Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Pulang
Pukul sembilan malam, Alisa duduk di tengah rumah sambil mengecek data keuangan kantor di laptopnya. Tak lupa, ia pun memeriksa pemasukan yang didapat dari toko kue miliknya. Ia mengembuskan napas lega setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja.
Rendra yang baru saja memasak nasi goreng, membawa dua piring makanan itu ke ruang tengah. Disodorkannya satu piring nasi goreng ke dekat Alisa, hingga membuat istrinya menutup laptop dan mengalihkan pandangannya ke makanan.
"Makanlah," ujar Rendra.
"Ya ampun, kenapa Kak Rendra repot-repot masak nasi goreng segala? Padahal Kakak bisa minta tolong aku bikinin ini. Walaupun aku payah memasak makanan lain, setidaknya kalau masak nasi goreng aku masih bisa," kata Alisa, merasa sungkan.
"Sudahlah, kamu nggak perlu sungkan. Aku lihat, dari tadi kamu sibuk terus mengecek keuangan. Daripada tidur dalam keadaan perut lapar, sebaiknya aku buatkan nasi goreng. Makanlah," sanggah Rendra, lalu melahap nasi goreng buatannya.
Tersipu-sipu Alisa menerima perlakuan manis dari suaminya. "Terimakasih, ya."
Rendra mengangguk sambil melahap suapan kedua. Ketika sedang mengunyah, kekhawatiran akan keadaan istrinya tiba-tiba terbersit di benaknya.
"Oh, ya, Alisa. Gimana pekerjaan kamu di kantor? Kaivan nggak mengganggu kamu lagi, kan?" tanya Rendra menatap Alisa.
"Sebenarnya dia masih cukup mengganggu, tapi ... setidaknya dengan memiliki bukti pesan mesum dia sama Diana, aku nggak perlu khawatir berlebihan. Aku pikir, itu sudah cukup membuatnya takut," jelas Alisa, lalu melahap lagi makanannya.
"Syukurlah kalau begitu. Aku harap dia tidak berbuat macam-macam lagi sama kamu," ucap Rendra.
"Aku juga berharap begitu. Setidaknya dengan masih mempertahankan Diana di toko kue, aku bisa menekan Kaivan dengan cara lain lewat pacar gelapnya itu," tutur Alisa sambil termenung.
"Memangnya apa lagi yang mau kamu lakukan untuk membalas perbuatan Kaivan? Aku kira, kamu mempertahankan selingkuhan Kaivan karena sudah memaafkan dan berlapang hati untuk membantu biaya pengobatan ibunya." Rendra berhenti sejenak dan menatap Alisa dengan kening mengernyit.
"Aku nggak bisa senaif itu, Kak. Selain karena Diana sangat pintar membuat adonan dan mengolahnya menjadi kue yang enak, aku juga sangat ingin melihat seberapa jauh mereka bertahan," kata Alisa.
"Apa itu artinya, kamu senang jika melihat Diana dan Kaivan hancur? Kalau begitu, apa bedanya kamu dengan adikku yang merupakan mantanmu sendiri?" tanya Rendra menatap wajah Alisa lekat-lekat.
Alisa terdiam, lalu memalingkan muka. Pandangannya mengedar ke segala arah, berusaha menghindari tatapan Rendra yang begitu serius.
"Aku tahu, pasti sulit bagimu menyingkirkan dendam atas pengkhianatan Kaivan. Tapi, coba pikirkan baik-baik. Apa untungnya bagimu jika sampai Kaivan dan Diana putus? Apa jangan-jangan, kamu masih berharap balikan dengan adikku?" tanya Rendra, memicingkan kedua matanya.
Alisa memejamkan matanya rapat-rapat dan menggeleng pelan. Tangannya menyibak rambut dari depan sampai belakang kepala, lalu mendesah kasar. Alih-alih menjawab pertanyaan Rendra, ia menyuap satu sendok nasi, kemudian beranjak dari tempat duduknya dan membawa laptop ke kamar.
Rendra memperhatikan tingkah istrinya dengan saksama. Cara menutup pintu yang terkesan kasar, seolah mengisyaratkan ketidaknyamanan dari Alisa. Pria itu menghela napas, sambil menggeleng pelan.
"Baiklah, mungkin aku perlu kasih dia ruang untuk menyendiri dulu," gumamnya sambil mengangkat kedua bahu, kemudian melanjutkan makan malamnya.
Adapun Alisa, duduk di belakang pintu kamarnya sambil mendongak dan mendesah pelan. Pikirannya benar-benar kalut, perasaannya terasa kusut. Ia tak menduga kalau semuanya akan berjalan serumit ini, bahkan dugaan Rendra yang mengatakan bahwa dirinya masih mengharapkan Kaivan, seakan menampar perasaan.
