Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Akhir Dari Segalanya
"Ayah, sudah. Kenapa Ayah menampar Ibu, apa salah Ibu?" tanya Alisa sembari berlari memeluk Rania.
"Alisa kamu masih kecil, Kamu tidak akan pernah mengerti urusan orang dewasa. Pergi saja sana bermain, temani adik mu," perintah Alif.
"Aku memang masih kecil, tapi aku sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Ayah dan nenek selalu saja membuat Ibu menangis, apa salah Ibu kepada kalian? Kenapa kalian selalu menyakiti hatinya? Apa ayah tidak memikirkan perasaan ibu?"
Dengan deraian air mata dan sorot mata menyiratkan kebencian ia mencecar ayahnya dengan berbagai pertanyaan. Hatinya sakit melihat ibunya bukan hanya di bentak tapi bahkan di pukul, selama ini seberat apapun kesalahannya sebagai seorang anak ibunya tidak pernah ringan tangan. Kejadian yang terjadi di depan matanya ini benar-benar mempengaruhi mental dan psikis gadis kecil tersebut.
"Alisa dengarkan ayah, cepat pergi! Jangan sampai ayah..."
"Ayah apa? Ayah akan memukul ku juga, iya? Pukul saja Yah, aku tidak takut. Setelah itu pukul juga adik ku, agar ayah puas. Sekalian saja ayah tinggalkan kami dan jangan pernah kembali,"
Waktu seakan membeku, kedua orang dewasa itu begitu terkejut mendengar ucapan Alisa yang lantang dan berani. Entah apa yang gadis itu rasakan sehingga berani berbuat begitu. Mungkin selama ini dia hanya memendam rasa sakitnya sendiri setiap ibunya di dzolimi, dan sekarang menjadi bom waktu yang meledak di saat yang tepat.
"Cukup! Lebih baik segera urus perceraian kita, aku sudah tidak ingin bersama mu lagi," ucap Rania yang telah menyeka air matanya.
"Kenapa setiap ada masalah kamu meminta cerai? Bukannya sadar, Kamu malah membantah. Aku tidak suka kamu membuat ibu ku menangis," kali ini Alif menurunkan intonasinya.
"Ya, selalu itu yang kamu katakan. Kamu selalu marah jika menyangkut ibu mu, walaupun jelas itu bukan salah ku kamu akan tetap menyalahkan aku. Bagi mu ibu mu berharga sedangkan istri mu hanya sampah. Bagi mu ibu mu adalah segala-galanya sedangkan diri ku tidak berguna. Apa yang aku lakukan selalu salah di mata kalian, aku yang miskin, aku yang pengangguran, aku tidak merawat diri, semua aku yang salah. Maka dari itu jika diri ku memang sudah tidak ada bagusnya lagi di mata mu dan hanya menjadi beban mu, lepaskan aku. Ceraikan aku secepatnya agar ibu mu bisa mencari pengganti ku sesuai dengan yang ia harapkan,"
Dengan hati bagai tersayat sembilu ia terus mengatakan kalimat demi kalimat yang menusuk jantungnya sendiri. Baru saja ia berpikir positif dengan perubahan suaminya namun seketika berubah menjadi petaka.
"Memang apa yang ibu ku lakukan sehingga kamu membentak dan mengusirnya? Dia hanya ingin berkunjung dan menemui cucunya, apa itu salah menurut mu?"
Oh ternyata ibu mertuanya memang pandai bersilat lidah, pantas saja suaminya marah karena ternyata ibunya berbohong. Tapi ia sudah terlanjur kecewa kepada Alif, bukan bertanya baik-baik ia justru begitu saja percaya dengan perkataan ibunya dan menyalahkan dirinya. Kali ini hatinya sudah benar-benar sakit, tidak ada keinginan lagi untuk membela diri.
"Tamparan mu akan ku ingat seumur hidup, aku tidak akan menjelaskan apapun lagi. Semua yang aku katakan hanya bualan bagi mu, sedang yang Ibu mu katakan adalah mutiara. Kamu tidak perlu membayar uang kontrakan lagi, biar aku yang membayarnya. Tapi setelah itu jangan pernah kamu kembali lagi kesini, bawa semua barang mu dan tinggallah dengan ibu mu,"
Dengan tekad yang bulat Rania telah memutuskan, ia tidak ingin kembali merajut asa bersama Alif. Dia cukup punya harga diri untuk mengemis cinta pada pria itu dan jatuh berkali-kali untuk masalah yang sama.
"Ibu, aku mau di sini bersama Ibu. Aku tidak mau ikut ayah, ayah dan nenek jahat,"
Gadis kecil itu kembali mengeluarkan air mata sembari merangkul ibunya, bahkan kini Bintang juga ikut menangis dan memeluknya. Tangisan pilu menggema dalam ruangan sempit yang penuh sesak karena linangan air mata penghuninya.
"Alisa, Ayah dan nenek tidak jahat. Kami sayang pada kalian," bela Alif.
"Bohong, ayah dan nenek selalu memarahi ibu yang sudah melahirkan aku dan Bintang. Ayah dan nenek jahat!" teriaknya.
"Nenek tadi tiba-tiba datang dan memarahi ibu, dia bahkan hendak mengambil banyak barang dagangan ibu, padahal ibu sudah bekerja keras untuk itu semua agar bisa membantu ayah. Lalu sekarang ayah datang juga marah pada ibu, bahkan ayah memukul ibu ku. Aku tidak mau punya ayah seperti ayah," imbuh Alisa.
Alif segera beralih memandang Rania, namun wanita itu membuang muka. Lidahnya sudah kelu untuk menyangkal, karena benar atau salah suaminya tetap akan memihak ibunya. Ternyata Alisa mengatakannya dengan lugas, meskipun dirinya masih kecil.
"Apa benar yang Alisa katakan, Nia?" tanya Alif.
Rania mengalihkan pandangannya, ia sudah terlanjur kecewa. Ia sudah benar-benar kehilangan rasa terhadap pria itu. Rasa cinta, rasa hormat, semua telah sirna bersama kerasnya tamparan yang pria itu berikan di pipi dan hatinya.
"Nia, aku bertanya padamu. Apakah benar yang Alisa katakan tadi?" Alif kembali bertanya.
"Kalau benar kenapa dan kalau salah kenapa? Aku sudah capek,"
Rania bangkit seraya menggapit kedua anaknya ke dalam kamar, namun langkahnya terhenti karena Alif mencegahnya. Ia menatap pria itu dengan pandangan tidak senang, ia sudah lelah dengan semua kejadian hari ini.
"Kamu belum menjawab pertanyaan ku, Nia. Masalah ini harus segera kita selesaikan," ucap Alif.
"Tanya saja kepada ibu mu, semoga dia masih punya hati untuk menjawab sesuai fakta," balas Rania.
"Dan satu lagi, masalah kita sudah selesai sampai di sini. Aku sudah tidak sanggup terus bersama dengan mu, Kamu selalu menomor satukan ibu mu dan tak pernah peduli perasaan ku, bahkan kamu selalu membenarkan kelakuannya yang jelas-jelas salah. Selama ini aku selalu mengalah, selalu menghormatinya karena dia orang yang melahirkan mu walaupun dia selalu menghina diri ku. Tapi yang kamu peduli hanya perasaannya, Kamu bungkam sekalipun aku di injak-injak dan di permalukan di depan umum. Aku ingin kita bercerai," imbuh Rania.
Wanita itu mendorong suaminya agar bisa masuk ke dalam kamar. Ia segera berbaring di tengah-tengah anaknya. Ia belai rambut keduanya dengan lembut, sesekali ia kecup kening kedua buah hatinya.
Rania berusaha tetap tegar dan tersenyum di depan keduanya walau hatinya terasa hancur. Hatinya menangis meratap, membayangkan perjuangannya selama 11 tahun akan segera kandas. Bahtera yang mereka bangun dengan lautan cinta ternyata tidak mampu bertahan karena terpaan badai yang terus-menerus. Sayang memang, tapi siapa yang mau hidup dalam bayang-bayang keegoisan suami dan Ibu mertuanya?