Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 24.
Ardan berdiri di ruang kerjanya dengan rahang menegang, ia sudah memutuskan jika Claudia harus dihapus dari kehidupannya. Ia memerintahkan, agar nama wanita itu masuk dalam daftar hitam perusahaan agar tak bisa lagi masuk.
Kini yang ia inginkan hanya satu, hidup damai bersama Nadira dan menjalani rumah tangga yang bersih dari intervensi orang lain.
Namun saat ia mencoba menghubungi istrinya, layar ponselnya menampilkan keterangan dingin... nomor tidak aktif. Degupan jantungnya tercekat. Seketika bayangan wajah Nadira saat pergi tadi, penuh luka dan kekecewaan menyeruak ke kepalanya.
Ardan meninju meja hingga bergetar.
“Aku memang brengsek! Saat dia tersiksa dan menderita, aku justru tak ada di sisinya. Tujuh tahun, Ardan! Tujuh tahun dia menanggung derita seorang diri tanpamu! Arghhh! Claudia sialan!”
Tanpa menunda, ia memerintahkan asistennya melacak keberadaan Nadira. Namun hasilnya nihil, jejak istrinya seolah hilang seperti ada tangan yang dengan sengaja menyembunyikannya.
Beberapa jam kemudian di sebuah resort mewah di Bali, Nadira memang diculik seseorang. Kini, Ia berada di ruangan privat yang penuh aroma terapi. Tubuhnya terbaring di atas dipan spa, sementara pijatan lembut seorang terapis membuat tubuhnya rileks. Di sisinya, Nyonya Rarasati menikmati layanan yang sama.
“Kau menikmatinya, Dira? Kalau tubuhmu rileks, hatimu pun ikut tenang.” Suara lembut wanita paruh baya itu terdengar lirih. “Sekali lagi, maafkan Mama karena menyembunyikan kebenaran. Tentang Claudia, juga tentang ayahnya yang menghancurkan perusahaan ayahmu. Mama hanya takut, kalau kau tahu... kau akan nekat melabraknya dan justru terluka oleh kegilaan perempuan itu.”
Mata Nyonya Rarasati terpejam, seolah ingin mengusir penyesalan.
Nadira tidak menanggapi, ia hanya mendengarkan namun dalam hatinya tetap merasa getir.
“Masih marah pada Ardan?” suara Nyonya Rarasati kembali terdengar, kali ini lebih hati-hati. “Apa dia terlalu menyakitimu karena selalu memihak Claudia?”
Hening, tak ada jawaban dari Nadira.
Nyonya Rarasati akhirnya membuka matanya saat tak mendapatkan jawaban dari sang menantu, ia menatap Nadira dengan penuh rasa bersalah. “Mama membawamu pergi hanya untuk sementara, agar kau bisa berpikir jernih. Percayalah, Dira… putraku itu tidak pernah benar-benar menginginkan Claudia. Bukti sudah kau dapatkan dengan jelas, malam kemarin ia tak menghadiri pesta pertunangannya sendiri. Itu artinya, hatinya masih milikmu.”
Untuk pertama kalinya, Nadira menatap ibu mertuanya. Tatapan matanya teduh, namun menyimpan luka yang dalam.
“Mungkin Mama benar… hatinya memang milikku. Tapi, apakah tubuhnya juga masih milikku? Tujuh tahun, Mah. Tujuh tahun mereka bersama. Mas Ardan itu pria yang sehat, kuat dan pernah merasakan tubuh wanita. Bagaimana kalau sebenarnya… dia sudah menjadikan Claudia seperti istrinya?”
Pertanyaan itu menusuk hati Nyonya Rarasati, ia terdiam. Ia tahu, dugaan Nadira tak sepenuhnya tak masuk akal. Ardan memang pria muda yang penuh gairah, sementara Claudia selama ini selalu berusaha menempel. Wanita itu selalu mengajak Ardan ke segala macam pesta sosialita, dan mencari cara untuk terlihat seolah-olah mereka pasangan. Minum alkohol? Sudah pasti. Dan... apapun bisa terjadi.
Tidak, aku tidak boleh membiarkan Dira tenggelam dalam prasangka. Kalau aku membenarkannya, mungkin hatinya akan hancur lebih parah.