"Aku nggak mau balikan lagi sama Kaivan! Cukup! Sudah cukup! Dia sudah mengkhianati aku dan memperlakukan aku dengan kasar sebelum pernikahan digelar. Apa yang istimewa dari dia? Enggak, enggak! Aku nggak boleh sampai tergoda lagi buat balikan. Lagi pula, aku sudah bersuami. Kak Rendra lebih baik dari Kaivan. Buat apa aku mengharapkan dia lagi, kan?" gumam Alisa, lalu bangkit menyimpan laptopnya.
Sementara itu di kediaman Bu Ani, terdengar suara ketukan pintu berkali-kali. Wanita paruh baya yang sudah tertidur pulas itu, bangkit dari ranjang dan termenung sejenak mendengar suara ketukan pintu itu dengan saksama. Tak berselang lama, ia pun bergegas menuju ruang depan dan mengintip dari jendela.
Betapa terkejutnya ia mengetahui Kaivan sedang berdiri di depan pintu sambil sempoyongan. Cepat-cepat Bu Ani membukakan pintu dan mempersilakan putra bungsunya masuk.
Tanpa ragu-ragu, Kaivan memeluk tubuh ibunya sambil menangis terisak-isak. Sikapnya yang menyedihkan itu membuat Bu Ani mengerutkan dahi.
"Ya ampun, kamu kenapa, Kaivan? Apa yang sudah terjadi sama kamu? Kamu mabuk?" tanya Bu Ani melepas pelukan Kaivan.
"Hidupku sudah hancur, Bu. Hidupku hancur! Semua orang di dunia ini pengkhianat. Aku benci mereka, Ibu," rengek Kaivan memandang sang ibu dengan berderai air mata.
Bu Ani mengajak Kaivan duduk di kursi. Matanya menatap cemas pada si bungsu, sambil mengusap air mata di kedua pipinya.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu sampai begini? Siapa yang sudah mengkhianatimu? Katakan," tanya Bu Ani mengusap kepala Kaivan.
Kaivan menyandarkan kepala di bahu ibunya, seraya berkata, "Orang-orang, Bu. Mereka ingin melihat aku hancur, bahkan Diana pun nggak ada bedanya. Dia mengkhianati aku, Bu."
Bu Ani menghela napas pelan. "Jadi, itu alasannya kamu memilih pulang?"
Kaivan mengangguk lemah.
"Ya sudah, sekarang Ibu antar kamu tidur di kamar. Bagaimanapun juga ini rumahmu. Kalau bukan ke sini, kamu mau pulang ke mana lagi?" tutur Bu Ani.
"Terimakasih, Bu," ucap Kaivan tersenyum lebar.
Perlahan-lahan Bu Ani mengangkat tubuh Kaivan dan memapahnya menuju kamar. Meski begitu kepayahan memapah tubuh putra bungsunya yang lebih tinggi dan besar, Bu Ani tetap berusaha membantunya mencapai kamar.
Sesampainya di kamar, Bu Ani membaringkan Kaivan di tempat tidur. Saking beratnya tubuh si bungsu, ia sampai terengah-engah selepas memapahnya. Kaivan tampak begitu lesu, sampai menutup mata dan larut dalam mimpi.
Tak mau mengganggu putranya, Bu Ani bergegas keluar kamar dan menutup pintu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tak begitu setuju untuk menerima kembali Kaivan di rumahnya. Akan tetapi, nalurinya sebagai seorang ibu berkata lain. Bagaimanapun juga, ia tetap menganggap Kaivan putranya terlepas dari aib yang ditorehkan pada keluarga Alisa.
Kendati demikian, Bu Ani tak bisa berlama-lama menahan kebingungan yang kian semrawut di kepalanya. Ia mengambil ponsel, lalu menghubungi Rendra.
Rendra yang baru saja selesai mencuci piring bekas makan, bergegas ke ruang tengah tatkala mendengar ponselnya berdering. Ditatapnya layar ponsel yang mencantumkan nama ibunya, kemudian mengangkat telepon.
"Halo, Ma. Ada apa nelepon malam-malam begini?" sapa Rendra.
"Ren, Kaivan sudah pulang lagi ke rumah," ucap Bu Ani dari seberang telepon.
"Apa?! Kaivan pulang ke rumah?! Maksudnya Ibu membiarkan dia masuk, begitu?" sungut Rendra tercengang.
"Ya ... habis mau gimana lagi, Ren? Dia pulang dengan kondisi menyedihkan," jelas Bu Ani, suaranya terdengar lesu.
lanjut thorrrr.