NovelToon NovelToon
Bukan Karena Tak Cinta

Bukan Karena Tak Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan Berat Pun Diambil

Teriakan Suryani, Bu Resti, dan Diana semakin memekakkan telinga, menciptakan kegaduhan yang luar biasa di pagi hari itu. Ketiga wanita itu kini saling berteriak, mendorong, dan bahkan ada beberapa jambakan rambut yang luput dari pandangan. Diana, dengan kebaya mahalnya, tak mau kalah dengan Bu Resti yang berteriak-teriak. Suryani, sebagai ibu, membela mati-matian putrinya yang terus difitnah.

"Dasar muka tembok! Nggak tahu malu!" teriak Bu Resti pada Suryani, lalu melirik Diana. "Eh, nenek-nenek gatel! Ikut campur saja urusan orang!"

Apa katamu?! Nenek gatel?!" Diana membelalakkan mata. "Kamu itu yang tukang fitnah! Mulut busuk!"

"Anakku lebih baik dari menantu jalangmu itu!" balas Suryani, menunjuk Diana. "Mentang-mentang punya menantu kaya, jadi sombongnya selangit!"

Suasana nampak kacau. Beberapa ibu-ibu yang tadinya hanya menjadi kompor, kini semakin sibuk merekam kejadian itu dengan ponsel mereka. Ini adalah tontonan gratis yang lebih seru dari sinetron. Di kejauhan, anak bayi menangis heboh, menambah riuh suasana.

Dari ujung gang, Tarman dan Pak RT berlari tergesa-gesa. Mereka sudah mendengar keributan itu dari jauh. Wajah Tarman memerah padam melihat istrinya kembali terlibat keributan. Pak RT, dengan napas terengah-engah, segera menerobos kerumunan.

"Ibu-ibu! Cukup! Cukup!" teriak Pak RT, suaranya berusaha mengatasi kebisingan. Ia mencoba memisahkan Suryani dan Bu Resti yang kini saling dorong di dekat selokan.

Tarman segera menarik lengan istrinya. "Ibu! Astaga! Jangan bikin malu, Bu!"

Suryani memberontak. "Biarkan, Pak! Mulutnya Bu Resti ini harus dijahit! Dia terus-terusan memfitnah Novia!"

"Betul itu, Pak RT! Ini si Diana juga ikut-ikutan menghina!" tambah Bu Resti, menunjuk Diana yang kini sedang membenarkan letak sanggulnya yang sedikit miring.

Diana mendengus. "Saya hanya mengatakan kebenaran!"

Pak RT menggelengkan kepala. Ia kewalahan. Ketiga wanita itu saling adu argumen, sama-sama tak mau mengalah. Pak RT berusaha melerai, meminta warga untuk tidak merekam, dan mencoba menenangkan bayi yang menangis. Namun, usahanya sia-sia.

"Dengar sini, Ibu-ibu!" Pak RT meninggikan suara. "Kita ini hidup bertetangga! Jangan sampai ada keributan seperti ini lagi! Ini sudah mengganggu kenyamanan warga!"

Namun, perkataan Pak RT seolah tak mempan. Suryani, Bu Resti, dan Diana terus saling serang dengan kata-kata pedas. Kegaduhan semakin menjadi.

Tarman akhirnya memutuskan untuk menarik Suryani menjauh dengan paksa. "Sudah, Bu! Kita pulang saja! Tidak ada gunanya meladeni mereka!"

Suryani menatap Bu Resti dan Diana dengan tatapan penuh dendam, lalu membiarkan Tarman menariknya pulang. Bu Resti dan Diana masih saling melontarkan ejekan satu sama lain, meskipun Suryani sudah dibawa pergi. Suasana perlahan mereda, namun ketegangan masih terasa pekat di udara. Kejadian ini akan menjadi bahan gosip panas untuk beberapa waktu ke depan.

****

Di dalam ruang kepala sekolah, ketegangan terasa begitu pekat. Bu Desi berdiri di hadapan Pak Marzuki, suaminya, dengan wajah merah padam dan mata melotot. Ia baru saja selesai memaki Novia di koridor, dan kini amarahnya beralih sepenuhnya pada suaminya.

"Aku tidak mau tahu, Mas! Kamu harus pecat perempuan itu sekarang juga!" teriak Bu Desi, suaranya melengking tajam. Tangannya terangkat, lalu menggebrak meja Pak Marzuki dengan keras. Brak! Suara gebrakannya menggema di ruangan, membuat beberapa berkas di meja sedikit bergeser.

Pak Marzuki menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia menatap istrinya dengan tatapan lelah. "Desi, sudah saya bilang, semua yang kamu dengar itu tidak benar. Novia tidak bersalah."

"Tidak bersalah bagaimana?!" Bu Desi tertawa sinis. "Kamu pasti sudah dipelet sama dia! Makanya kamu buta! Aku melihat sendiri dia genit padamu! Dia itu wanita penggoda, Mas! Tidak pantas dia mengajar di sekolah ini!"

Bu Desi melipat tangan di dada, menatap Pak Marzuki dengan sorot mata mengancam. "Dengar baik-baik, Mas. Kalau kamu tidak memecat Novia, aku akan menggugat cerai kamu! Aku tidak mau punya suami yang membela pelakor! Aku tidak mau rumah tangga kita hancur karena perempuan murahan itu!"

