Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh kembali ke Kenyataann yang Pahit
Kilatan cahaya merah yang menyala di panel kontrol telah padam, digantikan oleh kegelapan absolut di luar jendela yang hancur. Kapsul darurat mereka melayang tanpa kendali, menjadi peti mati mengapung di lautan angkasa, jauh dari puing-puing Artemis IV yang kini menjadi debu bintang.
Di ruang kontrol misi utama ISTC di Houston, suasana benar-benar mencekam. Layar-layar besar yang tadinya menampilkan data telemetri pesawat Artemis IV, kini hanya menunjukkan static dan sinyal loss. Grafik kurva kecepatan dan ketinggian jatuh bebas, lalu menghilang sama sekali. Para teknisi dan ilmuwan yang tadinya bersemangat, kini berdiri kaku, wajah mereka membeku dalam ketidakpercayaan dan kengerian. Kopi yang tadinya mengepul hangat di meja kini tak lagi dihiraukan.
Miss Armstrong, direktur misi berambut perak, mematung di depan konsol utamanya. Matanya terpaku pada layar yang menampilkan rekaman terakhir. Sebuah kilatan energi aneh, lalu ledakan dahsyat yang melahap pesawat mereka. Ia tak bisa berkata-kata. Mimpi yang mereka bangun bertahun-tahun, hancur dalam hitungan detik. Harapan ribuan orang, sirna di angkasa.
Tiba-tiba, seorang teknisi muda, matanya membelalak, berteriak, "Miss Armstrong! Ada... ada sinyal darurat! Dari... dari salah satu kapsul penyelamat! Sinyalnya sangat lemah, tapi aktif!"
Seluruh ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada layar yang berkedip. Sebuah titik hijau kecil muncul di antara serpihan. Sebuah keajaiban.
"Perbesar! Identifikasi! Cepat!" perintah Miss Armstrong, suaranya tercekat namun ada secercah harapan yang terselip. Ia mendekat ke layar, jantungnya berdebar kencang.
Gambar diperbesar, lebih jelas. Sebuah kapsul darurat yang rusak parah, mengambang di antara puing-puing. Dan di dalamnya... empat siluet. Rohim. Fitriani. Shalih. Dan Humairah. Keluarga Wiratama. Mereka selamat!
Sorakan lega bercampur isakan tangis memenuhi ruang kontrol. Ada kelegaan yang luar biasa, namun juga kesedihan yang mendalam. Mereka hidup. Tetapi... berapa banyak yang tewas? Sebuah tragedi tak terbayangkan telah terjadi. Keluarga-keluarga lain, kru, semua yang lain, telah tiada. Senyum kegembiraan mereka semalam, tawa mereka di bandara, kini hanya tinggal kenangan pahit.
Miss Armstrong memejamkan mata, mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. "Prioritaskan penyelamatan! Kirim tim evakuasi terdekat! Siapkan tim medis! Cepat!" perintahnya, suaranya bergetar namun tegas. Ada beban berat di pundaknya, tanggung jawab atas nyawa yang hilang, dan syukur atas nyawa yang tersisa.
Di dalam kapsul yang rusak, suasana terasa begitu sunyi, hanya diisi oleh isak tangis Humairah yang sesekali mereda, dan napas berat Rohim dan Fitriani. Dinginnya angkasa menembus dinding kapsul yang compang-camping. Di luar, hanya ada kegelapan abadi yang bertabur bintang-bintang dingin.
Rohim memeluk erat Fitriani, Shalih, dan Humairah dalam satu dekapan. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena syok dan ketakutan yang mendalam. Ia mengecup puncak kepala Fitriani, lalu Shalih, dan mencium Humairah yang masih sesenggukan di dadanya. Aroma logam terbakar dan udara dingin yang menusuk paru-parunya kini berpadu dengan aroma manis rambut putrinya.
"Kita selamat, Sayang. Kita selamat," bisik Rohim berulang kali, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada Fitriani. Matanya menatap kosong ke luar jendela yang pecah, pikirannya masih dipenuhi bayangan entitas kosmik yang melesat itu, dan kehancuran yang ditimbulkannya.
Fitriani merasakan tubuhnya seperti jelly, tak punya kekuatan. Seluruh sendi dan ototnya terasa nyeri, namun bukan itu yang membuatnya terpuruk. Hatinya hancur berkeping-keping. Bayangan wajah-wajah ramah dari keluarga-keluarga lain yang baru semalam ia temui, kini melayang-layang di benaknya, tak bernyawa. Mereka semua berbagi mimpi yang sama, kini hanya dia dan keluarganya yang tersisa.
Hijabnya kini benar-benar acak-acakan, beberapa helainya terlepas dan mengambang samar di udara kapsul yang bocor, namun ia tak peduli. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipi Humairah. "Semua... mereka semua..." Suaranya tercekat, tak sanggup menyelesaikan kalimat. Ia memeluk Humairah erat, seolah ingin melindunginya dari segala kejahatan dunia ini.
"Sstt... jangan dipikirkan dulu, Ibu. Kita bersyukur kita masih hidup," Rohim menenangkan, meski ia sendiri merasakan perih yang sama. Ini adalah trauma yang akan menghantui mereka seumur hidup. Pengalaman terburuk yang pernah mereka dapatkan.
Rohim merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Sebuah sensasi menggelitik, seperti aliran listrik halus yang menjalar di bawah kulitnya. Rasanya tidak sakit, justru seperti ada sesuatu yang "terbangun" di dalam dirinya. Ia melirik Fitriani. Wajah Fitriani tampak pucat, namun ada rona aneh yang memancar dari kulitnya yang biasanya sawo matang. Bola matanya sesekali memancarkan kilatan samar yang tidak biasa.
"Ayah... kamu merasakan sesuatu?" tanya Fitriani, suaranya pelan dan bergetar. Tangannya terangkat, meraba lengannya sendiri. "Badanku... kok aneh ya rasanya?"
Rohim mengangguk. "Iya, Ibu. Aku juga. Kayak... ada yang berbeda." Sensasi itu semakin kuat. Bukan rasa sakit, tapi lebih ke arah energi yang bergejolak.
Shalih, yang tadinya masih terdiam di pelukan Rohim setelah kilatan energi misterius itu masuk ke tubuhnya, kini hanya menatap kosong ke depan. Matanya jernih, namun ekspresinya datar. Tubuhnya sedikit menggigil. Ia tidak menangis lagi, tidak bergerak. Sebuah ketenangan yang aneh dan mengkhawatirkan menyelimuti anak itu. Simbol pena emas yang tadi sempat terlihat di telapak tangannya telah menghilang, tak berbekas.
"Shalih? Kamu kenapa, Nak?" Fitriani berusaha meraih wajah Shalih, namun Shalih tak bereaksi. Ia hanya menatap ke depan, ke kehampaan.
Rohim memeluk Shalih lebih erat, mencoba menyalurkan kehangatan. Ia merasa bingung. Ada apa dengan putranya? Apakah itu dampak dari tabrakan? Atau... dari kilatan energi itu? Rohim teringat samar-samar tentang cahaya yang masuk ke tubuh Shalih sesaat setelah ledakan. Sebuah firasat aneh menyergapnya.
Di tengah kekacauan emosi dan sensasi aneh di tubuh mereka, tiba-tiba sebuah guncangan ringan melanda kapsul. Mereka terlempar sedikit ke depan, lalu merasakan tarikan gravitasi yang lemah. Kapsul itu tidak lagi melayang tanpa kendali. Ia bergerak.
"Kita bergerak!" seru Rohim, matanya membelalak. Ia melihat ke panel kontrol yang rusak, namun tidak ada lampu navigasi yang berfungsi.
Sebuah suara gemuruh samar mulai terdengar, semakin lama semakin keras. Jendela yang hancur kini memperlihatkan pemandangan yang tak terduga: BUMI. Bola biru-hijau itu semakin membesar dengan cepat di depan mata mereka. Kapsul mereka sedang jatuh kembali, melesat ke arah planet asal.
Rasa takut bercampur lega memenuhi hati Rohim. Lega karena mereka kembali ke Bumi, tapi takut akan guncangan pendaratan yang mungkin akan menghancurkan mereka.
Pikirannya kembali melayang pada entitas kosmik tadi. Mahluk aneh yang bukan seperti alien mana pun yang pernah ia bayangkan. Bentuknya yang amorf, seperti gumpalan energi, dan jejak kehancuran di belakangnya... itu benar-benar di luar nalar akal sehatnya. Ia tak menyangka, di luar angkasa sana, ada eksistensi sebrutal itu. Dan ke mana perginya mahluk itu setelah menabrak pesawat mereka? Apakah ia ikut hancur? Atau melanjutkan perjalanannya yang tak sadarkan diri ke sudut galaksi lain? Rohim merasakan desakan kuat untuk mencari tahu. Misteri ini baru saja dimulai.
Kapsul itu semakin cepat melesat, menembus lapisan atmosfer Bumi. Panas gesekan mulai terasa, menyebabkan dinding kapsul yang rusak memerah. Suara gemuruh berubah menjadi lolongan mengerikan.
"Pegangan erat-erat, Sayang! Shalih! Humairah! Kita akan mendarat!" Rohim berteriak, memeluk erat keluarganya. Ia menundukkan kepala, membenamkan wajah mereka ke dadanya, melindungi mereka dari guncangan yang akan datang.
Mata Fitriani memejam, air mata masih mengalir. Ia memeluk Humairah erat-erat, tubuhnya gemetar. Ini belum berakhir. Mereka selamat dari satu kehancuran, tapi belum tentu selamat dari yang berikutnya.
Kapsul itu menembus atmosfer dengan kecepatan yang membahayakan, meninggalkan jejak api di belakangnya. Di dalam, Rohim, Fitriani, Shalih, dan Humairah terlempar-lempar, dihantam guncangan brutal. Lalu, tiba-tiba, kapsul itu menghantam permukaan air dengan suara desingan yang memekakkan telinga, diikuti keheningan. Apakah mereka berhasil mendarat selamat di Bumi? Atau lautan luas akan menjadi kuburan terakhir bagi keluarga yang selamat dari amukan kosmik itu?