Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Bukan Bayi
Cari sendiri, hanya itu yang ada di benak Lengkara saat ini. Dia sudah dewasa, bukan lagi bayi yang bisa terkecoh dengan sebuah permen. Empat hari sudah sangat cukup untuknya meyakinkan jika perbedaan yang dia rasakan bukan hal biasa dan tidak bisa dijawab dengan kalimat Memang begitu sikap Yudha.
Bahkan, sejak hari pertama mereka bertemu dia sudah merasa janggal. Semakin hari semakin terasa, respon Yudha begitu jauh berbeda dan otak Lengkara sudah menyimpulkan sesuatu yang di luar dugaan awalnya.
Bukan soal wanita, bukan juga soal pekerjaan yang mungkin bisa mempengaruhi sikap seseorang. Yang saat ini terjadi berhubungan dengan kepribadian, dan Lengkara merasa begitu jauh sekalipun bisa memeluknya.
Bukan sedang mendiamkan atau sengaja mengabaikan, tapi memang kehangatan Yudha yang dia kenal sama sekali tidak dia rasakan. Jika memang sesuatu terjadi padanya, maka tentu Lengkara menemukan bekas luka walau sedikit seperti dirinya.
Sementara, selama empat hari dia merawat dan memandangi tubuh pria yang berada di sisinya, tidak ada luka sedikit saja. Gurat wajah, tatapan mata dan juga caranya menatap Lengkara yang tidak selekat dahulu hingga detik ini masih membuatnya sakit.
Hari ini adalah puncaknya, semua yang mereka andai-andaikan ketika menikah selama pacaran seakan asing bagi pria itu. Lengkara tersenyum getir kala mengingat uluran tangannya justru dianggap tengah meminta uang, miris sekali.
Entah siapa yang memulai, dia tidak akan bertanya karena sudah menduga jawabannya. Tanpa bicara dan memberitahu pihak manapun, Lengkara mendatangi kantor Zean. Hal pertama yang harus dia pastikan, tentu saja tempatnya bekerja.
"Nona?"
Kedatangan Lengkara ke kantor seakan momok bagi siapapun yang ada di sana. Kenapa? Lengkara juga tidak mengerti kenapa sekretaris Zean tiba-tiba panik begitu. Padahal, tidak ada yang aneh dengan dirinya, penampilan juga seadanya dan tidak ada bom di tas Lengkara.
"Pak Yudha ada?"
"Mohon maaf, tapi saat ini beliau belum tiba ... mungkin satu jam lagi, Nona boleh pulang dulu nanti saya sampaikan pada beliau."
"Satu jam?" tanya Lengkara melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan bulu mata anti badainya, tatapan tajam kini tertuju pada wanita matang yang dia ketahui sudah menjawab cukup lama.
"Benar, Nona."
Lengkara hanya berdecih, dia pikir akan percaya? Pamit pergi saja sudah cukup lama, memang jalan mana yang dia lewati, pikir Lengkara berusaha menyembunyikan wajah kesalnya. Muak sekali, orang-orang di sini kenapa justru menjadi pembohong semua setelah dia sadar dari koma.
"Oh iya? Tapi saya tidak percaya gimana dong?"
Lengkara hendak berlalu, tapi secepat mungkin wanita itu menghalau Lengkara dengan merentangkan tangannya. Sungguh Lengkara tak suka, akan tetapi dia tidak ingin membuang tenaga dan mendaratkan tasnya ke wajah wanita yang merupakan teman ghibah Yudha itu.
"Jangan menghalangi jalan saya, atau mau anting sapimu itu kutarik saat ini juga?" ancam Lengkara dengan mata yang mendelik tajam, percayalah dia benar-benar marah saat ini.
Lengkara berlalu melewati wanita yang kini memegang anting di hidungnya, benar-benar takut Lengkara tarik mungkin. Masih dengan kekesalan dan panas yang membuat otaknya mendidih, Lengkara mendorong pintu ruangan Yudha.
Sekretaris Zean memang tidak berbohong, memang pemiliknya belum ada di ruangan. Tapi tak apa, Kara tidak butuh bertemu karena hanya dengan begini dia sudah mendapatkan keyakinan, bahwa Yudha tidak lagi menjabat sebagai tangan kanan Zean.
"Bahari Ramadhan."
Lengkara tersenyum kecut, serapi itu keluarga membohonginya. Tidak ada lagi nama Prayudha Bagas Tami di sana, fotonya yang ada di meja juga diganti. Asisten baru Zean agaknya sudah berumah tangga, terlihat jelas dari pigura yang terpajang di sana.
Beberapa saat, Lengkara terpaku menatap semua yang ada di hadapannya. Tangannya bergetar kala merogoh ponsel di tasnya, perlahan dia menghubungi sang suami. Butuh waktu untuknya menunggu, setelah kecelakaan dan nomornya berganti Yudha menjelma menjadi manusia paling sibuk.
"Hallo, Mas." Percobaan kelima baru berhasil, benar-benar membuat Lengkara mengelus dada.
"Hm, kenapa?"
"Mas dimana? Sudah sampai?" tanya Lengkara pelan seraya menatap nanar ke depannya.
"Iya, aku di kantor sekarang? Ada yang ingin kamu katakan?"
"Syukurlah, sendoknya ketinggalan ... Mas makan nasi gorengnya pakai tangan saja ya," ucap Lengkara berusaha mengatur napas, lututnya lemas, dada Lengkara naik turun dengan mata yang kini mulai mengembun.
"Iya, tidak masalah, Kara."
Hampir menangis, tapi dia urungkan karena tujuannya bukan untuk itu. Lengkara kembali berlalu keluar setelah mengakhiri panggilan teleponnya. Wajah Lengkara semudah itu berubah seakan tidak ada beban. Jangan lupakan bakatnya, kemampuan bersandiwara Lengkara tidak jauh berbeda dari Ameera.
"Kenapa, Nona?"
"Belum ada ternyata hihi maaf ya," jawab Lengkara seketika membuat sekretaris Zean menghela napas lega, seolah bersyukur karena posisinya aman-aman saja.
"Iya, nanti saya sampaikan jika Anda datang, Nona."
Lengkara mengulas senyum, dia berlalu pergi usai mengucapkan terima kasih. Ya, walau dadanya seakan terbakar, Lengkara masih mencoba untuk terlihat baik-baik saja.
Tidak peduli sebanyak apa yang membohonginya, bahkan menyeret pihak lain dan hal itu terdengar begitu menyedihkan. Masih begitu pagi, tapi langkahnya sudah selelah ini.
.
.
- To Be Continued -