Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 : Teror Diam-diam
Sudah seminggu sejak malam terkutuk itu, dan Samantha masih belum bisa bernapas lega. Setiap langkahnya kini diiringi bayangan. Setiap pesan masuk membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Bahkan ketika ia menatap cermin, ia merasa seperti menatap perempuan asing, seorang perempuan yang lemah, pengecut, dan penuh dosa.
Ia mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Bangun pagi, menyiapkan sarapan untuk Leonard, pergi bekerja, dan tersenyum seolah tak ada yang salah. Tapi di balik semua itu, pikirannya dipenuhi oleh sosok pria asing itu. Sosok yang belum ia ketahui namanya, tapi wajahnya terus menghantuinya.
Samantha telah memblokir nomor tak dikenal yang mengirim pesan itu. Ia bahkan mengganti nomor ponselnya. Tapi teror tidak berhenti. Ada bunga di mejanya setiap pagi. Mawar merah, tanpa kartu nama. Ada bayangan mobil hitam yang sering terparkir jauh di ujung kantor. Dan malam-malamnya berubah menjadi mimpi buruk yang terus berulang.
Tiap kali ia menutup mata, ia melihat wajah pria itu, mendengar bisikannya, "Kau milikku."
...****************...
Pagi ini Samantha datang ke kantor dengan wajah lusuh dan kelelahan, malam tadi ia hampir terjaga sepanjang malam. Bagaimana tidak, setiap kali Samantha mencoba menutup matanya bayangan pria malam itu kembali muncul di pelupuk matanya. Belum lagi bisikan-bisikan sensual yang keluar dari mulut pria itu. Tentu saja itu hanya halusinasinya. Tapi entah mengapa ...itu terasa nyata.
Baru saja duduk di kursi kerjanya, Greg rekan kerjanya datang menghampiri.
"Nyonya Samantha ditunggu di ruang rapat sekarang juga!" sambil menepuk lembut bahu wanita tersebut.
"Sepagi ini?"
Greg yang semula hendak berlalu kembali menghampiri Samantha, lelaki itu sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Samantha sambil berbisik ringan "Sepertinya kamu kurang fokus akhir-akhir ini Samantha?"
"Apa aku membuat kesalahan?"
Greg mengangkat bahunya sambil berkata "Entahlah...tapi beliau tampak murka!"
Tanpa menunggu lama Samantha beranjak dari tempat duduknya.
Di ruang rapat bosnya telah mengunggu dengan wajah keruh. Samantha mengetuk pintu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam, terdengar penuh luapan emosi yang tertahan.
Samantha membuka handle pintu, dan mendorongnya....pintu terbuka menampakkan pemandangan yang tidak terlalu bagus. Kertas-kertas berserakan di meja panjang. Udara di dalamnya lebih dingin dari biasanya, bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan tajam pria di ujung meja. Semua mata tertuju padanya, pada perempuan dengan blazer abu muda yang kini tampak terlalu besar untuk menutupi kegugupan dan rasa bersalahnya.
"Ini... bencana," suara atasannya menggelegar, memecah keheningan. "Bagaimana bisa naskah final dicetak dengan kesalahan sefatal ini? Ini bukan hanya typo. Ini kesalahan struktural. Narasi berubah. Maksud penulis terdistorsi."
Ia berdiri kaku di tempat, tak mampu mengangkat wajah. Tangannya gemetar di sisi tubuh, jantungnya berdebar seperti hendak meledak. "Saya... saya minta maaf, Pak. Saya."
"Maaf?" Potong suara tajam itu. "Permintaan maaf tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana naskah utama kita bulan ini bisa lolos tanpa revisi yang layak. Ini bisa menghancurkan kredibilitas kita!"
Kepalanya tertunduk lebih dalam. Kata-kata atasannya seperti cambuk yang menyayat harga diri. Tapi ia tak bisa membela diri. Ia tahu, kesalahan itu murni karena kelalaiannya.
Beberapa hari terakhir pikirannya terus diganggu oleh bayangan malam yang seharusnya tak pernah terjadi, malam ketika ia menyerah pada kelemahan dan membiarkan pria asing itu menyentuh tubuhnya. Sejak itu, teror datang bertubi-tubi. Pesan-pesan gelap, ancaman samar, dan rasa takut yang terus menempel seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir. Ia sulit tidur, sulit bernapas, apalagi berkonsentrasi.
Dan hari ini, semuanya meledak. Kesalahan fatal yang mencoreng namanya, menghancurkan kepercayaan yang ia bangun bertahun-tahun.
Saat rapat bubar dengan dentingan frustrasi, ia tetap berdiri di tempat, membeku. Air mata menggenang, tapi tak ia biarkan jatuh. Ia harus kuat. Tapi di balik wajah yang mencoba tegar, hatinya menjerit, ia tak hanya kehilangan fokus, ia sedang kehilangan dirinya sendiri.
...****************...
Di tengah semua kekalutan itu, Samantha punya satu tempat berlindung: sahabatnya, Evelyn Hart. Mereka sudah bersahabat sejak SMA, dan tak pernah ada rahasia di antara mereka. Evelyn adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Samantha merasa aman. Namun kali ini, ia belum mengatakannya apa pun.
Hingga siang itu.
"Samantha, kamu kenapa sih belakangan ini? Seperti bayangan orang yang habis lihat hantu terus-menerus," ujar Evelyn sambil menyeruput latte di kafe favorit mereka.
