The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Keluarga Orchid
Lalu mataku beralih dari Tuan Orchid dan jatuh ke pangkuanku saat akhirnya aku menyebutkan namanya… Dia dan saudara-saudaranya adalah rekan bisnis ayahku—orang-orang yang kejam dan selalu mendapatkan apa yang mereka mau. Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Orang-orang seperti keluarga Orchid, Bennedit, dan ayahku tidak pernah ragu menyingkirkan apa pun yang menghalangi jalan mereka.
Kritik Bennedit memang masuk akal, tapi siapa yang tahu bagaimana keluarga seperti Orchid menangani kegagalan? Sekarang aku bekerja untuk mereka. Setiap hal yang kulakukan pasti akan diawasi.
Mobil SUV berhenti di garasi, dan aku keluar sambil terhuyung. Tapi kakiku seperti terpaku di lantai. Rasa panik mulai naik.
Dadaku sesak.
Ini semua… salah.
Aku terlalu putus asa. Aku tidak berpikir panjang saat menerimanya. Aku hanya menukar satu neraka dengan neraka yang lain.
“Liona?”
Tanganku mengepal. Suara kecil dalam kepalaku—suara yang menyuruhku menjauh dari Bennedit—berbisik lagi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku ingin percaya itu. Setidaknya, walau hanya seminggu, aku bisa mengumpulkan cukup uang untuk mencobanya lagi.
Aku mulai bernapas cepat. Tarik napas, buang napas—terus begitu.
Dunia terasa berputar. Pandanganku mulai mengabur, dan titik-titik hitam menari di depan mata.
“Liona?” Suara Harry terdengar lebih jelas, dan aku langsung tersadar kembali.
Aku menunduk lalu mulai berjalan, melangkah ke arah laki-laki yang kini jadi ‘atasan’ baruku. Aku menggigit bibirku, mencoba mengusir semua pikiran yang datang bertubi-tubi dan menguras habis rasa percaya diriku. Yang tersisa hanyalah bayangan dari seseorang yang dulu ingin aku jadi—tapi sekarang, entah masih bisa atau tidak.
Dengan keberanian yang ku paksakan dan sedikit harga diri yang tersisa, aku mengangkat dagu dan menatap Harry yang berdiri di dekat pintu. Ia menatapku, kepalanya sedikit miring.
Ini titik terendah dalam hidupku. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak boleh.
Mulutku hampir terbuka saat melihat bagian dalam rumah besar itu. Dari luar memang tampak besar, tapi sekarang, rasanya seperti beban raksasa yang harus ku pikul.
Harry mengajakku berkeliling lantai pertama.
Pertama-tama, dia menunjukkan ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan dan dapur—penuh piring kotor di mana-mana.
Dia membuka kulkas. “Kamu mungkin perlu belanja bahan makanan, tapi cari saja dulu apa yang bisa kamu masak untuk makan malam.”
Aku sempat melihat beberapa pizza beku dan aneka topping seperti pepperoni, sosis, ham, dan mozzarella. Mungkin pizza adalah pilihan aman.
“Bagaimana kalau aku bikin pizza saja malam ini? Bahannya lumayan lengkap—”
“Jangan,” jawab Harry cepat, membuatku terkejut. “Itu sisa-sisa makanan. Aku beli kebanyakan.”
“Lalu… apa yang kamu mau aku masak?”
“Coba pikirkan sendiri. Yang jelas, bukan pizza.” Aku langsung mengangguk cepat.
“Dan pastikan matangnya pas. Jangan lembek di bawah,” katanya lagi.
Aku menelan ludah, mengangguk sekali lagi.
“Dan jangan sampai gosong di atasnya.”
Oke… makin banyak syarat.
“Jangan lupa tambah sayuran,” katanya.
“Akan aku tambahkan,” jawabku pelan.
“Tapi jangan sampai masih mentah.”
Oh Tuhan… dia yakin makan malamku bakal kacau. Dan setelah semua komentar pedas dari Bennedit selama bertahun-tahun, aku tahu dia mungkin benar.
Kami masuk ke sebuah ruangan kecil dekat ruang tamu. “Pembantu sebelumnya tidur di sini,” kata Harry. Ruangannya sempit, hampir seperti lemari. Tapi ada kamar mandi kecil di dalamnya.
“Dulu kami tawarkan kamar tamu, tapi dia lebih suka di lantai bawah. Katanya, karena sering dengar suara Mikael… ya, kamu tahu, agak berisik.”
“Aku akan tinggal di sini,” kataku cepat-cepat.
Kami melanjutkan tur rumah. Dia menunjukkan ruang kerja dan banyak ruangan lain yang jumlahnya bahkan sulit kuhitung.
Kami naik ke lantai dua. Aku mengikuti pelan dari belakang sambil memegang pegangan tangga yang berdebu. Di dalam kepalaku, aku mulai membuat daftar pekerjaan—ruangan mana dulu yang harus dibersihkan, peralatan apa yang dibutuhkan.
“Ini kamar saudaraku, Lukas” katanya sambil membuka pintu. “Dia sangat rapi soal barang-barangnya.”
Aku mengangguk cepat. Kamarnya cukup bersih, tidak seperti yang lain.
Setiap ruangan baru yang kulihat menambah panjang daftar pekerjaan. Berat, tapi sepertinya masih bisa kulakukan—semoga saja. Aku mulai menyusun rencana kerja, strategi, dan produk pembersih yang harus kusiapkan.
Akhirnya kami sampai di sebuah pintu. Harry berhenti dan menghela napas.
“Kamu mulai dari sini,” katanya.
“Baik, Tuan Orchid,” bisikku.
“Kamu bisa panggil aku Harry saja.”
Aku hanya mengangguk. Tapi rasanya aneh kalau harus memanggilnya begitu, apalagi saat tahu saudara-saudaranya mungkin tidak akan suka. Bahkan Bennedit tidak pernah mau kupanggil dengan nama.
Aku masih ingat ucapannya yang menyakitkan: “Jangan sebut-sebut namaku dengan mulut kotormu, dasar perempuan bodoh.”
Mungkin Harry tidak masalah, tapi aku tetap harus hati-hati. Yang terakhir aku butuhkan sekarang adalah kehilangan pekerjaan ini.