini. Edwin masih mempertimbangkan manfaatnya bagi perkebunan dan pekerja. Ia tidak berkuasa sendiri di kebun ini, ada Van Der Meer yang pasti akan menolak segala perubahan. Jadi, ia harus berkonsultasi terlebih dulu. Tidak bisa memutuskan secara sepihak apa yang disarankan oleh nyai Galuh itu. Edwin akui secara pribadi, Nyai Galuh terlalu berani untuk mengambil sikap secara dia adalah seorang Gundik pilihan.
"Aku akan membahas usulan mu ini dengan mandor Van Der Meer, aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri." Ujar Edwin.
"Baiklah, Tuan. Saya harap Van Der Meer bisa melihat manfaat dari perubahan ini," jawab Nyai Galuh dengan nada yang penuh harapan. "Perubahan kecil ini bisa membuat perbedaan besar bagi kehidupan mereka," tambahnya, berharap Edwin benar-benar akan mempertimbangkan dan mengimplementasikan perubahan yang lebih baik untuk pekerja. Edwin mengangguk, lalu berpaling untuk pergi, meninggalkan Nyai Galuh yang masih memikirkan nasib para pekerja.
Kemudian nyai Galuh menghampiri Sarinah yang masih terisak di tanah, "Sarinah, kamu tidak apa-apa?" tanya Nyai Galuh dengan lembut sambil membantu Sarinah berdiri. "Kamu harus beristirahat dulu, aku akan meminta air dan obat untuk lukamu," tambahnya dengan penuh perhatian, menunjukkan kepedulian yang tulus terhadap Sarinah. Sarinah merasa terharu dengan kebaikan Nyai Galuh.
"Nyai Galuh, te-rima kasih sudah menolongku. Aku tidak menyangka kamu begitu peduli terhadap rakyat miskin sepertiku. " ujar Sarinah, dari jauh Sukri memperhatikan jika istrinya sudah mendapat pertolongan.
"Tidak perlu berterima kasih, Sarinah. Aku hanya tidak bisa diam melihat ketidakadilan di zaman kolonial ini, begitu menyedihkan ternyata melihat secara langsung dibanding dengan belajar ilmu sejarah di waktu SMA." jawab Nyai Galuh dengan senyum lembut. "Aku harap kamu bisa cepat pulih," tambahnya, sambil membimbing Sarinah ke tempat yang lebih nyaman. Sarinah merasa lega dan mulai percaya pada Nyai Galuh. Tapi, ia sedikit bingung dengan apa yang diucapkan barusan 'ilmu sejarah, di waktu SMA'?
.
Matahari pagi yang menyengat itu membuat udara terasa panas dan kering. Cuaca seperti ini akan membuat pekerja perkebunan kopi merasa lelah lebih cepat.
Sarinah sudah beristirahat cukup lama, ia pun melanjutkan bekerja memetik kopi. Nyai Galuh sebelum pergi memastikan Sarinah dalam keadaan baik - baik saja.
Seketika itu Edwin datang dan menawarkan Nyai Galuh untuk pulang. "Hari semakin siang, lebih baik Nyai aku antar pulang."
"Terima kasih, Tuan," kata Nyai Galuh dengan senyum, merasa sedikit lebih nyaman dengan perubahan sikap Edwin. "Saya harap perubahan yang kita bahas tadi bisa segera diimplementasikan," tambahnya, berharap Edwin benar-benar serius tentang perbaikan kondisi pekerja. Edwin mengangguk, lalu mengantar Nyai Galuh sampai depan rumahnya.
Sepulang dari mengantar nyai Galuh, Edwin menyampaikan masukan untuk Van der Meer. Terlihat pria berusia sebaya dengannya itu tengah mencatat. "Tuan Van Der Meer, aku perlu bicara serius denganmu."
Van Der Meer terlihat skeptis saat Edwin bicara menyampaikan usulan dari nyai Galuh tentang usulan perubahan kondisi kerja untuk pekerja di perkebunan kopi. "Apa gunanya memberi mereka waktu istirahat lebih lama dan makanan lebih baik? Bukankah itu hanya akan membuat mereka malas?" tanya Van der Meer dengan nada yang meragukan. "Kita tidak bisa memperlakukan mereka seperti manusia biasa, Edwin. Mereka pekerja, bukan tamu undangan," tambahnya, menunjukkan kekhawatirannya tentang dampak perubahan tersebut terhadap produktivitas dan biaya. Edwin pun meyakinkan Van der Meer lebih lanjut tentang manfaat dari perubahan ini.
"Aku mengerti kekhawatiranmu Van Der Meer, tapi aku sudah mempertimbangkan ini dengan matang. Dengan kondisi kerja yang lebih baik, pekerja akan lebih sehat dan produktif. Ini bisa meningkatkan hasil panen dan mengurangi biaya perawatan kesehatan dalam jangka panjang," jelas Edwin dengan argumen yang rasional. "Nyai Galuh juga punya pandangan yang masuk akal tentang ini," tambahnya, berharap Van der Meer bisa melihat potensi positif dari perubahan tersebut. Van der Meer mempertimbangkan lebih lanjut argumen Edwin sebelum membuat keputusan.