NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13. Sebuah Foto

Karin mengemas buku-bukunya kedalam tas, bel istirahat baru saja berbunyi. Seperti biasanya, pada istirahat kedua, ia dan Nia akan menghambur bersama teman-temannya yang lain menuju kantin, mencari makan siang mengganjal perut mereka yang keroncongan . Nia sudah tak sabar menghampiri Karin yang belum selesai berbenah. Menuntut sebuah penjelasan cerita yang baginya masih sangat mengusik dan menggantung.

“Hantu lu, ngikut ke sekolah gak Rin?”

Pertanyaan pembuka yang membuat Karin mengerutkan dahi, lalu terkekeh melanjutkan memasukan pensil pensilnya kedalam kotak pensil.

“Malah ketawa, gue serius nanya ini.”

“Kagak, ya kali hantu ikut sekolah.”

"Ya kali dia pengen pinter. Kan hantu gak punya sekolahan."

Karin menatap Nia yang merengut dan menggerutu. Lalu berdiri dan melangkah keluar kelas. Nia berlari menyusul.

“Rin, lu serius gak sih soal hantu itu?”

“Kalau mau, lu kenalan aja sendiri?”

Karina terus berjalan tak memperdulikan Nia yang merajuk manja menggandeng tangannya.

“Emang bisa gue kenalan ama dia”?

“Bisa aja kalau lu mau?”

“Mau mau mau.”

“Yakin??”

“Emang kenapa? Serem ya mukanya? Bolong sebelah gitu? Mukanya hancur? Matanya ilang satu?”

Karin terbahak bahak mendengar Nia yang asal menebak tentang bagaimana wajah Putri, sahabat hantunya.

Mereka sampai dikantin, membeli masing-masing semangkok bakso dan segelas es jeruk. Lalu duduk mencari tempat nyaman di pojok ruangan yang selalu ramai dijam istirahat.

“Kapan lu mau kenalin gw ke temen hantu lu itu. Siapa namanya?”

“Putri.”

Jawab Karina cuek. Menyeruput es jeruk yang sudah sangat menggoda di siang terik itu.

“Bagus bener namanya.”

Nia menyeruput kuah bakso, tanpa menatap Karina. Nia sebetulnya ragu dengan cerita Karina soal Putri, tapi tidak ada salahnya jika ia mencoba menyelami cerita yang sudah ia dengar dari sahabatnya itu.

“Kalau lu emang serius mau kenalan, gue bisa obrolin dulu sma Putri. Mau gak dia nampakin diri di depan lu.”

“Tapi beneran gak serem kan? Gak jahat kan? Tar jangan -jangan gue dicekek ama tuh hantu. Keeekkk…”

Nia  mempraktikan seolah olah ia tercekik oleh dirinya sendiri dengan kepala yang ia miring-miringkan. Lagi lagi Karina hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya itu.

“Kalau dia suka nyekek kayaknya aku dah mati dari kemaren-kemaren.”

Nia ikut tertawa, melihat sabahatnya itu tertawa. Sekilas tampak Nia menerima dan meyakini semua cerita konyol Karina mengenai teman hantunya, mengenai peristiwa reinkarnasi atau apalah itu namanya yang sampai detik itu belum ia pahami. Tetapi dalam lubuk hati Nia, ada kekhawatiran soal keadaan karibnya itu. Apakah Karina baik-baik saja, entahlah. Nia belum bisa mengerti dengan semua yang terjadi pada Karina.

“Rin, nyokap lu beneran gakpapa, tau lu nyariin bokap lu?”

Nia menghentikan tawanya, memandang Karina dengan serius. Karina mengangguk sambil mengunyah bulatan daging makan siang mereka.

“Nyokap gue udah ngijinin kok.”

Jawabnya setelah menelan bakso pedasnya.

“Hah, udah ngijinin gitu aja?”

“Ya gak lah Ni. Syarat dan ketentuan berlaku tentunya.”

“Trus kapan lu mau ke Bandung?”

“Besok sore. Pulang sekolah.”

“Gue ikut ya?”

Nia menawarkan diri. Ia merasa bersalah karena minggu lalu batal menemani Karina ke Bandung.

“Gak usah. Nyokap lu kan baru aja sehat. Besok-besok aja lagi ya. Lagian gue ditemenin adek gue kok.”

Nia merengut. Sebetulnya ia tak hanya merasa bersalah karena gagal pergi ke Bandung kemarin, tetapi ia juga ikut penasaran dengan apa yang Karina temukan disana.

“Lu tenang aja Nia. Aman kok, ada Dimas.”

Karina mengerti kekhawatiran Nia.

“Tapi lu nginep di rumah tante Rus lagi kan?”

“Gak usah Ni. Gue gak mau ngrepotin tante Rus terus. Lagian gue udah tau kok harus pergi kemana besok. Gak usah khawatir deh.”

“Emang lu mau kemana?”

“Ke alamat rumah nenek gue. Besok gue cari penginapan deket sana.”

Nia menatap Karina, ia tahu jika sahabatnya itu bukan orang yang ceroboh. Karina pasti sudah memikirkan rencananya dengan baik.

