Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENONTON PERTANDINGAN
Elizabeth duduk anggun di tribun VVIP, di antara para keluarga pemain yang hadir memberi dukungan. Ia mengenakan jersey putih dengan nama Kaelith dan nomor punggung yang mencolok di punggungnya terlihat mencolok sekaligus anggun di tubuh seksinya. Rambutnya tergerai rapi, dan riasan wajahnya tampak natural namun elegan, cukup untuk menonjolkan kecantikannya tanpa terlihat berlebihan.
Dengan ponsel di tangan, Elizabeth memotret suasana stadion yang bergemuruh. Riuh sorakan suporter dari kedua tim saling bersahutan, menciptakan atmosfer penuh semangat dan ketegangan. Setiap gerakan di lapangan menjadi sorotan, setiap peluang disambut dengan jeritan dan tepuk tangan.
Di tengah lapangan, Kaelith berlari cepat, matanya fokus pada bola yang menggelinding menuju gawang lawan. Ia mengejar dengan intensitas tinggi, keringat membasahi pelipisnya, dan sorakan penonton menambah adrenalin.
"Semangat, Kaelith!" seru Elizabeth lantang, bersamaan dengan dentuman suara dari ribuan penonton yang serempak berdiri ketika Kaelith hampir mencetak gol.
Jantungnya berdebar seiring alur permainan. Bagi Elizabeth, ini bukan sekadar pertandingan. Ini tentang seseorang yang pernah ia kenal begitu dalam, dan mungkin… masih ada ruang tersisa di hatinya.
Di sisa-sisa menit pertandingan yang masih imbang tanpa gol, suasana semakin menegangkan. Setiap detik terasa krusial. Sorakan penonton sudah tak lagi beraturan semua berdiri, mata tertuju ke lapangan.
Thalion, yang mencoba menerobos pertahanan lawan, dijatuhkan tepat di dalam kotak penalti. Peluit wasit terdengar nyaring. Tangan wasit menunjuk titik putih.
Penalti.
Stadion sontak bergemuruh, sebagian bersorak gembira, sebagian lainnya mengumpat dan menahan napas. Bendera-bendera melambai, genderang ditabuh semakin keras.
Kaelith melangkah maju, mengambil bola dengan tatapan fokus penuh. Ia adalah algojo utama tim, dan semua tahu ini bisa menjadi penentu kemenangan.
Di tribun VVIP, Elizabeth menutup mulutnya dengan kedua tangan, jantungnya berdetak cepat.
"Kaelith…" bisiknya pelan, seolah doanya bisa menembus keramaian.
Wasit meniup peluit.
Kaelith mundur dua langkah, mengambil ancang-ancang, lalu menendang dengan kekuatan dan presisi ke sisi kanan bawah gawang.
Penjaga gawang melompat terlambat.
Gol!
Penonton bersorak membahana, nama Kaelith dielu-elukan. Para pemain berlari menghampirinya, memeluk dan menepuk bahunya penuh kemenangan. Wajah Kaelith masih tenang, tapi matanya bersinar.
Di tribun, Elizabeth berdiri dan bertepuk tangan, senyum kecil tersungging di bibirnya, seolah ia ikut mencetak gol di dalam hatinya.
Jika Elizabeth dan para keluarga pemain lainnya bersorak bahagia atas kemenangan Nexora FC, berbeda halnya dengan Nayara.
Gadis itu duduk di ruang tengah apartemen dengan televisi menyala, memperlihatkan sorotan akhir pertandingan. Komentator masih membicarakan gol kemenangan Kaelith, memperlihatkan cuplikan selebrasi sang kapten yang dielu-elukan penonton.
Nayara memelototi layar dengan wajah penuh kesal. Tangannya mengepal, kuku-kuku mencengkeram bantal sofa yang ia peluk.
"Sial, kenapa mereka harus menang," umpatnya dengan suara penuh kebencian.
