Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Terus menerus Papa Denis meminta Gio untuk menikah dengan Liani. Tidak masalah kalau Gio sudah punya istri. Sah-sah saja bukan.
Papa Denis juga meminta hal itu bukan karena tidak menyukai Siti. Hanya saja Papa Denis merasa tidak enak hati sudah terlalu banyak dibantu oleh Liani dan juga keluarganya. Belum lagi Liani sendiri yang datang merengek terus menerus kepadanya untuk dinikahkan dengan Gio.
Berbeda dengan Mama Agatha yang tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap Gio karena sangat tahu putranya menghormati pernikahan.
"Biarkan saja, Pa, kalau Gio tidak mau. Jangan terus memaksanya," bela Mama Agatha.
"Lagi pula orang tuanya Liani juga santai, tidak seperti Papa yang terus-terusan maksa Gio." Lanjut Mama Agatha.
"Iya, orang tuanya santai. Tapi Mama tahu sendiri Liani 'kan?. Dia enggak berani bicara lagi sama Mama karena tahu Mama mendukung Siti."
"Memangnya Papa tidak mendukung Siti?," tanya Gio.
"Mendukung-mendukung saja. Tapi kata Liani, sekarang Siti sedang mengandung anaknya Teo. Tidak ada salahnya juga kamu menikahi Liani."
"Kan bisa dilakukan tes DNA, anak Teo atau anak Gio." Sahut Mama Agatha cepat.
"Kalau terbukti itu anaknya Teo ya sudah kalian berpisah saja. Biarkan Teo yang bertanggung jawab pada Siti dan anak mereka."
Mama Agatha dan Gio saling pandang.
"Rumah, perusahan, aset-aset kita yang lain diselamatkan Liani dan orang tuanya. Kurang baik apalagi coba untuk kamu jadikan istri. Dia juga tidak pantang menyerah untuk mendapatkan kamu." Lanjut Papa sebelum meninggalkan Mama Agatha dan Gio.
Tidak akan pernah ada selesainya kalau membicarakan tentangnya, Siti, Liani dan Teo.
"Kalau mau bicara soal utang budi. Iya, kita sangat berutang terhadap Liani dan keluarganya. Mama tidak masalah kalau semua itu harus menjadi milik mereka. Yang penting kamu bisa hidup bahagia." Kemudian Gio memeluk Mama Agatha, seorang Mama yang tidak pernah meminta apapun padanya bahkan sampai detik ini.
Tapi sebagai baktinya kepada mereka, apa iya dia harus mau menikahi Liani?.
Gio pernah hidup serba kekurangan dan itu, jujur saja rasanya sangat tidak enak. Masa sekarang Mama dan Papanya harus mengalami nasib yang sama, ini lebih parahnya di hari tua mereka.
Gio baru sempat membuka ponselnya, sudah banyak telepon dan pesan masuk tapi yang selalu ditunggunya tidak pernah menelepon atau mengirim pesan. Bertanya kabarnya di sini.
Kemudian membuka sebuah gambar yang baru saja diterimanya. Jantungnya berdesir ngilu, yang sangat dirindukannya sedang duduk di sebelah Teo yang tengah berbaring di ranjang pasien.
Gio membaca pesan yang dikirimkan Leo dan Jun, yang meminta segera datang menemui Teo yang tengah sakit. Tapi hatinya sudah lebih dulu sangat sakit karena perbuatan pria itu.
Apa yang dilakukan Siti di sana?. Apa sudah menerima Teo? Apa benar itu anaknya Teo?. Pikiran Gio entah ke mana-mana. Semuanya masuk dalam isi kepalanya, Teo, Siti dan tentang mereka.
Siti yang berada di sana tengah menjenguk Teo atas permintaan Jun dan Leo. Bahkan kedua orang itu yang menjemputnya di kontrakan. Hanya karena alasan berbelas kasih dia pun mau datang itu pun ditemani Jun dan Leo.
Tanpa mereka berdua pun Siti tidak mau hanya berdua Teo saja.
Urusan Siti dan Asih belum selesai, masih ada banyak yang ingin Siti tanyakan pada Asih. Sebab di hari mereka bertemu Asih keburu pergi setelah menerima telepon dan langsung menaiki taksi.
Apa maksud dari kata-kata tidak ada orang yang menginginkannya dan anaknya. Jadi anak siapa yang sedang di kandung Asih?. Tiba-tiba saja dia merasa sangat bersalah kepada Asih. Tapi Asih yang lebih dulu menyakitinya. Pembelaannya.
