Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Masih Seperti Cenayang
Selama perjalanan menuju Bandung, Anggasta dan Bulan terus berdiskusi tentang materi untuk merebut hati klien nanti. Seperti mengulangi masa SMA di mana mereka sering belajar bersama. Sebenarnya Anggasta melakukan itu karena dia tak ingin Bulan berlarut dalam kesedihan yang tak dia ketahui apa penyebabnya.
Tibanya di Kota kembang mereka langsung menuju tempat di mana meeting itu berlangsung. Anggasta begitu percaya diri. Berbanding terbalik dengan Bulan yang terlihat gugup.
"Yakin pada kemampuan sendiri."
Suara Anggasta membuat Bulan mengalihkan pandangan pada lelaki yang berjalan di sampingnya. Tatapan Anggasta membuat Bulan mengangguk dengan senyum kecil yang terukir.
Bulan begitu terpana pada sosok Anggasta yang sekarang. Kharismanya tak terbantahkan dan publik speaking-nya sungguh luar biasa. Mampu membuat anggota yang ada di rapat tersebut tak mengalihkan mata mereka pada sosok yang sedang berdiri menjelaskan.
Dan gantian sekarang Bulan mulai menjelaskan. Senyum teramat kecil bahkan nyaris tak terlihat terukir. Bulan yang Anggasta kenal tetaplah Bulan yang pintar. Namun,Mereka harus sabar sejenak karena keputusan akan disampaikan esok hari.
"Jangan terlalu dipikirkan," ucap Anggasta sambil menyenderkan belakang kepalanya ke jok mobil. Dia tahu Bulan tengah sedikit ketakutan.
"Anggap aja kita berada di dalam sebuah permainan, di mana akan ada yang menang dan kalah." Berkata dengan mata yang sudah terpejam.
"Tapi, kan kita enggak boleh mengecewakan perusahaan," balas Bulan dengan raut yang masih sama.
"Yang paling penting kita udah berusaha. Hasilnya biar Tuhan yang menentukan."
Bulan tak berbicara lagi. Semua yang Anggasta tak salah. Ditambah wajah Anggasta nampak sangat lelah. Seperti orang yang tidak beristirahat dengan cukup. Sepanjang perjalanan lelaki itu memejamkan mata hingga mobil masuk ke area hotel. Sang sopir pun membangunkan sang direktur yang memang benar terpejam.
"Sudah sampai, Pak."
Bulan mengikuti ke mana langkah sang atasan pergi. Langkah mereka terhenti ketika sudah berada di depan kamar hotel.
"Ini kamar kamu dan di sampingnya kamar saya." Anggasta sudah menyerahkan keycard kepada perempuan itu. Tangan Anggasta dicekal ketika hendak melangkah pergi. Mata mereka berdua pun bertemu.
"Boleh saya minta nomor ponsel Pak Anggasta? Kalau ada apa-apa--" Sebuah kartu nama Anggasta beri. Di sana sudah tercantum nomor telepon Anggasta. Kembali lelaki itu melanjutkan langkah.
"Segera istirahatlah! Nanti malam akan ada acara makan malam dengan mereka lagi." Berkata tanpa menoleh sedikitpun. Dan tubuhnya pun sudah menghilang di balik pintu kamar hotel.
Bulan yang memang masih menyimpan kontak Anggasta yang lama mulai menyamakan nomor ponsel yang ada di kartu nama dengan yang ada di ponselnya. Lelaki itu memang tak berdusta. Nomornya berbeda. Segera disimpannya nomor tersebut.
Seperti terhipnotis, matanya mulai terpejam dan ponselnya pun sudah tertelungkup di atas kasur. Sama halnya dengan Anggasta yang sudah memejamkan mata karena sudah beberapa malam hanya tidur satu sampai dua jam. Menyiapkan dengan sungguh-sungguh materi yang akan disampaikan agar menghasilkan sebuah keberhasilan yang memuaskan. Sebenarnya, dia tak ingin membuat Bulan sedih jika kekalahan mereka terima. Banyak sedikit dia masih ingat dengan sifat Bulan.
Ponsel yang ada di nakas bergetar. Anggasta yang baru saja selesai membersihkan tubuh segera meraih benda pipih. Kedua alisnya menukik ketika ada sebuah pesan masuk dari nomor baru.
"Pak, saya ijin keluar. Mau cari minimarket. Soalnya tamu tak diundang saya lebih cepat datangnya."
Mencerna pesan yang Bulan kirimkan dengan otak yang berputar. Sebuah jawaban mulai didapatkan dan gagang telepon yang ada di aplikasi pesan tersebut dia tekan. Tak menunggu lama suara Bulan terdengar.
"Ke minimarketnya sama saya."
Tubuh Bulan menegang ketika mendengar kalimat yang Anggasta katakan. Apalagi sambungan telepon diakhiri secara sepihak oleh Anggasta membuat Bulan semakin terdiam. Baru saja hendak meletakkan ponsel, suara bel terdengar. Ketika pintu dibuka sang direktur sudah ada di depan kamarnya dengan pakaian santai.
Sesekali Anggasta melihat ke arah Bulan ketika menuju minimarket di mana perempuan itu tengah memegang perut. Wajahnya pun sedikit pucat.
"Kamu tunggu aja di sini." Bulan menolak. Anggasta tak bisa memaksa.
Tibanya di minimarket, Anggasta sudah menuju ke lemari pendingin. Membuka tutup botol jamu untuk datang bulan dan menyerahkannya kepada perempuan yang tengah berada di area kebutuhan wanita.
"Minum dulu!"
Bulan sedikit tercengang. Pasalnya Anggasta masih tahu kebiasaan dirinya jika tengah kedatangan tamu bulanan. Tanpa malu Anggasta memasukkan roti jepang yang biasa Bulan pakai. Dia masih ingat merk dan panjangnya.
"Pak--"
"Butuh apalagi? Sekalian di sini."
Setelah semua yang dibutuhkan masuk keranjang, Anggasta yang membawa keranjang berwarna merah sudah mengantri di depan kasir. Pandangannya beralih pada suara seorang perempuan yang memanggilnya.
"Gagas!"
Pandangan Bulan ikut beralih dan terus memperhatikan perempuan yang tersenyum lebar berjalan menghampiri dirinya dan Anggasta. Lelaki yang ada di sampingnya pun mengukirkan senyum yang tak kalah manis. Matanya mulai tak berkedip ketika dengan santainya si perempuan itu merangkul lengan Anggasta.
"Udah lama ya kita enggak ketemu semenjak putus." Anggasta pun tertawa. Sedangkan Bulan hanya menjadi obat nyamuk di sana mendengarkan perbincangan akrab keduanya.
"Aku duluan, ya. Kayaknya dia udah selesai." Pandangan Anggasta tertuju pada sosok punggung laki-laki yang mantannya tunjuk.
"Pacar baru?" Alma pun menunjukkan cengiran khasnya dan membuat Anggasta menggelengkan kepala.
"Pacarnya Gagas!" Bulan tersentak ketika Alma memanggilnya dengan sebutan seperti itu. "Jangan cemburu, ya. Aku dan gagas hanya tinggal kenangan," kelakarnya sambil tertawa. Bulan meresponnya dengan senyum yang dipaksa.
Tak ada pembicaraan dari Anggasta juga Bulan setelah Alma pergi. Ketika tiba di kasir, Bulan dilarang membayar.
"Minta nomor rekening."
Langkahnya terhenti. Tatapan tajam Anggasta berikan ketika mendengar kalimat tersebut.
"Uang segitu tak akan membuat saya miskin."
.
Mereka berdua datang ke acara makan malam. Padahal, Anggasta sudah melarang Bulan ikut karena wajahnya masih sedikit memucat. Perempuan itu tetap bersikukuh.
Bukan hanya Anggota rapat siang tadi yang hadir. Banyak juga para petinggi perusahaan lain yang menjadi tamu undangan. Hingga suasana menjadi ramai.
"Kalau tidak nyaman, tunggu saja di mobil." Senyum terpaksa Bulan tunjukkan. Wajahnya menunjukkan jika dia baik-baik saja.
Anggasta sangat mengerti karena ada beberapa orang yang datang ke acara ulang tahun tempo hari. Sudah pasti mereka mengingat wajah Bulan.
"Jangan khawatir. Kamu akan tetap menjadi tunangan Haidar." Anggasta seakan tahu apa yang dipikirkannya. Sedari dulu sikap cenayangnya masih sama.
Para senior banyak yang menghampiri Anggasta. Mengucapkan rasa bangga pada kinerjanya. Apalagi mendengar jika ide yang diberikan siang tadi begitu brilian. Sedangkan Bulan hanya diam dengan sesekali memegang perutnya kembali terasa sakit.
"Pak, saya ke toilet sebentar, ya." Bibirnya begitu dekat ke telinga Anggasta. Hanya anggukan kecil yang dia berikan.
Tengah asyik berbincang, matanya mulai menangkap seseorang yang dia kenal. Perempuan yang tadi bertemu di minimarket ada di acara tersebut. Tapi, kali ini dia tak sendiri. Di sampingnya ada seorang lelaki yang terlihat lebih berbinar dari acara beberapa waktu yang lalu dengan menggandeng wanita yang bukan Alma.
"Mungkinkah--"
...*** BERSAMBUNG ***...
Mana atuh komennya? Bisa kali dibanyakin.
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje