Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Amar
Rohani jengah, karena semenjak hilangnya kabar Amar, total tiga orang rentenir bolak-balik ke rumahnya setiap bulan.
Ingin sekali dia mengumpat anaknya itu. Namun sampai sekarang, Amar bak hilang di telan bumi.
Tanpa Rohani tahu, tiga hari ini, Juli kembali di hubungi oleh Amar memakai nomor baru. Amar meminta, agar Juli merahasiakan tentangnya.
Karena jujur, walaupun kesal dan kecewa rasa rindu dan khawatir tetap di rasakannya.
Amar takut emaknya kenapa-napa, apalagi dia tahu jika emaknya mempunyai penyakit lambung kronis.
Dan Amar rutin, meminta Juli untuk membelikan obat herbal untuk emaknya itu.
"Kalo gini terus, habis semua emas dan uangku," ujar Rohani dengan kesal. "Mana, hutangnya masih banyak lagi," lanjut Rohani, sembari menghitung sisa uangnya.
"Kapan aku bisa pamer kayak dulu lagi ya? Masak sekarang, aku udah tertinggal jauh dengan mereka semua," gumamnya lagi, mengingat para tetangga yang sedikit demi sedikit mulai meningkat.
Ada tetangga yang beli mesin cuci, ada yang beli motor seperti Tari, ada juga yang memperbaiki lantai rumahnya dari semen menjadi keramik.
...****************...
Karena mendapatkan tawaran pekerjaan diluar kota, hari ini Azhar memutuskan untuk berangkat bersama beberapa teman kerjanya. Termasuk suami dari Juli.
Azhar pergi menggunakan bus. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain.
Disana, Azhar tetap bekerja sebagai kepala tukang. Dia di minta mengerjakan sebuah proyek perumahan dari sebuah perusahaan.
Dan Azhar, di kenalkan oleh pemilik toko yang pernah di kerjakannya pada tahun lalu.
Dan disini lah, Azhar. Telah tiba di sebuah rumah sementara yang dijadikan tempat berteduhnya dia dan juga sepuluh teman-temannya yang lain.
"Disini, bukan hanya aku yang menjadi kepala tukang. Tapi, ada beberapa orang lainnya," Azhar membuka suara, menatap teman-temannya satu-persatu. "Tapi, kalian tetap harus mengikuti aturan dan arahan dari aku. Karena kepala tukang lainnya, juga membawa masing-masing sepuluh ataupun lima belas anak buahnya," lanjut Azhar memberikan sedikit arahan untuk teman-temannya.
Azhar tetap mengaggap mereka teman, bukan anak buah. Karena mereka sama-sama bekerja di bawah pimpinan orang lain.
Karena proyek perumahan itu di tentukan kapan batas waktu selesainya. Maka dari itu, sang developer memutuskan menarik beberapa kepala tukang agar pekerjaannya cepat terselesaikan.
Semenjak Azhar merantau, ekonomi keluarga Tari semakin membaik. Tak hanya mengharapkan uang dari suami. Tari juga ikut membantu perekonomian keluarga dengan membantu memetik kopi dari orang-orang yang mempunyai kebun kopi di daerahnya.
Bukan hanya mengandalkan orang kampung. Tari, kerap kali mencari pekerjaan di luar kampungnya. Apalagi, ayahnya mau membantunya dalam hal antar jemput Daffa sekolah.
Setelah empat bulan Azhar dalam perantauan. Hari ini, lelaki yang umurnya mendekati kepala empat itu, pulang.
Kepulangannya di sambut dengan bahagia oleh Tari dan juga Daffa.
Dan itu, tidak luput dari perhatian Rohani yang kebetulan sedang membersihkan halamannya.
"Merantau jauh-jauh, tapi gak bawa pulang apa-apa, untuk tetangga ..." cibir Rohani, seraya memghilang masuk ke dalam.
Begitu masuk, raut sedih di wajah Rohani terpampang jelas. Bagaimana tidak, sudah hampir dua tahun, Amar tak kunjung pulang. Bahkan, enggan memberinya sedikit kabar.
Rasa rindu masuk perlahan. Dan sekarang Rohani berada di kamar Amar. Kamar yang masih sama, seperti yang ditinggalkan Amar untuk terakhir kalinya.