“Lu kabarin gue ya kalau ada apa-apa.”

“Iya, pasti.”

“So, kapan lu kenalin gue ama si Putri?”

Uhuk…

Karina yang sedang menyeruput minuman dingin digelasnya mendadak tersedak mendengar pertanyaan Nia. Sepertinya memang Nia sungguh-sungguh ingin bertemu dengan Putri.

“Itu lagi… Ya udah besok siang ikut gue pulang gue kenalin. Sekalian bantu gue beres-beres buat ke Bandung.”

Nia tersenyum lebar, seperti seorang bocah yang berhasil merayu ibunya membeli permen.

“Asik…"

Karina geleng-geleng melihat Nia yang kembali menikmati semangkok bakso dihadapannya dengan senyum merekah dibibirnya.

**

“Ini Dimas.”

Bu Nurma menyerahkan sebuah foto yang mulai memudar, terlipat menjadi empat bagian kepada putranya Dimas.

“Foto apa ini ma?”

“Itu foto pernikahan mama sama papa.”

Dimas menerima foto itu dengan hati berdegup kencang. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat wajah ayahnya, akhirnya. Dalam usia 13 tahun akhirnya ia melihat wajah itu. Dimas membuat foto itu perlahan, hatinya berkecamuk. Ia tak menyangka ibunya masih menyimpan foto pernikahan mereka walaupun sudah dalam kondisi yang tidak lagi terawat.

Nampak disana gambar sepasang pengantin dengan kondisi yang sangat sederhana. Ayahnya memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih didalamnya. Sebuah peci hitam berada diatas kepala. Sementara perempuan disampingnya hanya memakai setelan kebaya hijau toska dengan selendang yang menutupi rambutnya. Tanpa payet, tanpa riasan. Foto ini sama sekali tak seperti foto pernikahan pada umumnya.

“Ini mama sama papa? Foto pernikahan?”

Dimas masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di tangannya. Bu Nurma mengangguk.

“Mama menikah sama papa hanya di KUA saja. Gak ada pesta sama sekali. Bahkan tidak ada tamu yang datang kecuali paman mama yang sekarang sudah meninggal.” Terang bu Nurma, berkaca-kaca.

Dimas menelan ludah, medadak seperti ada bongkahan batu di tenggorokannya. Ia tau bahwa ibunya memang sebatang kara. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal sebelum ia lahir. Bahkan, sebelum ayah dan ibunya menikah. Tapi Dimas tak membayangkan bahwa pernikahan ibunya sesederhana ini. Hanya menikah di KUA dan tak seorangpun yang hadir menyaksikan. Sungguh hidup ibunya tidaklah mudah selama ini.

“Papamu itu anak tunggal, orang tuanya, kakek dan nenekmu itu seorang pemilik toko sembako besar di Ciburial. Dulu mama tinggal sama paman dan bibi di dekat rumah nenekmu. Paman dan bibi mama suka bikin kue kue basah dan dititip titipkan ditoko, salah satunya di toko nenek kalian itu.”

Dimas memperhatikan wajah laki-laki di foto itu sambil mendengar cerita ibunya.

“Mereka dimana sekarang?”

Dimas bertanya sambil melanjutkan makan siangnya berusaha menutupi perasaanya yang campur aduk tak menentu.

“Siapa? Kakek dan nenekmu?”

“Bukan. Paman dan bibinya mama.”

“Oh, mereka sudah meninggal. Rumah mereka juga sudah dijual oleh anak-anaknya yang sekarang ada di Tegal. Tempat asal istrinya paman mama.”

Dimas mengangguk-angguk mengikuti cerita ibunya.

“Kalau kakek dan nenek?”

Bu Nurma menggeleng, lalu meneguk segelas air putih dari tangannya. Menetralisir perasaan hatinya masih juga berdesir setiap mengingat perjalanan hidup dan pernikahannya.

“Mama gak tau. Mama sudah gak pernah denger kabar mereka sejak pindah kerumah ini.”

“Kenapa mama kasih ini ke Dimas, bukan ke kak Karin?”

“Entahlah, mama juga gak tau. Mama Cuma gak siap lihat reaksi kakakmu. Gimanapun, kakakmu punya sedikit memory soal papamu. Dia mungkin akan lebih sedih menerima foto itu. Mama bisa lihatnya. Kamu aja yang kasih ke kakakmu.”

Bu Nurma beranjang keteras depan. Meraih gagang sapu dan berusaha membuang risau hatinya dengan menyapu teras depan rumahnya.

Dimas melanjutkan makan siangnya, walaupun pikiranya mengawang, bagaimana cara dia menunjukan foto ini pada kakaknya, Karina yang siang itu belum pulang sekolah.

Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul 13.30 WIB. Masih ada sekitar setengah jam sebelum jam kepulangan Karin, hari Jum’at memang mereka pulang lebih awal. Masih ada waktu untuk Dimas berfikir tentang foto itu, sembari bersiap diri karena sore itu, ia dan kakaknya akan kembali ke Bandung. Mencari jejak Budiman, ayahnya.

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!