Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Rumah Sakit General.
Di dalam ruang rawat inap yang tenang, Celine duduk bersandar di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, Di sampingnya, duduk seorang pria yang sejak tadi setia menemaninya—Mark, sahabat yang tak pernah lelah memberikan dukungan.
Tangannya menggenggam tangan Celine dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan yang tersisa di tengah luka yang belum sembuh.
“Celine... aku tidak menyangka keluargamu bisa sampai melakukan hal sekejam itu padamu,” ucap Mark, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. “Apa pun yang terjadi nanti... jangan pernah melakukan hal bodoh lagi. Kau masih punya aku, aku sahabatmu... dan aku akan selalu ada untukmu.”
“Maaf... sudah membuatmu khawatir,” ucapnya pelan, serak. “Siapa yang menyelamatkanku? Dan... di mana ibuku?”
Mark menghela napas. Matanya menatap Celine dengan iba, tapi ia mencoba menjelaskan dengan tenang.
“Pamanku yang menyelamatkanmu. Kebetulan dia lewat jalan depan rumahmu. Lalu dia dengar tetangga panik dan minta tolong... dari situlah dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Waktu tahu itu rumahmu, dia langsung bertindak.”
Celine memalingkan wajah, ekspresinya mulai berubah. Kecurigaan muncul dalam benaknya.
“Tetangga? Mana mungkin tetangga tahu rencanaku... semua pintu dan jendela sudah kututup rapat. Apa Wallace berbohong pada Mark? Tapi… untuk apa?” batinnya mulai gelisah.
“Di mana pamanmu sekarang?” tanyanya pelan.
Mark tersenyum tipis, berusaha tampak ceria meski jelas-jelas kelelahan.
“Hari ini paman pasti sibuk. Selain urusan pekerjaan, dia juga harus pergi ke pertemuan jodoh yang diatur kakek. Kali ini... yang dijodohkan adalah wanita dari keluarga mafia. Kudengar mereka sangat terpandang dan kuat. Kurasa, dia pasti cocok dengan pamanku.”
Ucapan itu menghantam dada Celine lebih dalam daripada yang ia duga. Ia membeku sejenak, lalu perlahan menyentuh dadanya sendiri yang terasa nyeri.
“Pertemuan jodoh...? Kenapa aku merasa sedih...? Harusnya aku senang dia bisa menemukan pendamping yang setara,” pikir Celine dalam hati, namun rasa perih itu tidak bisa disangkal.
“Lagi pula... dengan kondisiku sekarang, aku sudah tidak layak bersanding dengan pria seperti dia. Pria yang punya kekuasaan, kehormatan, dan berasal dari kalangan atas. Aku hanya wanita yang sudah ternoda dan menjijikan. Bahkan aku sendiri merasa aku sangat kotor...”
“Aku berharap, calon pasangannya kali ini bisa membuka pintu hati Paman yang selama ini tertutup,” ujar Mark. “Dulu, dia pernah mencintai seseorang saat masih kuliah di universitas. Banyak orang mengatakan mereka adalah pasangan yang paling serasi. Tapi setelah Paman lulus, dia langsung kembali ke keluarga dan mengambil alih bisnis Kakek. Dia menjalani pelatihan ketat selama tiga tahun… dan akhirnya, saat Paman sudah benar-benar mampu, Kakek pensiun dan menyerahkan seluruh kekuasaan padanya sebagai ketua mafia. Dan setelah itu Paman tidak pernah lagi bertemu dengannya."
Celine terdiam. Jantungnya berdebar tak menentu. Ada rasa aneh yang perlahan merambat ke dalam dirinya.
“Mencintai seseorang...? Jadi dia memang benar pernah jatuh cinta?” batinnya bergemuruh.
Pikirannya langsung melayang ke masa lalu, ke lorong-lorong universitas tempat ia dulu kuliah—dan tempat ia pertama kali melihat Wallace dari kejauhan.
“Lucy…?” pikirnya lirih.
