NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:570
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Khataman yang Tak Terlupakan

Selain berkunjung ke Sungai Musa untuk refreshing yang menenangkan jiwa, Haisya dan teman-temannya juga menyempatkan diri berziarah ke makam para ulama besar di Kairo dan sekitarnya. Kunjungan itu bukan sekadar rekreasi, melainkan sebuah bentuk penghormatan dan pencarian keberkahan. Mereka datang untuk sekadar mengirimkan bingkisan Al-Fatihah dan berdoa, memohon agar hasil imtihan yang sudah mereka jalani mendapatkan najah (kesuksesan) yang diharapkan.

Makam ulama yang mereka kunjungi adalah makam-makam di kompleks pemakaman Imam Syafii di Darasah, sebuah area yang menyimpan jejak sejarah keilmuan Islam yang begitu kaya. Mereka juga berziarah ke kompleks pemakaman Sayyidah Aisyah, putri Abu Bakar Ash-Shiddiq, istri Nabi Muhammad SAW, tempat yang memancarkan ketenangan dan spiritualitas.

Berbeda sekali dengan makam para Wali di Tanah Air, seperti di Jawa, yang seringkali ramai dan dikelilingi oleh pedagang makanan, souvenir, hingga peziarah yang membludak, makam-makam di Kairo cenderung sepi. Suasana di sana lebih khidmat, hanya terdengar bisikan doa dan lantunan ayat suci dari beberapa peziarah yang datang. Perbedaan ini memberikan pengalaman ziarah yang unik bagi Haisya.

Usai melakukan berbagai aktivitas rihlah dan ziarah yang memadukan rekreasi dan spiritualitas, mereka kembali ke sa’ah atau bu’uts (asrama) masing-masing. Begitu sampai di kamarnya, Haisya membersihkan badannya yang terasa lengket setelah seharian beraktivitas di luar. Air hangat membasuh lelahnya. Setelah itu, ia berbaring sejenak di ranjangnya yang sederhana, memejamkan mata untuk meluruskan punggungnya yang pegal. Kelelahan fisik mulai terasa, namun semangatnya tetap membara.

Hari ini adalah hari Kamis, dan dengan bergantinya waktu, tepatnya adalah malam Jumat dalam penanggalan Hijriah. Para abid (ahli ibadah) percaya bahwa malam Jumat mempunyai nilai lebih dibanding malam lainnya, sebuah keberkahan khusus. Mereka memaksimalkan malam ini dengan berbagai ibadah: membaca Al-Quran, berzikir panjang, dan memperbanyak shalat sunnah, mengisi 'rajanya' hari ini dengan ketaatan. Sebagian orang bahkan memanfaatkan malam Jumat untuk rapalan-rapalan doa tertentu yang diyakini mustajab.

Usai melaksanakan shalat Isya, Haisya membuka gawainya yang sedari pagi belum ia sentuh. Layar yang menyala terang menampilkan notifikasi. Terdapat satu pesan chat yang belum terbuka, datang dari nomor yang baru saja ia kenal—Muhammad Rifa'i.

***

Pesan Mengejutkan dan Persiapan Khataman

Pesan Chat M. Rifa’i, 18.00: Assalamualaikum.

M. Rifa’i, 18.00: Haisha, ini M. Rifa’i.

M. Rifa’i, 18.02: To the point aja ya, jadi gini, Syekh Abdullah mengamanahkan untuk menyampaikan kabar bahwa beliau ada urusan pekan depan, jadi kemungkinan tidak bisa mengadakan kelas denganmu. Beliau memintamu agar dapat menyetorkan hafalan tahfidz mu nanti malam.

M. Rifa’i, 18.03: Ditunggu di Masjid Al-Azhar seperti biasa. Ma’an najah!

"APAH! Malam ini?!" Haisya sangat terkejut membaca pesan dari Muhammad Rifa’i tersebut. Matanya membelalak lebar, tak percaya dengan waktu yang begitu mendadak. Malam ini? Secepat itukah? Ia memang sudah mempersiapkan diri dengan intensif untuk khataman Al-Quran, namun tidak menyangka akan secepat ini. Jantungnya berdebar lebih kencang. Lantas, tanpa buang waktu, ia meraih mushaf Al-Qurannya dan membaca sekilas beberapa halaman terakhir hafalannya, memastikan kemantapan dan kelancaran. Setelah itu, dengan jari yang sedikit gemetar, ia membalas chat Rifa'i, orang yang belum lama ia kenal, yang kini menjadi penghubung penting baginya.