Ia menggertakkan giginya. Rasa tidak suka itu bukan karena Nexora FC, melainkan karena Kaelith.
Ia benci ketika pria itu bersinar di luar sana, seolah tak terjadi apa-apa di balik pintu apartemen mereka. Seolah ia bukan monster yang mengurung dan memperlakukannya seenaknya.
Ia benci ketika dunia memujanya.
Sementara dirinya sendiri tak bisa bebas melangkah tanpa alat pemantau di pergelangan kakinya.
Sementara Kaelith dielu-elukan, Nayara merasa dirinya perlahan hilang.
Seusai pertandingan, Nexora FC menggelar acara makan malam untuk merayakan kemenangan mereka. Seluruh pemain, staf pelatih, dan para keluarga pemain berkumpul di sebuah restoran mewah di pusat kota Sevilla. Ruangan itu penuh dengan canda, tawa, dan pujian atas pertandingan dramatis yang baru saja mereka menangkan.
Kaelith hadir dengan setelan kasual elegan, auranya tetap memikat meski tubuhnya tampak letih. Di sampingnya, Elizabeth berjalan anggun, mengenakan dress sederhana berwarna pastel yang tetap membuatnya mencuri perhatian. Ia tertawa kecil saat Kaelith membisikkan sesuatu di telinganya, membuat beberapa mata melirik penasaran.
"Terima kasih sudah mengajakku," ucap Elizabeth pelan saat mereka duduk di meja bundar yang dipenuhi anggota tim utama.
Kaelith hanya tersenyum tipis. "Kau pantas ada di sini. Aku ingin kau jadi bagian dari malam ini."
Mereka duduk bersebelahan, sesekali berbagi pandangan dan obrolan ringan. Elizabeth tampak menikmati suasana itu, dan para pemain pun menyambutnya dengan hangat, meskipun beberapa dari mereka saling bertukar lirikan penasaran.
Di kejauhan, seorang fotografer klub mengabadikan momen. Sorotan kamera beberapa kali menangkap Kaelith dan Elizabeth duduk berdekatan. Senyum mereka terlihat sangat akrab. Seolah-olah tidak ada satu pun beban di pundak pria itu malam ini.
Namun, jauh dari restoran itu, seseorang menatap layar ponsel dengan mata yang tak berkedip. Nayara.
Foto-foto Kaelith dan Elizabeth yang sudah mulai beredar di fanbase klub membuat dadanya sesak.
"Dia benar-benar tak merasa bersalah sedikit pun..." bisiknya dengan suara serak, menyeka air mata yang mulai mengalir.
Setelah acara makan malam usai, Kaelith mengantar Elizabeth ke hotel tempatnya menginap. Jalanan Sevilla sudah mulai sepi, hanya lampu-lampu kota yang menemani perjalanan mereka dalam mobil.
Sesampainya di lobi hotel, Elizabeth menoleh pada Kaelith dan tersenyum lembut.
"Terima kasih atas jamuanmu selama aku di Sevilla, Kaelith. Dan selamat sekali lagi atas kemenanganmu," ucapnya tulus.
Kaelith menatap wajah gadis itu sejenak. Sorot matanya tak sekeras biasanya. Mungkin karena lelah, atau karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama... ia merasa tenang.
"Terima kasih, Eliz. Hati-hati saat kau kembali esok," balas Kaelith, suaranya pelan namun jelas.
Elizabeth mengangguk. Ia tampak ragu sesaat, lalu mendekat dan mengecup pipi Kaelith dengan cepat.
"Untuk keberuntunganmu di pertandingan selanjutnya," katanya dengan senyum menggoda, sebelum berbalik dan berjalan masuk ke dalam hotel.
Kaelith hanya diam. Tatapannya mengikuti langkah Elizabeth sampai pintu lift menutup. Lalu ia menarik napas dalam-dalam sebelum kembali ke mobilnya, dan mengemudi menuju apartemennya.