“Saat itu, Lucy satu kelas dengan Wallace. Dia cantik dan menawan, ramah dan pintar. Banyak yang mendukung mereka bersama. Ternyata bukan hanya gosip. Tapi memang benar Wallace mencintainya. Sementara aku hanya bisa mencintainya dalam diam. Karena Lucy begitu dekat dengannya, Wallace bahkan tak pernah menyadari keberadaanku.”
“Celine,” suara Mark memecah lamunannya, nada suaranya serius dan penuh tekanan. “Jangan temui ibumu lagi. Dia sudah terlalu keterlaluan. Untuk apa kau masih peduli padanya? Apalagi sampai rela mati bersamanya!”
“Tenang saja! Aku tidak akan menemuinya lagi,” ucap Celine pelan tapi tegas.
“Ada satu hal lagi... aku minta maaf karena Paman sempat menyakitimu. Saat itu dia terlalu cemas padaku… sampai tidak peduli siapa pun. Walaupun terlihat sangat dingin, sebenarnya dia sangat menyayangiku.”
Mark menghela napas, lalu menatap wajah Celine yang masih lemah.
“Ibuku menikah di usia muda, jadi jarak usia antara aku dan Paman tidak jauh. Banyak orang mengira kami saudara kandung. Tapi Paman memang tumbuh di lingkungan yang keras. Kalau dia tidak kejam, maka dia tidak akan bisa mengendalikan anggotanya… juga musuh-musuhnya.”
Celine tersenyum tipis, menoleh pada Mark.
“Aku tidak menyalahkannya… Aku malah berterima kasih. Kalau bukan karena dia, mungkin aku tidak akan bangun lagi dari tempat tidur ini,” ucapnya jujur.
***
Sementara itu, di sisi lain kota, tepatnya di sebuah kasino mewah yang dijaga ketat…
Wallace berdiri di depan meja biliar Wajahnya tenang, tapi penuh aura mengancam. Di depannya, seorang pria tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar ketakutan. Wajahnya penuh memar, dan darah mengalir dari pelipisnya.
Bruk!
Sebuah hantaman keras mendarat di kepala pria itu.
“Aaahh!!” jerit pria itu kesakitan, tubuhnya menggeliat kesakitan.
“T-Tuan Huang… tolong… lepaskan kami… kami hanya… hanya menjalankan perintah…” ucapnya dengan suara tercekat. Ia adalah salah satu dari pelaku yang menyerang Wallace beberapa saat lalu.
Wallace dengan sorot matanya dingin dan membunuh. Ia menyentuh meja, lalu mengambil pisau lipat yang mengilap dari saku jasnya.
Klik.
Pisau itu terbuka dengan suara tajam.
“Letakkan tangannya ke atas meja,” perintahnya datar kepada salah satu anak buahnya.
Tanpa banyak bicara, dua orang pria berbadan besar langsung menarik pelaku itu dan membanting lengannya ke atas meja kayu besar.
Pria itu meronta-ronta ketakutan. “Tidak! Tolong! Saya tidak akan mengulanginya lagi!”
“Tuan, Nona Zhao sudah tiba,” ucap Nico sambil melangkah masuk ke ruangan dengan langkah tenang namun waspada.
Wallace menghentikan gerakannya sejenak. Pisau di tangannya diturunkan perlahan, lalu ia menoleh ke arah pintu.
Seorang wanita muda melangkah masuk. Tatapannya tajam namun penuh kekaguman. Ia mengenakan gaun elegan berwarna merah marun yang membingkai tubuh langsingnya dengan sempurna. Mata bulatnya yang bercahaya langsung mengarah pada Wallace—pria yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita penuh ketakutan dan kekaguman.
Di hadapannya kini berdiri sosok yang melegenda di dunia bawah tanah—Wallace Huang. Tampan, dingin, dan mematikan.
Nona Zhao mengulas senyum kecil, seolah ingin menyembunyikan rasa gugupnya. Tapi tatapannya tak bisa berbohong—ia benar-benar terpesona.
Sementara Wallace hanya memandangnya sekilas. Tidak ada emosi di wajahnya, hanya ketenangan yang mencekam. Baginya, wanita itu hanyalah satu dari sekian rencana keluarga.