"Waalaikumsalam wr.wb."

"Iya, makasih, Akhi, setengah jam lagi saya sampai."

"Oke saya tunggu," balas Rifa'i dengan cepat, sebuah respons yang membuat Haisya semakin terkejut.

"Apa dia tunggu? Memangnya dia juga ikut menyimak?" Haisya merasa terkejut dengan jawaban Rifa'i yang seolah menunjukkan ia akan ikut hadir dalam prosesi khataman-nya. Rasa gugup bercampur penasaran mulai menyelimuti dirinya. "Ah, sudahlah," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Ini bukan saatnya memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah mempersiapkan diri dengan baik. Haisya langsung mengambil tasnya, memastikan mushaf dan perlengkapan lainnya sudah di dalam, dan bergegas pergi menjumpai mereka di masjid.

***

Momen Bersejarah di Masjid Al-Azhar

Haisya tampil menawan malam itu, meskipun dengan kesederhanaan yang menjadi ciri khasnya. Ia mengenakan gamis berwarna putih bersih yang menjuntai anggun, dipadukan dengan hijab panjang berwarna maroon yang menjulur menutup sebagian besar tubuhnya. Perpaduan warna putih dan maroon, warna kebanggaan bendera Indonesia, seolah memberikan semangat dan keberanian bagi Haisya untuk mengharumkan citra bangsanya di negeri orang. Ia tampil apa adanya, tanpa riasan wajah atau segala aksesori berlebihan seperti yang dipakai wanita pada umumnya, namun kecantikan alaminya terpancar jelas, memancarkan aura ketenangan dan kesalihan.

Sesampainya di Masjid Al-Azhar, Haisya melepas alas kakinya di area pintu masuk, merasakan dinginnya lantai marmer di telapak kakinya. Ia langsung menuju ke midhoah (tempat wudhu) untuk mensucikan diri, mengambil wudhu dengan khusyuk. Setelah berwudhu dan merapikan jilbabnya, ia melangkah masuk ke bagian tengah masjid, tempat cahaya lampu temaram memantul di pilar-pilar kokoh, menciptakan suasana sakral.

"Masya Allah," betapa terkejutnya Haisya ketika pandangannya menyapu seisi ruangan. Bukan hanya Syekh Abdullah yang berada di sana, melainkan banyak insan lain yang telah duduk menunggu dirinya. Ada Syekh Hamdan, Syekh Naqib, dan beberapa pemuda serta pemudi lainnya, termasuk Fa’i (Muhammad Rifa’i) yang juga akan menyimak prosesi khataman Al-Quran yang akan dilakukan Haisya. Ini bukan sekadar setoran hafalan biasa; ini adalah sebuah ujian besar di hadapan para ulama dan penghafal Al-Quran, sebuah momen yang menentukan.

Ketika Haisya melangkah masuk lebih dalam, semua mata menoleh ke arahnya, mengikuti setiap gerakannya. Seketika pipi Haisya memerah padam seperti kepiting rebus, menahan rasa malu bercampur gugup yang luar biasa. Ia merasakan semua pandangan tertuju padanya.

"Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga," perkataan Rifa’i, yang diucapkan dengan senyum lebar dan suara yang menenangkan, sukses mengejutkan Haisya sekaligus sedikit menghilangkan rasa tegangnya. Ia melangkah maju, mengambil tempat duduk yang telah disediakan khusus untuknya.

"Assalamualaikum, afwan ana aftakhkhur! (Assalamualaikum, maaf saya terlambat!)" ucap Haisya dengan suara yang sedikit bergetar, namun jelas.

"Laa ba’sa! (Tidak apa-apa!)" jawab semua hadirin dengan serentak, membuat Haisya merasa sedikit lebih tenang dan disambut. Haisya duduk, mengambil napas dalam, memejamkan mata sejenak, dan segera memulai melafalkan ayat-ayat Al-Quran.

"Audzubillah Himinas syaithonirrojim… Bismillahirrohmanirrohim… Alhamdulillahirobbil ‘alamin…."

Haisya memulai dengan surah Al-Fatihah. Suaranya begitu jernih, merdu, dan indah. Lantunan ayat-ayat suci itu memenuhi seisi masjid, menciptakan suasana syahdu yang menghanyutkan jiwa. Para akhwat yang hadir terkagum-kagum dengan keindahan suara yang dimiliki Haisya, beberapa bahkan tampak menahan napas, tak ingin melewatkan satupun ayat. Para syekh yang menyimak merasa bangga, mengangguk-angguk setuju dengan kefasihan dan tajwid Haisya yang sempurna. Sedangkan para ikhwan terkagum dengan keanggunan, kesalehan, dan keteguhan hati yang terpancar dari diri Haisya. Rifa’i, yang duduk di antara para penyimak, tersenyum kecil kepada Haisya, tatapannya penuh apresiasi dan kekaguman.