Namun, begitu tiba di apartemen, ia tahu... ketenangan itu hanya sementara. Karena di dalam, ada Nayara. Dan luka-luka yang belum selesai.
Kaelith meletakkan tas miliknya di sofa, tubuhnya lelah tetapi pikirannya tetap penuh dengan kekacauan. Ia berjalan menuju kamar Nayara yang kini tanpa pintu sisa dari emosi dan amarah yang pernah ia lampiaskan beberapa malam lalu.
Di sana, Nayara tampak terbaring membelakangi pintu, selimut menutupi tubuhnya hingga sebatas bahu. Mata gadis itu tertutup, namun napasnya yang tidak beraturan dan gerakan kecil di jemarinya membuat Kaelith tahu ia hanya berpura-pura tidur.
Tanpa suara, Kaelith melangkah mendekat, lalu duduk di pinggir ranjang. Ia condongkan tubuhnya, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari telinga Nayara.
"Aku tahu kau tidak tidur," bisiknya pelan, suaranya berat dan dingin.
Nayara tetap diam. Tak bergerak, tak bersuara. Tapi kelopak matanya tampak bergetar, dan jemarinya menggenggam seprai lebih erat.
Kaelith menarik napas dalam, lalu menegakkan punggungnya. Ia hanya duduk di sana beberapa detik, menatap punggung gadis itu.
"Aku akan berganti baju," ucapnya datar sebelum akhirnya berdiri dan melangkah keluar kamar meninggalkan aura tegang yang menggantung di udara seperti kabut yang tak kunjung hilang.
Begitu suara langkah kaki Kaelith menghilang dari ambang kamar, Nayara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram oleh air mata yang sejak tadi ia tahan. Bibirnya bergetar, tapi tak satu pun suara keluar.
Ia duduk perlahan, membetulkan posisi selimut yang melorot ke pangkuannya. Matanya menatap pintu kamar yang rusak, yang kini menjadi simbol dari banyak hal ketakutan, kemarahan, dan kebebasan yang direnggut.
Tangannya menyentuh pergelangan kakinya, tempat alat itu masih melingkar. Ankle monitor buatan khusus yang hanya bisa dinonaktifkan oleh satu orang yaitu Kaelith. Simbol lainnya, dari bagaimana ia tidak benar-benar bebas.
Beberapa saat kemudian, suara air mengalir terdengar dari kamar sebelah. Mungkin Kaelith sedang mencuci wajah, atau benar-benar berganti baju seperti yang ia katakan.
Nayara bangkit perlahan dari tempat tidur, berjalan ke jendela kamar dan membuka tirainya. Langit malam masih gelap, cahaya lampu kota Sevilla menyala di kejauhan. Ia mendongak, mencoba menghirup udara malam, seolah mencari sedikit ruang untuk bernapas di tengah sesaknya perasaan.
"Suatu hari nanti..." gumamnya lirih, "...aku akan bebas dari semua ini."
Tangannya meremas tirai. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, air mata jatuh bukan karena ketakutan tapi karena tekad yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Di atas ranjang, Kaelith sudah terjaga. Matanya menatap Nayara yang masih terlelap dalam tidurnya, memeluk tubuhnya erat seolah tak ingin dilepaskan.
Kaelith terkekeh pelan. Wajah polos Nayara saat tidur selalu berhasil melunakkan sisi paling keras dalam dirinya. Tanpa riasan, tanpa ekspresi perlawanan hanya ketenangan, yang membuatnya merasa Nayara adalah miliknya seutuhnya.
Tangannya mengusap rambut gadis itu perlahan.
“Hari ini milik kita, Baby,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Bagi Kaelith, setiap kali ia mencetak gol kemenangan, selebrasinya tidak pernah di tengah sorak-sorai suporter atau lampu kamera. Ia hanya ingin satu hal menghabiskan hari bersama Nayara, menjadikan gadis itu satu-satunya yang merayakan keberhasilannya.
Pagi ini pun sama. Ia sudah menyiapkan segalanya. Dari makanan favorit Nayara yang ia pesan khusus, hingga rencana makan malam privat di balkon apartemen mereka nanti malam.
Ia tahu, Nayara masih dingin padanya. Tapi ia juga tahu, selama gadis itu belum pergi, ia masih menang.
Dan ia tidak akan pernah membiarkan Nayara pergi. Tidak sekarang, tidak nanti.
Nayara terbangun saat merasakan elusan lembut menyapu punggungnya. Suara napas teratur di dekat telinganya langsung membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia membuka mata pelan, dan mendapati Kaelith menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan antara lembut dan menuntut, seperti biasa.
Ia mencoba menjauh, menarik selimut dan memundurkan tubuhnya sejengkal. Tapi Kaelith lebih sigap. Tangannya menangkap pinggang Nayara dan dengan mudah menarik tubuh kecil gadis itu ke pangkuannya.
"Good morning, baby," bisiknya di dekat telinga Nayara, suaranya serak karena baru bangun tidur. Jari-jari Kaelith terulur membenahi helaian rambut Nayara yang kusut, menyapunya dengan perlahan.
Nayara menunduk, tidak membalas. Ada kegelisahan dalam dirinya, namun tubuhnya tak bergerak. Ia hanya diam, membiarkan pria itu memeluknya erat seperti biasa, seperti tidak ada yang salah. Padahal, banyak sekali yang salah.
"Aku lapar," gumam Kaelith setelah beberapa saat, mencium puncak kepala Nayara seolah semua baik-baik saja.
"Aku tidak masak," balas Nayara pelan tanpa menatapnya.
"Kalau begitu, kita pesan saja. Hari ini aku libur, dan aku ingin seharian bersamamu. Kau tidak keberatan, kan?" tanyanya, meski nadanya lebih seperti perintah daripada pertanyaan.
Nayara tidak menjawab. Ia menatap jendela, membiarkan dirinya kembali diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Kaelith memesan makanan secara online, memilih menu favorit Nayara agar gadis itu tak lagi murung. Sambil menunggu pesanan tiba, pria itu menghampiri Nayara yang masih terduduk di tepi ranjang, matanya kosong menatap lantai.
"Ayo bersihkan diri dulu," ucap Kaelith pelan tapi tak memberi ruang untuk penolakan. Ia mengulurkan tangan, dan meski ragu, Nayara mengikuti langkahnya menuju kamar mandi.
Setelah Nayara selesai membersihkan diri, Kaelith telah menyiapkan pakaian yang Kaelith pilih sendiri sebuah kaus lembut berwarna pink yang sederhana bertuliskan Baby Girl, tapi nyaman. Nayara mengenakan pakaian itu dengan diam, tak banyak bicara, membiarkan waktu berlalu begitu saja.
Di luar, suara bel terdengar makanan telah sampai. Tapi di dalam kamar, keheningan masih mendominasi, hanya diisi oleh jarak yang tak terlihat tapi sangat terasa di antara mereka berdua.
Kaelith meletakkan pesanan makanan di atas meja makan dengan rapi. Aroma makanan hangat menguar, mengisi ruangan dengan kehangatan yang kontras dengan suasana hati Nayara.
Ia kembali ke kamar dan menghampiri Nayara, mengecup singkat bibir gadis itu sebelum berjongkok di depannya.
"Kau ingin diikat rambutnya?" tanyanya lembut sambil menatap mata Nayara.
Nayara mengangguk pelan.
Dengan hati-hati, Kaelith mengambil ikat rambut dari meja rias dan mulai merapikan rambut Nayara dan mengikat rambut menjadi dua bagian. Jemarinya menyentuh lembut helaian rambut yang masih sedikit lembap setelah mandi.
"Nice. Kau terlihat cantik, baby," ucap Kaelith dengan senyum tipis.
Nayara hanya diam. Ia berusaha tersenyum, walau senyum itu lebih mirip bayangan dari apa yang pernah ia tunjukkan dulu.