Bayangan dimana Amar pergi dengan raut wajah merah, tidak akan pernah Rohani lupakan.
Malam itu, setelah Amar pulang dari mengantarkan Salsa sang pujaan hatinya. Amar memohon seraya berlutut pada Rohani, agar mau minta maaf pada Salsa serta keluarganya.
Namun, Rohani menolak permintaan Amar secara mentah-mentah.
Baginya, dia tidak lah, bersalah. Dan meminta maaf, sama saja menurunkan martabatnya sebagai orang yang mungkin pantas di segani oleh keluarga Salsa.
Karena sifat egois dan keras kepalanya Rohani. Malam itu juga, Amar mengisi beberapa pasang bajunya ke dalam tas ransel. Dia berkata akan pergi dari rumah, jika emaknya tidak mau minta maaf pada Salsa.
Dan benar saja, Rohani malah membiarkan Amar pergi. Toh nanti, anaknya juga akan kembali padanya. Karena hanya dia satu-satunya keluarga yang tersisa.
"Bukan kah, wanita itu tinggal di keramat? Sebaiknya, aku menemuinya ..." putus Rohani.
Entah itu rindu, ataupun karena uang yang tak pernah lagi di kirimkan oleh Amar. Yang jelas, hari ini, dia merasa harus mencari kabar tentang anaknya itu.
Besoknya, dengan di temani Juli. Rohani mencari alamat Salsa melalui nama dan juga pekerjaan yang diingatnya.
Tak butuh waktu lama, Rohani dan Juli mendapatkan alamat Salsa.
Begitu tiba, hal pertama yang di lihat Rohani ialah, Salsa dengan perut buncitnya, sedang memotong-motong kain, yang di bentangkannya di meja, teras rumah.
Jantung Rohani berdenyut cepat. Dia takut, takut jika Amar melakukan sesuatu di luar batas, ataupun kendalinya.
Ia kembali teringat, perkataan Amar yang akan menikahi Salsa dengan atau tanpa restu darinya.
"Salsa," panggil Rohani.
Begitu wanita itu melihat ke arahnya. Sebuah tamparan, mendarat di pipi mulus itu.
"Dasar kamu perempuan licik," tuduh Rohani menunjuk ke arah Salsa, lebih tepatnya ke wajah Salsa.
"Wak, cukup!" seru Juli memeluk tubuh Rohani dari depan.
"Ada apa ini?" ibu Salsa keluar, kala mendengar keributan di luar.
"Aku juga gak tahu bu, beliau datang menampar saya ..." adu Salsa pada ibunya.
Sekarang, Salsa memilih untuk berlindung di belakang tubuh ibunya.
"Apa yang kamu katakan sama Amar, sehingga dia enggan untuk pulang, hah?" hardik Rohani.
"Apa maksud ibu? Aku bahkan gak tahu, kemana bang Amar pergi," balas Salsa masih dengan posisi, di belakang ibunya. "Kami udah lama gak berkomunikasi," lanjut Salsa.
"Terus kamu pikir aku percaya? Kalian sudah menikah diam-diam kan? Kamu yang memaksanya untuk menikah denganmu kan?" tuduh Rohani lagi.
Ibu Salsa meradang, dia maju selangkah dan menampar wajah Rohani dengan keras.
Juli, yang berada di samping Rohani terkejut, kala melihat pipi wak-nya yang memerah.
"Beraninya kamu," Rohani kembali hendak melayangkan tangannya.
Akan tetapi di tepis keras oleh ibu Salsa.
"Tolong," teriak Ibu Salsa dengan suara yang keras.
Bahkan, dia mengulang beberapa kali.
Alhasil, teriakan ibu Salsa membuahkan hasil. Orang-orang mulai berdatangan. Tak hanya ibu-ibu, bahkan beberapa bapak-bapak juga ikut datang ke rumah Salsa.
Karena mereka mengira, jika si empunya rumah, lagi kena musibah.
"Wanita gila ini, datang kesini menampar putri saya, beruntung dia gak kenapa-napa. Kalian semua tahu kan, anakku Salsa, sedang hamil," ucap ibu Salsa dengan menggebu-gebu.
Rohani langsung gelagapan, kala orang-orang menatap tajam ke arahnya.