Semua hadirin dan hadirat (jemaah wanita) menyimak bacaan itu dengan tenang dan khusyuk. Konsentrasi tinggi terpancar dari wajah mereka. Beberapa hadirat ada yang meninggalkan tempat itu untuk beristirahat sebentar dan bergantian dengan hadirat lainnya yang belum mengantuk dan mampu menyimak bacaan Haisya hingga akhir, menunjukkan dukungan tanpa henti. Malam semakin larut, namun semangat tak surut.

"…minal jinnati wannas. Shadaqallahul adzim."

Haisya mengakhiri bacaan juz terakhirnya. Detik itu, jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari waktu Kairo. Haisya telah menyelesaikan setoran hafalan 30 juznya. Sesi dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh Syekh Abdullah, sebuah doa yang panjang, penuh harap, dan syukur atas karunia Allah. Kemudian, dilanjutkan dengan pemberian ijazah tahfidz Quran kepada Haisya, secara resmi menobatkannya sebagai seorang hafizah (penghafal Al-Quran).

Tepat pukul 02.25 GMT+2 (waktu Kairo), pada hari Jumat, 17 Juli 2027, di Masjid Al-Azhar yang bersejarah di Kairo, Mesir, Haisya resmi menjadi seorang akhwat penghafal dan penjaga kitab suci Al-Quran. Sebuah momen yang tak akan pernah ia lupakan, puncak dari perjuangan panjangnya. Haisya langsung sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, menempelkan dahinya ke lantai, air mata membasahi pipi chubby miliknya. Air mata kebahagiaan, rasa syukur, dan kelegaan yang tak terhingga. Semua yang menyaksikan ikut terharu dan senang atas kesuksesan Haisya, beberapa mata tampak berkaca-kaca, merasakan aura keberkahan yang terpancar.

"Shallallahu ‘ala Muhammad!"

"Ya robbi sholli ‘alaih!"

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Gema sholawat dan takbir dikumandangkan oleh para hadirin, menghidupkan malam yang hening, mengisi setiap sudut masjid dengan getaran spiritual. Suara-suara itu seolah merayakan peristiwa paling membahagiakan serta bersejarah bagi Haisya, momen yang akan ia kenang sepanjang hidupnya.

Doa kafaratul majelis kembali dibacakan, mengakhiri seluruh rangkaian acara. Mereka yang hadir kini memiliki pilihan. Ada yang tetap beritikaf di masjid, menghabiskan sisa malam dengan ibadah dan munajat. Ada pula yang melanjutkan dengan shalat qiyamul lail (shalat malam) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, sebagian besar memutuskan untuk pulang dan kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat, tubuh mereka juga butuh jeda setelah malam yang panjang.

***

Pulang dan Pertemuan Tak Terduga

Haisya merasa sangat letih setelah seharian bertamasya dengan teman-temannya, dan malamnya, ia tidak memejamkan mata barang sebentar pun. Dimulai pukul 20.30 hingga 02.00 CLT (Cairo Local Time), ia habiskan untuk menyetorkan hafalan dan beribadah. Kini, dengan status hafizah yang baru disandangnya, Haisya hendak pulang, tubuhnya mendambakan istirahat. Namun, tepat di depan masjid, saat ia baru saja akan melangkah keluar, seseorang memanggilnya.

"Haisya… ukhti Haisya!" Suara itu. Orang itu berlari mendekati Haisya, dengan senyum ramah di wajahnya.

"Ya… ada apa?" Haisya menoleh, mengenali suara itu sebagai Rifa’i.

"Selamat ya untuk gelar hafizah-nya," ucap Rifa'i tulus, matanya memancarkan kebanggaan.

"Syukron, tapi maaf saya tidak menginginkan gelar itu diletakkan dan digabungkan dengan nama saya," jawab Haisya dengan sopan, namun tegas. Ia lebih memilih kesederhanaan dan keikhlasan dalam menjaga Al-Quran, tanpa embel-embel gelar.