“Kenapa Mama diam?” suara Nadira bergetar, matanya berkaca-kaca. “Apa dugaanku benar? Apa tubuh suamiku bukan milikku seorang lagi?”
Nyonya Rarasati menelan ludah, menahan kegelisahan. Lalu, dengan nada tegas ia menangkis, “Jangan dipikirkan! Itu hanya bayangan buruk mu saja, Dira. Yang jelas, Ardan sudah kembali padamu dan Claudia sudah hancur. Sekarang waktunya kau belajar menutup masa lalu, dan saat hatimu sudah tenang… kembalilah pada putraku.”
Nyonya Rarasati kembali memejamkan mata, menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Sebab jauh di dalam hati, ia juga tidak sepenuhnya yakin. Jika benar dugaan Nadira, apakah menantunya itu masih bisa memaafkan Ardan?
Suasana ruangan spa itu hangat, dipenuhi aroma lavender yang seharusnya menenangkan, namun hati Nadira tetap terasa sesak. Jemarinya menggenggam kain tipis yang menutupi tubuhnya, seakan mencari pegangan.
“Mama…” suaranya pelan, nyaris berbisik, namun bergetar. “Aku bukan tak mau kembali pada Mas Ardan. Tapi sekarang, setiap kali aku memandangnya... aku akan membayangkan Claudia, wanita yang merusak hidupku berada dalam pelukan suamiku.”
Nyonya Rarasati mengulurkan tangannya, meraih jemari Nadira dengan lembut. “Anakku, dengarkan Mama. Kadang... cinta diuji dengan cobaan paling pahit. Kalau hatimu terus menoleh ke belakang, kau hanya akan terluka."
Nadira menahan napas, matanya memerah. “Apa Mama bisa menjamin… selama tujuh tahun itu, tubuhnya tetap suci dari Claudia?”
“Mama hanya bisa berkata satu hal, kalaupun Ardan pernah tersesat... itu hanya karena Claudia memaksanya hadir di sisi wanita itu. Bukan karena hatinya yang memilih. Dira… apakah hatimu cukup besar untuk menampung kemungkinan itu?”
Air mata Nadira jatuh tanpa bisa ditahan, bahunya berguncang pelan. “Aku takut, Mah… aku takut jika benar, aku tak akan sanggup memaafkannya. Bagaimana aku bisa tidur di pelukannya nanti, kalau pikiranku terus dihantui bayangan Claudia? Sebenarnya, setiap kami berhubungan... aku menahan semuanya. Tapi sekarang, entah kenapa hatiku sakit membayangkan suamiku telah disentuh wanita lain."
Nyonya Rarasati segera bangkit dari dipannya, lalu memeluk tubuh menantunya erat. “Baiklah... menangislah. Jangan simpan semua luka itu sendirian. Mama di sini, bersama kamu.”
Tangisan Nadira pun pecah di pelukan ibu mertuanya.
.
.
.
Sementara itu, di Jakarta…
Ardan mondar-mandir di ruang kerjanya seperti singa terluka. Ponselnya terus ia genggam, berulang kali mencoba menghubungi istrinya namun tetap nihil. Nadira masih tidak bisa dihubungi.
“Kenapa kau tak bisa melacaknya?!” bentaknya pada asistennya.
“Maaf, Tuan… semua jejak sinyal hilang begitu saja. Sepertinya ada yang sengaja menonaktifkan, atau__”
“Jangan berikan aku kemungkinan, aku butuh hasil!” Ardan menghantam meja kerjanya hingga asistennya terkejut.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, bayangan buruk menari-nari di kepalanya. Nadira pergi dengan wajah sedih, lalu menghilang begitu saja. Jangan-jangan sesuatu terjadi padanya…
Ardan segera meraih jasnya. “Aku akan cari Nadira sampai ke ujung dunia sekalipun! Jika dia disembunyikan seseorang, aku akan menemukan siapa dalangnya!”
Dalam hatinya, amarah dan ketakutan berbaur jadi satu. Ia memvkvl dadanya sendiri, menahan sesak. “Bertahanlah, Dira… jangan tinggalkan aku lagi.”
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