Siti masih berpikir di dalam kontrakan, dia pun mau mencari Asih ke mana karena memang tidak mengetahui tempat tinggalnya yang sekarang. Nomor telepon pun tidak ada, nomor yang sebelumnya sudah tidak bisa dihubunginya.
Sore ini Siti sudah berangkat ke klinik. Mengecek lagi kandungannya. Sejauh ini tidak ada keluhan yang berlebihan, masih aman terkendali walau hanya seorang diri tak ada tempatnya berbagi.
"Asih," panggil Siti saat Asih keluar dari apotik klinik dan dirinya keluar dari ruangan Dokter.
Asih diam di tempatnya, menunggu Siti yang sedang berjalan menghampirinya.
"Kamu cek di sini juga?," Siti sudah tidak semarah sewaktu pertama kali bertemu Asih. Jutsru dia merasa kasihan jika memang itu benar terjadi pada Asih. Tidak diinginkan oleh pria yang telah menghamilinya.
"Biasanya aku cek di Bidan, ini karena kebutuhan USG" Kemudian Asih dan Siti duduk di kursi tunggu.
"Kamu sudah tidak marah lagi padaku?," tanya Asih menatap mata Siti.
"Maafkan aku, ya, Asih. Sebenarnya aku bukan hanya marah padamu saja. Tapi ada beberapa hal yang sudah banyak mengubah hidupku. Jadi maaf aku melampiaskannya sama kamu."
Baru Asih bisa tersenyum setelah kesedihan, hinaan dan cacian yang selalu didapatkannya.
"Kamu 'kan orangnya enggak tegaan juga, Sit. Gampang tersentuh dan percaya sampai bisa aku manfaatkan." Wajah Asih kembali serius.
"Kamu juga sangat baik," Siti memegang tangan Asih yang terlihat sangat gugup.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupmu setelah tidak bekerja lagi di perusahaan?. Bagaimana juga keadaan orang tuamu?."
Asih menarik napas dalam.
"Mereka sudah meninggal." Mata Asih langsung berkaca-kaca. Setelah banyak pengorbanan yang telah dilakukannya justru nyawa kedua orang tuanya tidak dapat diselamatkan.
Semakin erat Siti menggenggam tangannya. "Aku turut berduka."
Asih mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya guna menahan laju kesedihannya. Dia selalu sedih mengingat orang tuanya yang telah meninggal.
"Adikku masuk asmara, biar aku yang memenuhi semuanya. Asalkan dia sekolah yang layak." Asih kembali menarik napas dalam. Kemudian Air matanya menetes.
Siti sendiri yang menghapusnya lalu memeluk Asih. Hidup Asih tak kalah berat darinya, sama-sama terluka dan bersedih. Asih harus kehilangan dua orang tua sekaligus, pasti sangat berat.
"Setelahnya hidupku hancur, sangat hancur." Tangis Asih pecah di alam pelukan Siti. Tangis yang tidak pernah benar-benar keluar, semuanya tertahan karena dia harus kuat untuk dirinya sendiri, sebagai calon Ibu dari bayinya dan sebagai kakak sekaligus orang tua untuk Adiknya.
Sangat berat kesedihan yang harus dijalaninya.
Siti mengusap punggung Asih yang masih terisak.
Setelah Asih tenang, mereka pun pulang ke kontrakan Siti. Melanjutkan cerita yang belum selesai. Mereka dua wanita yang hamil tanpa suami dan tanpa keluarga. Jadi harus saling mendukung dan menguatkan terlepas apa yang telah mereka lakukan.
Siti sudah memaafkan Asih yang berulang kali meminta maaf padanya dengan berurai air mata dan penuh penyesalan. Sampai-sampai Siti merasa ada cerita hidup Asih yang tidak ingin dibagi dengannya.
Sejenak melupakan kesedihan, sebab mereka sadar ada anak dalam rahim masing-masing. Mereka pun makan kebab yang dibeli Siti. Mencoba tertawa di tengah himpitan luka dan duka.
Siti hamil anak Gio
saat kejadian malam kelam yg lalu,AQ yakin bahwa yg tidur dgn Teo bukanlah Siti melainkan Asih
tetap semangat berkarya kak 💪💪🙏🙏
semoga asih n teo dpt karma yg lebih kejam dari perbuatan nya pada siti