Ancaman cerai itu bagaikan pukulan telak bagi Pak Marzuki. Ia terdiam, dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, ia tahu Novia tidak bersalah dan adalah guru yang berdedikasi. Memecatnya berarti mengorbankan integritas dan keadilan. Di sisi lain, ancaman cerai dari istrinya adalah hal serius yang bisa menghancurkan rumah tangganya dan reputasinya sebagai kepala sekolah.

"Desi, jangan gegabah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Jangan sampai masalah ini merusak segalanya," pinta Pak Marzuki, mencoba melunakkan hati istrinya.

"Tidak ada bicara baik-baik! Pilih, Mas! Aku atau perempuan itu?!" desak Bu Desi, nadanya tak terbantahkan. "Kalau dia masih mengajar di sini, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah kita! Aku akan pulang ke rumah orang tuaku!"

Di luar ruang kepala sekolah, Bu Rita menempelkan telinganya ke pintu. Ia menguping setiap kata yang terlontar dari dalam. Senyum menyeringai puas terukir di bibirnya saat mendengar suara gebrak meja dan ancaman cerai dari Bu Desi.

"Rasakan kau, Novia!" bisik Bu Rita pada dirinya sendiri. "Pasti kamu akan dipecat! Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu kali ini!"

Bu Rita membayangkan Novia yang akan hancur lebur, kehilangan pekerjaan, dan tak punya tempat lagi. Itu adalah pemandangan yang paling ia dambakan. Ia tahu, Pak Marzuki pasti akan memilih istrinya daripada Novia. Ancaman cerai adalah kartu As yang tak bisa ditolak.

Di dalam ruangan, Pak Marzuki masih terdiam, memikirkan keputusannya. Novia, yang entah bagaimana bisa merasakan ketegangan di ruang kepala sekolah itu, hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi. Ia sudah terlalu lelah untuk melawan takdir. Ia hanya bisa berharap, apapun keputusan Pak Marzuki, ia bisa menghadapinya dengan tabah.

****

Hati Pak Marzuki terasa hancur. Di satu sisi, ia tahu Novia adalah guru yang berdedikasi dan tidak bersalah. Di sisi lain, ancaman Bu Desi untuk menggugat cerai dirinya, ditambah dengan kemungkinan keributan yang akan semakin memanas, membuatnya terpojok. Ia menghela napas panjang, menatap istrinya yang masih menunggu jawaban dengan tatapan menuntut.

"Baiklah, Desi," ucap Pak Marzuki, suaranya terasa berat. "Saya akan memecat Novia."

Senyum kemenangan langsung merekah di wajah Bu Desi. "Bagus, Mas! Itu baru suamiku!" Ia memeluk Pak Marzuki erat, seolah tak ada masalah yang terjadi di antara mereka.

Pak Marzuki kemudian memanggil Novia ke ruangannya. Wajahnya terlihat murung dan penuh penyesalan. "Novia," katanya, "Saya... saya minta maaf. Dengan berat hati, saya harus membiarkan kamu pergi dari sekolah ini."

Novia menunduk. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Hatinya perih, namun ia mencoba menerima kenyataan. "Baik, Pak. Saya mengerti," ucapnya lirih.

"Ini bukan karena kesalahanmu, Novia," tambah Pak Marzuki, suaranya terdengar tulus. "Ini demi kebaikan semua pihak. Saya... saya tidak punya pilihan lain."

Novia mengangguk pelan. Ia tahu, Pak Marzuki pasti berada di bawah tekanan besar. Ia tidak menyalahkan kepala sekolahnya.

****

Dengan hati yang hancur, Novia kembali ke ruang guru. Ia mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam sebuah kardus kecil. Buku-buku, alat tulis, dan beberapa foto kenangan ia masukkan dengan gerakan lesu. Setiap barang yang ia sentuh seolah mengingatkannya pada dedikasinya yang kini harus berakhir.

Dari kejauhan, Bu Rita menatapnya dengan senyum puas yang tersungging di bibirnya. Ia diam-diam bersorak gembira melihat Novia yang kini mengemasi barang-barangnya. Semua rencananya berhasil sempurna.

"Nah, kan! Sudah Ibu bilang! Pasti dipecat!" bisik Bu Rita pada Bu Ani, yang juga ikut menyaksikan dengan gembira. "Wanita seperti dia memang tidak pantas ada di sini."

Setelah semua barangnya terkumpul, Novia mengangkat kardus itu. Ia melangkah keluar dari ruang guru, berjalan melewati tatapan-tatapan menghakimi dari beberapa guru lain. Air mata sudah tak mampu lagi ia bendung, mengalir deras membasahi pipinya.

Ia berjalan menuju area parkir motor. Saat ia hendak menaiki motornya, sebuah mobil sedan hitam berhenti tak jauh darinya. Kenzi turun dari mobil, menghampiri Novia dengan wajah khawatir.

"Bu Novia? Ada apa? Kenapa menangis?" tanya Kenzi, melihat wajah Novia yang sembab dan mata merahnya.

Novia tak sempat menjawab. Dari arah gerbang sekolah, suara melengking Bu Rita tiba-tiba terdengar.

"Lihat itu! Baru juga dipecat, sudah pamer pacar barunya di depan sekolah!" teriak Bu Rita lantang, sengaja agar Kenzi dan Novia mendengar. Ia menatap mereka dengan tatapan jijik. "Dasar wanita amoral! Tidak tahu malu! Sudah dipecat saja dari sekolah, tetap saja kelakuannya bejat!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!