Samantha menunduk. Tangannya yang menggenggam gelas bergetar ringan.
"Eve... kalau aku bilang sesuatu, kamu janji nggak akan menilai?" bisiknya.
Evelyn meletakkan gelasnya. "Sam, apapun itu, aku ada di pihakmu. Cerita, sekarang."
Dan akhirnya, segalanya tumpah. Samantha menangis di pelukan Evelyn, menceritakan segalanya, malam di hotel, pria asing itu, pesan-pesan, bunga, mobil. Semua. Evelyn mendengarkan tanpa menyela, hanya memeluk sahabatnya lebih erat.
"Sam, ini serius. Kita harus cari tahu siapa dia. Kita harus cari cara untuk menjauhkan dia darimu," ucap Evelyn tegas.
"Aku bahkan tidak tahu siapa dia... Aku bahkan tidak tahu namanya," gumam Samantha lirih. "Dan yang lebih parah, Leonard bilang minggu depan kami akan makan malam dengan sahabat lamanya. Aku takut... aku takut kalau ternyata itu dia."
Evelyn menegang. "Kau yakin?"
Samantha menggeleng pelan. "Aku hanya punya firasat buruk."
...****************...
Hari makan malam itu tiba lebih cepat dari yang Samantha harapkan. Malam merayap pelan di balik jendela, membalut langit dengan semburat ungu tua yang megah. Di depan cermin besar yang dipenuhi cahaya kekuningan, Samantha berdiri dengan napas teratur, namun matanya menyimpan gugup yang tak bisa ia sembunyikan.
Gaun satin berwarna burgundy membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, jatuh anggun hingga mata kaki. Bahu terbuka, punggung sedikit terbuka, memberi ruang bagi kulit porselennya bersinar lembut di bawah kilau lampu. Di lehernya, kalung tipis berhiaskan satu butir mutiara menggantung manis, memantulkan sinar seperti embun pagi.
Ia menyapukan lipstik merah anggur ke bibirnya dengan tangan yang hampir tak bergetar lagi. Riasannya tidak mencolok, sekadar foundation ringan yang menyamarkan lelah, eyeshadow keemasan yang membuat matanya berbinar, dan eyeliner hitam tipis yang menegaskan tatapan. Pipinya memerah alami oleh blush tipis dan gugup yang sulit diredam.
Rambut panjangnya ditata elegan dalam balutan gelombang lembut, sebagian disemat ke belakang dengan jepit berhiaskan kristal kecil. Wewangian mawar dan kayu manis samar melayang dari pergelangan tangannya, jejak aroma yang ia pilih dengan hati-hati, tidak terlalu menggoda, tapi cukup untuk membuat pria di sampingnya menoleh dua kali.
Ia menarik napas panjang di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bukan hanya untuk memastikan penampilan, tapi untuk membungkam kegelisahan yang merayap dari dalam.
Lalu, dering halus dari ruang tamu mengabarkan kehadiran pria yang telah menantinya. Ia tersenyum samar, mengambil clutch hitam kecil, dan melangkah keluar.
Leonard datang menghampirinya, memeluk pinggangnya dan mencium bahunya. "Kau cantik sekali malam ini."
Samantha memaksakan senyum. "Terima kasih, sayang."
...****************...
Mereka tiba di restoran mewah di pusat kota. Lampu-lampu kristal bergemerlap di langit-langit, denting gelas dan suara musik jazz menjadi latar. Dan di sana, di meja pojok, berdiri pria itu.
Samantha membeku. Seluruh udara seperti tersedot dari paru-parunya. Itu dia. Wajah itu. Mata itu. Tatapan itu. Pria dari malam itu.
"Nathaniel!" seru Leonard hangat, memeluk sahabat lamanya. "Senang akhirnya bisa bertemu lagi."
"Aku juga, Leo. Senang bertemu kembali," jawab pria itu dengan suara yang sama persis seperti yang mengusik mimpi buruk Samantha. "Dan ini pasti Samantha."
Samantha mengulurkan tangan, pura-pura tenang. "Senang bertemu Anda, Tuan Graves."
"Nathaniel saja. Aku dan Leo sahabat lama, tidak perlu formal," katanya, sambil menahan tangan Samantha sedikit lebih lama dari seharusnya.
Malam itu menjadi ujian paling berat bagi Samantha. Setiap percakapan tampak normal di permukaan, namun Nathaniel terus melontarkan kalimat-kalimat ambigu, seolah menyindir kejadian malam itu tanpa benar-benar menyebutnya.
"Beberapa malam bisa mengubah hidup seseorang, ya?" katanya sambil menyesap anggur. "Satu malam saja bisa membuat seseorang tak bisa tidur berhari-hari."
Samantha nyaris menjatuhkan garpunya.
"Kau baik-baik saja, sayang?" tanya Leonard khawatir.
"Aku... aku hanya sedikit pusing. Mungkin anggurnya terlalu kuat."
Nathaniel tersenyum, penuh kemenangan.
Dan saat mereka pamit pulang, Nathaniel membisikkan sesuatu ke telinga Samantha. Hanya tiga kata, namun cukup membuat darahnya membeku:
"This is war."
Samantha tahu, malam itu mimpi buruknya baru saja dimulai. Kini ia tahu siapa pria itu. Dan yang lebih menakutkan dari dosa adalah kenyataan bahwa pria itu kini masuk ke dalam hidupnya... secara resmi.