"Oh, oke, tidak masalah," Rifa'i memahami, mengangguk. Ia menghargai pendirian Haisya. "Mau pulang kan? Mari saya antarkan!" Rifa’i berbalik dan berjalan mendahului Haisya menuju area parkir.

Sesampainya di parkiran mobil, rupanya Rifa’i tersadar bahwa Haisya masih diam di tempat semula, tidak mengikutinya. Ia menoleh ke belakang, melihat Haisya berdiri ragu.

"Ayo, tunggu apa lagi?" Rifa'i tersenyum lembut, mencoba meyakinkan. "Tidak usah ragu, saya tidak akan melakukan apa-apa kepadamu, saya hanya ingin memastikan bahwa kamu aman sampai rumah. Ini masih gelap, tidak baik seorang wanita melakukan perjalanan sendirian di luar rumah pada jam segini." Akhirnya Haisya menurut, hatinya sedikit luluh dengan perhatian Rifa'i. Ia mengangguk dan masuk ke dalam mobil Rifa’i.

Di dalam mobil, suasana hening. Tak ada satupun yang mau memulai pembicaraan. Kelelahan dan rasa canggung bercampur menjadi satu. Rifa'i menyalakan radio. Tiba-tiba, lirik lagu mengalun lembut memenuhi kabin mobil:

Lirik Lagu: Kuasamu

Dalam keheningan, ku bersimpuh

Kubuka lembaran-lembaran kitab-Mu

Ku temukan damai membaca sabda-Mu

Tuhan, ku memohon, Tuhan ku memohon

Pancarkan cahaya di hidupku

Tuhan… Aku percaya

Engkau pasti telah merencanakan

Yang terbaik untuk diriku

Agar aku tak jatuh, dan selalu ada dijalanMu

Tak perlu ku lihat, tanpa ku mendengar

Dapat kurasakan, selalu kurasakan

Betapa besarnya kuasaMu Tuhan…

Haisya membuka matanya lebar-lebar ketika mendengar Rifa’i menyetel lagu itu. Sebuah lagu Indonesia! Ia terus menatap Rifa’i yang sedang menyetir dengan tatapan dalam, penuh keheranan.

"Kenapa?" Rifa’i yang merasa diperhatikan, menoleh ke arah sang pemilik mata yang sedari tadi meliriknya. Ia menangkap tatapan bingung Haisya.

"Itu… itu lagu KUASAMU, kan?" tanya Haisya, suaranya sedikit ragu.

"Iya, terus kenapa?" Rifa'i mengernyitkan dahi, tidak mengerti keheranan Haisya.

"Itu lagu Indonesia," ujar Haisya heran, menunjuk dashboard.

"Terus masalahnya kenapa?" Rifa'i tersenyum geli.

"Tapi kamu kan orang Arab," kata Haisya, mengungkapkan kebingungannya.

"Ha ha ha, oh ya aku lupa belum mengatakannya," Rifa'i terkekeh, tawa kecilnya memecah keheningan. "Jadi gini, aku orang Indonesia, sama sepertimu. Aku tinggal di sini karena ikut kakek dan nenekku, rumah mereka di kawasan dekat Masjid Asyrof. Aku juga mahasiswa di Universitas Al-Azhar, tapi sudah semester atas." Rifa’i menjelaskan, akhirnya membuka rahasia kecilnya.

"Oh, berarti kamu senior saya," simpul Haisya, rasa terkejutnya berganti menjadi rasa lega dan akrab.

"Ya, mungkin begitu," Rifa'i tersenyum simpul, kembali fokus ke jalanan yang mulai sepi.

"Akhi juga seorang hafiz ya?" tanya Haisya lagi, tiba-tiba teringat pengamatan saat khataman tadi.

"Tahu dari mana?" Rifa'i sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.

"Soalnya ketika saya menyetorkan surah-surah dalam Al-Quran, saya lihat antum (Anda/kakak) juga mengikuti bacaan saya dan antum hafal," jawab Haisya polos.

"Hmm… hanya hafal beberapa surah saja kok," Rifa'i merendah, tersenyum kecil.

"Ah, masa?" Haisya tak percaya begitu saja.

"Nggak percaya?"

"Iya percaya kok, antum cuma hafal 114 surah kan?" Haisya menggodanya, tertawa kecil.

Rifa’i hanya tersenyum simpul dan kembali fokus ke jalanan yang sepi. Ia mengemudikan mobilnya lumayan cepat, membawa Haisya pulang di bawah langit Kairo yang masih gelap, namun kini terasa sedikit lebih hangat dengan obrolan tak terduga ini.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!