Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Semua orang bersyukur dan menyambut penuh sukacita berita kehamilan Nisa, termasuk keluarganya di kampung. Kabar itu membuat orang tua dan saudara-saudaranya lega sekaligus turut bahagia dan mereka mengirimkan doa dan ucapan selamat lewat telepon.
Keesokan harinya, sekitar pukul dua belas siang, Nisa sudah pulang ke rumah suaminya. Untungnya, Dian belum pulang karena masih berada di Jakarta sehingga kedekatannya dengan Azhar, suaminya, tidak perlu takut-takut akan ketahuan.
Selama seminggu Nisa diminta bedrest dan tidak melakukan pekerjaan berat apa pun. Azhar benar-benar menjaga dan melarangnya melakukan aktivitas yang bisa membahayakan calon bayi kembarnya.
“Sayang, jangan angkat barang-barang dulu ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kalian,” ujar Azhar sambil membawakan segelas susu untuk Nisa.
“Iya Mas, Insya Allah aku jaga. Aku juga nggak mau ada apa-apa sama mereka,” jawab Nisa lembut sambil mengelus perutnya.
Nisa sudah berjanji kepada suaminya, dua atau tiga hari setelah Dian kembali dari Jakarta, ia akan berpamitan pulang ke kampung halamannya dan resign dari pekerjaannya sebagai pengasuh Bilqis dan Berliana.
Hari ini Nisa sudah bisa kembali mengantar jemput kedua anak sambungnya seperti yang ia rencanakan sebelum terjatuh dan harus dirawat di rumah sakit.
Bilqis juga terlihat tak lagi senakal sebelumnya, lebih patuh kepada Nisa yang setiap hari mengajarkan hal-hal baik kepadanya.
Pagi itu Nisa mengantar Bilqis ke sekolahnya bersama Berliana. Meskipun Bilqis sudah kelas 1 SD dan Berliana baru masuk TK, mereka sekolah di area yang sama.
Hal itu bertujuan untuk memudahkan Nisa untuk mengawasi dan menjaga kedua anak sambungnya itu.
Nisa sempat menatap mereka dengan senyum penuh harap. “Nak, kalian harus jadi anak yang pintar ya. Jangan kaya Mama dulu…” batinnya.
Namun Nisa dibuat tak percaya setelah mendapat kabar langsung dari ibu kepala sekolah. Ia tercengang dan terkejut.
“Serius, Bu? Bilqis sama Berliana… selama ini nggak pernah benar-benar masuk sekolah?” suaranya bergetar.
Bu Intan, kepala sekolah itu, mengangguk pelan. “Bilqis dan Berliana memang sekolah di sini, Bu Nisa, tapi hanya nama mereka yang terdaftar. Bu Retno dan Bu Dian hanya mendaftarkan nama mereka saja. Masalah biaya sekolah pun belum dibayar dan dilunasi. Kami nggak sempat bertemu langsung dengan orang tua kandungnya.”
“Astaghfirullah aladzim…” Nisa menutup mulutnya dengan tangan. “Jadi satu semester ini baru terhitung dua mingguan mereka hadir di sekolah?” tanyanya ingin memastikan.
“Iya Bu, dan biaya bulanan sekolahnya pun belum dilunasi oleh Bu Retno,” imbuh Bu Intan.
Nisa tak lupa merekam pembicaraan itu dan mengirimkan langsung pesan itu ke nomor HP suaminya, agar hal ini bisa ditindaklanjuti.
Ia berharap suaminya bisa bertindak tegas terhadap kelakuan ibu mertuanya yang mengambil semua uang pembayaran Bilqis dan Berliana tapi melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang nenek.
“Pantesan perkara doa harian pun tak diketahui oleh Bilqis dan Berliana,” batin Nisa. “Letak kesalahan bukan gurunya melainkan Bu Retno yang telah menyebabkan semua ini.”
Bu Intan menatap Nisa penuh simpati. “Semoga ke depannya anak-anak Pak Azhar bisa mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya. Kami berharap dengan bantuan Ibu sebagai pengasuhnya, kami pihak sekolah meminta kerjasamanya. Kasihan mereka sudah besar tapi belum mendapat pendidikan yang layak.”
“Insha Allah, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk mereka. Terima kasih banyak atas informasinya,” ucap Nisa sebelum meninggalkan ruangan kepala sekolah.
Di luar, Nisa masih tidak habis pikir. “Ya Allah… masalah mendidik dan membesarkan anak-anak, kok malah dianggap enteng sama neneknya…” gumamnya sambil mengusap perutnya yang semakin terlihat buncit.
“Ya Allah, semoga dengan ketahuannya kekurangan dan kejelekannya Bu Retno, Bilqis semakin terarah dan berubah. Aku sedih dan nggak tenang mau pulang kampung meninggalkan kalian berdua, Nak. Tapi demi ketiga calon anak-anakku, aku terpaksa meninggalkan kalian sebentar…” ia menarik napas panjang.
Nisa melangkah ke arah kelas Berliana. Dari balik kaca ia memperhatikan anak sambungnya itu belajar.
