Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasih Di Awan Bunian
Raga duduk bersandar pada dinding kamar, napasnya masih tersengal setelah ritual pemutus yang baru saja mereka lalui. Ibu sudah terlelap di kamar sebelah, kelelahan oleh tangis dan kecemasan. Ayah belum kembali dari mengantar Pak Imran, tetangga mereka tiba tiba kejang kejang di bawa ke rumah sakit. Rumah sunyi, tapi sunyi yang aneh—sunyi yang terasa seperti ada telinga lain ikut mendengarkannya
Di ruang tamu, hanya lampu teplok kecil yang menyala, memancarkan cahaya redup kekuningan. Di sanalah Angku duduk, tak menyentuh kopi yang sejak tadi sudah dingin. Punggungnya tegak, wajahnya pucat, dan kedua matanya menatap kosong ke arah pintu terbuka seperti sedang menunggu seseorang yang tak kasatmata.
“Angku…” panggil Raga pelan.
Kakeknya tidak menoleh. “Duduklah, Bujang. Malam ini belum selesai.”
Ada getaran halus dalam suara tua itu—bukan takut, tapi pasrah. Raga menelan ludah, lalu mengambil tempat di depannya.
“Raga sudah tahu… dari Ibu,” ucapnya lirih. “Tentang Tuanku Haji Rusdi. Tentang keturunannya yang… lain.”
Angku mengangguk sekali. “Ibumu hanya cerita setengah. Karena setengahnya lagi… dialah sendiri yang tak sanggup menanggungnya.”
Raga merasakan bulu kuduknya perlahan naik.
“Angku,” katanya hati-hati, “siapa sebenarnya Arumi?”
Hening. Angku menarik napas panjang, napas yang berat seperti membawa masa silam bersamanya.
“Arumi,” ujar Angku akhirnya, “adalah anak kandung Haji Rusdi.”
Itu Raga sudah tahu. Tapi Angku melanjutkan dengan suara yang berubah parau:
“Dan ibunya… bukan perempuan kampung. Ia adalah orang Bunian yang tidak pernah menampakkan diri pada manusia selain pada lelaki yang ia pilih.”
Raga merasa ruangan menjadi lebih dingin.
“Tapi mengapa… mengapa harus ada perjanjian?” desaknya.
Angku memejamkan mata. “Karena Haji Rusdi pernah menyeberangi batas yang tidak boleh dilewati manusia.”
Tiba-tiba, mata Raga panas. Ruang tamu bergetar pelan. Cahaya lampu teplok meredup. Angku membuka matanya lebar—seolah melihat apa yang Raga lihat juga.
“Jangan lawan,” bisik Angku. “Itu darahmu yang memanggil di masa lalu.”
Lalu dunia runtuh.
RAGA DISERET KE MASA DI MANA SEGALANYA BERAWAL
Raga berdiri di sebuah hutan tua. Lebih tua dari desa yang ia kenal. Pohon-pohon menjulang seperti tiang hitam, akar berpilin seperti ular tidur. Kabut tebal menutup tanah, hanya suara air sungai dari jauh yang terdengar.
Di tengah kabut, seorang lelaki berjubah putih berjalan pelan sambil memegang tasbih. Wajahnya teduh, namun sorot matanya tajam. Itulah—tanpa perlu diberi tahu—Tuanku Haji Rusdi.
Suara Angku terdengar samar dari jauh, seperti suara yang keluar dari balik air:
“Dulu, sebelum menjadi ulama besar, Haji Rusdi tersesat tiga hari tiga malam di hutan itu sewaktu membuka sawah, tidak makan, tak minum. Ia nyaris mati…”
Raga hanya diam mematung dari balik kabut, muncul cahaya lembut. Ia melihat sosok perempuan memakai baju kurung putih kecokelatan, wajahnya sangat mirip dengan Arumi—bahkan lebih dewasa, lebih anggun.
“Dialah ibunya Arumi,” bisik Angku di kejauhan. “Begitulah ia pertama kali muncul.”
Perempuan itu melayang ringan seakan kakinya tidak menyentuh tanah. Ia menyentuh bahu Haji Rusdi yang terkulai di tanah.
Lelaki itu membuka mata… terpana.
Ia bicara tanpa suara. Bibirnya bergerak seperti dalam doa. Haji Rusdi langsung berdiri, kuat kembali seolah ia sedang meneguk kehidupan baru.
Raga tergagap keringat dingin menyelimuti pikirannya.
Angku melanjutkan, “Perempuan Bunian mampu menghidupkan manusia yang setengah mati. Itulah sebabnya Haji Rusdi… jatuh cinta dan sayang kepadanya.”
Adegan berubah cepat.
Kini Raga melihat keduanya berjalan berdampingan, saling tersenyum, saling berbicara meski tanpa suara. Lalu ia melihat rumah tua yang tampak hanya sesekali—seperti rumah itu tidak berada di dunia nyata berada di atas awang awang. Di situ gadis bernama Arumi lahir.
Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar.Kabut menggelap. Angin menderu. Perempuan Bunian itu menangis di depan Haji Rusdi. Hujan bunga melati jatuh dari langit.
“Bunian tidak boleh menikah dengan manusia,” ujar Angku lirih. “Tapi mereka telah melakukannya. Dan hukum mereka… keras.”
Raga melihat sekelompok sosok samar—tinggi, wajahnya buram seperti asap—muncul dari balik hutan. Suara mereka seperti desir bambu ditiup angin. Mereka memisahkan pasangan itu secara paksa.
Haji Rusdi meronta, namun tak kuasa.
Perempuan itu hanya berbisik satu kalimat, yang Raga tak bisa dengar—sesuatu yang membuat lelaki itu berlutut dan menangis.
Arumi yang masih kecil diangkat oleh salah satu sosok bertubuh tinggi itu… dan dibawa pergi melewati kabut.
Haji Rusdi menjerit, tapi suaranya seperti ditelan bumi.
Dunia berguncang hebat.
Raga kembali di ruang tamu. Napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi tengkuknya.
Angku menatapnya dengan mata merah.
“Sejak hari itu,” kata Angku pelan, “Haji Rusdi tidak pernah sama lagi. Ia menutup diri. Namun ia memiliki hutang besar: ia telah memiliki darah Bunian dalam garis keluarganya. Dan kaum Bunian menuntut perjanjian.”
Raga mencengkeram lututnya. “Perjanjian… yang mewajibkan salah satu keturunan laki-laki menikah dengan Arumi?”
“Tidak,” jawab Angku. “Lebih dari itu.”
Raga menatapnya ngeri.
Angku mendekat, suaranya menurun menjadi bisikan:
“Perjanjian itu mewajibkan…
salah satu keturunan Haji Rusdi mengembalikan apa yang Hilang.”
Raga menelan ludah. “Meng… mengembalikan?”
Angku menatap matanya tajam.
“Arumi tidak boleh menua. Tidak boleh mati. Tidak boleh hidup tanpa pasangan. Dan kaum Bunian percaya… dia hanya akan utuh kembali, bila menikah dengan darah ayahnya sendiri.”
Raga pucat pasi.
“Dan engkau, Raga,” kata Angku, suara berat, “adalah satu-satunya cicit laki-laki yang diwarisi kedekatan batin dengan dunia itu. Itu sebabnya kamu bisa melihatnya. Itu sebabnya kamu diburu.”
Ruangan menjadi sunyi. Angin malam lewat seperti desahan panjang.Raga tidak bisa bergerak, kakinya seperti di paku.
Angku meraih bahunya, menggenggam kuat.
“Tapi ingat satu hal, Bujang…” katanya berat
Raga menatapnya, masih gemetar.
“Arumi bukanlah makhluk jahat. Ia hanya… terjebak. Sama sepertimu.”