“Ya Allah, jadikanlah Berliana anak yang sehat sempurna, berakal cerdas, berilmu lagi beramal,” cicitnya pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
Ia tersenyum sambil bermonolog dalam benaknya,”Karakter Berliana jauh berbeda dengan Bilqis. Mereka seperti dua orang asing yang tak punya hubungan darah.”
“Ya Allah, mudahkanlah urusan anak-anak kami dalam menuntut ilmu. Berikanlah mereka kecerdasan, pemahaman, dan keberkahan dalam belajar,” doa Nisa dalam hati.
Ia mengusap perutnya penuh kasih sayang. “Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak-anak yang saleh, penghafal Al-Qur’an dan Sunnah, paham agama, dan berkahilah hidup mereka di dunia dan akhirat.”
Nisa membuka aplikasi Al-Qur’an digitalnya karena Al-Qur’an kecilnya tertinggal di tas satunya.
Dia berniat mengaji sambil menunggu kepulangan anak-anaknya. Surah Yusuf, Yasin, Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Baqarah dan beberapa surah lainnya ia baca demi kebaikan bersama.
Doanya ditutup dengan doa untuk calon bayi kembarnya, “Ya Allah, bentuklah ia di dalam perutku dengan bentuk yang bagus. Tetapkanlah hatinya untuk beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu. Ya Allah, keluarkanlah dia dari perutku pada waktu persalinannya dengan mudah dan selamat.”
Nisa memilih memanfaatkan waktu dengan mengaji daripada ikut bergosip dengan beberapa orang tua murid di halaman sekolah.
Beberapa jam kemudian, Azhar sudah datang untuk menjemput anak dan istrinya.
Nisa berdiri, menyapa suaminya yang baru datang. Ia hendak masuk ke dalam mobil di jok depan, tapi tiba-tiba Bilqis berteriak lantang.
“Tante Nisa nggak boleh duduk di depan! Itu tempat duduk Mama Dian!” teriaknya histeris hingga membuat beberapa orang memperhatikan mereka.
Azhar langsung menoleh kaget. “Bilqis, kenapa sayang?”
Berliana menatap kakaknya dengan bingung. “Kak, kenapa sih? Kan Tante Nisa yang jaga kita…”
“Aku nggak suka tempat duduknya Mama dipakai sama Tante Nisa!” Bilqis kembali berteriak sambil menahan tangis.
Azhar menarik napas panjang lalu membuangnya dengan sedikit kasar, “Astaghfirullahaladzim! Bilqis, Tante Nisa nggak apa-apa kok kalau duduk di depan. Tante Nisa kan yang menjaga kamu sama adik, jadi wajar dia duduk di samping Papa.”
“Enggak! Itu tempat Mama!” Bilqis memelototkan mata, tangannya mengepal.
Nisa kesulitan menelan ludahnya saking terkejutnya melihat respon dari anak sambungnya, wajahnya memerah.
“Mas, aku duduk di belakang aja deh…” bisiknya lirih yang tak mau memperpanjang perdebatan.
Azhar menoleh ke Nisa, wajahnya menahan kesal. “Nggak, Sayang. Kamu duduk di sini aja. Bilqis harus belajar sopan.”
Bilqis langsung memalingkan wajah dan menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak mau! Aku benci Tante Nisa!” suaranya meninggi.
Nisa menahan air mata, berjongkok di depan Bilqis. “Nak…” suaranya pelan.
“Tante Nisa sayang sama kamu. Tante nggak mau ngerebut tempat Mama. Tante cuma mau kamu dan adek aman. Boleh ya Tante duduk di depan sebentar?”
Bilqis tampak ragu, bibirnya bergetar. “Tapi… Mama marah nanti…”
Azhar memegang bahu anaknya. “Bilqis, Papa yang urus Mama. Kamu nggak usah takut. Sekarang kita pulang dulu, ya?”
Berliana ikut bicara, memegang tangan kakaknya. “Kak, yuk pulang. Aku laper…”
Suasana jadi hening. Bilqis menunduk. Azhar menarik napas, lalu membuka pintu belakang untuk Bilqis. “Ayo masuk dulu. Papa capek.”
Nisa akhirnya memilih duduk di depan seperti biasa, meski hatinya terasa perih. Dalam hati ia berdoa agar Bilqis kelak melunak dan menerima kehadirannya dengan ikhlas.
Mobil pun berjalan perlahan meninggalkan halaman sekolah. Di kursi belakang Bilqis diam, menatap keluar jendela. Berliana menyandarkan kepalanya di bahu kakaknya.
Azhar menatap sekilas ke arah kaca spion, melihat wajah Nisa yang menahan banyak perasaan.
“Mas…” suara Nisa pelan, nyaris berbisik. “Aku takut makin lama anak-anak makin benci sama aku…”
Azhar menggeleng, menatapnya penuh tekad. “Selama aku ada, aku nggak akan biarin kamu disakiti, Sayang. Kita perbaiki semuanya pelan-pelan.”
Nisa menatap jalan di depan, mengelus perutnya yang kian membesar. Dalam hatinya ia mengulang doa yang tadi ia panjatkan.
Semoga anak-anak ini, termasuk bayi kembar dalam kandungannya, kelak menjadi anak-anak yang baik dan saling menyayangi satu sama lain.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor