NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luna, Si Kecil Berbulu Itu...

Hari-hari berlalu di Petunia Hill dengan ritme yang monoton.

Elena bangun di kamar mewah, sarapan di meja panjang dengan pelayan yang selalu menunduk, berjalan-jalan di taman yang indah tapi penuh kamera, lalu menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan.

Tidak ada suara ayahnya memanggil. Tidak ada tawa Sophia yang menemani. Hanya keheningan yang berlapis emas.

Kesepian itu menggigit lebih keras daripada ancaman Adrian.

Sore itu, Elena duduk di perpustakaan, menatap telepon antik yang diletakkan di meja sudut. Benda itu tampak berfungsi, kabelnya tersambung, tapi ia tahu, semua jalur komunikasi di rumah ini pasti diawasi.

Meski begitu, hatinya berdegup keras. Mungkin hanya satu panggilan. Hanya untuk mendengar suara Sophia, memastikan Papa baik-baik saja…

Tangannya gemetar saat meraih gagang telepon. Ia menekan nomor rumah Sophia, menunggu dering pertama.

Namun sebelum sambungan terhubung, suara berat terdengar di belakangnya.

“Elena.”

Gagang telepon hampir terlepas dari tangannya. Ia menoleh cepat. Adrian berdiri di ambang pintu, matanya gelap tapi bibirnya melengkung tipis.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya pelan, terlalu pelan, hingga Elena merinding.

“A-aku hanya…” suaranya tercekat. “Aku hanya ingin memastikan Papa baik-baik saja.”

Adrian melangkah maju, mengambil gagang telepon dari tangannya, lalu meletakkannya kembali dengan hati-hati. “Aku sudah memastikan. Ayahmu aman. Sophia pun begitu. Kau tidak perlu repot.”

Elena menatapnya dengan mata berair. “Aku butuh mendengarnya sendiri.”

Adrian menunduk, suaranya nyaris seperti bisikan. “Jika aku mengizinkanmu, kau akan mencari kebebasan. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Adrian berbalik, berjalan menuju rak buku, jarinya menyusuri punggung buku-buku tua. “Kesepian akan membuatmu lebih mudah mengerti, Elena.”

Elena merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu menekan seperti belenggu.

Ia berlari keluar ruangan, menahan air mata. Tapi bahkan saat berlari menyusuri lorong panjang, ia tahu Adrian tidak perlu mengejarnya. Karena di rumah ini, ia tidak punya tempat untuk bersembunyi.

Malamnya, Elena duduk di balkon kamarnya, menatap kota yang jauh. Lampu-lampu di bawah sana terlihat seperti dunia lain. Dunia yang dulunya miliknya, kini hanya menjadi mimpi.

Ia memeluk lutut, membisikkan nama Sophia, membisikkan nama ayahnya. Setiap bisikan membuat hatinya semakin sakit, karena tak ada jawaban yang kembali.

Kesepian itu bukan lagi sekadar perasaan. Itu telah menjadi jerat.

.....

Hujan tipis turun sore itu, menampar jendela kamar Elena dengan suara lirih.

Ia duduk di meja tulis besar berlapis marmer, sebuah kertas kosong terhampar di depannya. Pena di tangannya bergetar.

Kalau telepon tidak mungkin, mungkin surat bisa… pikirnya.

Ia mulai menulis pelan, huruf-huruf kecil yang nyaris tak terbaca, seolah takut tinta itu sendiri bisa mengkhianatinya.

Sophia… aku tidak baik-baik saja. Aku terjebak. Tolong jaga Papa, jangan biarkan dia tahu betapa parahnya keadaan ini. Aku akan cari cara keluar. Aku janji.

Tangan Elena berhenti, air matanya jatuh menodai kertas. Ia buru-buru menyeka, takut tulisan itu hilang. Kemudian ia melipat surat itu dengan rapi, menyelipkannya di antara lipatan gaun tua yang masih ia simpan dari rumah lama.

“Nanti… saat aku bertemu seseorang dari luar, aku akan menitipkan ini,” gumamnya lirih.

Malamnya, Clara masuk untuk membawa teh seperti biasa. Elena tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun ia bisa merasakan tatapan tajam kepala pelayan itu yang seolah menembus pikirannya.

Begitu Clara pergi, Elena kembali duduk di ranjang, memegang lipatan gaun berisi surat rahasia itu. Ia menatapnya lama, seolah berdoa agar surat itu benar-benar bisa sampai.

Keesokan harinya, saat ia kembali ke kamarnya setelah sarapan, Elena terhenti. Gaun tua itu tidak lagi ada di lemari.

Panik, ia membongkar seluruh isi lemari, mencari-cari suratnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Tidak… jangan sampai mereka menemukannya…

Pintu terbuka. Adrian masuk, memegang secarik kertas lusuh di tangannya.

“Ini yang kau cari?” tanyanya datar.

Wajah Elena memucat.

Adrian melangkah maju, melambaikan surat itu di depan wajahnya. “Kau menulis ini dengan sangat manis. Hampir membuatku tersentuh. Hampir.”

Elena berusaha merebut surat itu, tapi Adrian menariknya lebih tinggi, tak terjangkau. “Kembalikan, Adrian!”

Tatapannya gelap. “Kau masih belum mengerti, ya? Tidak ada rahasia di rumah ini. Tidak ada celah. Setiap huruf, setiap bisikanmu… aku tahu.”

Ia merobek surat itu perlahan di depan Elena, potongan kertas jatuh ke lantai seperti hujan putih kecil.

Elena berdiri kaku, air matanya jatuh tanpa henti. Ia merasa jiwanya ikut tercabik bersama kertas itu.

Adrian mendekat, menunduk hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. “Kesepianmu adalah pilihanku, Elena. Dan hanya aku yang bisa menghapusnya.”

Elena terduduk di lantai, menatap sobekan surat dengan pandangan kosong. Ia ingin berteriak, ingin marah, tapi suaranya terjebak di tenggorokan.

Kesepian kini berubah menjadi penjara ganda, bukan hanya tak ada jalan keluar, tapi juga tak ada lagi harapan kecil yang bisa ia pegang.

Dan di atas reruntuhan harapannya, hanya ada satu bayangan yang terus berdiri—Adrian Valtieri.

.....

Malam itu rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Elena duduk di sudut kamar, menatap sobekan surat yang masih berserakan di lantai. Setiap potongan kecil itu seperti pecahan hatinya sendiri, mustahil untuk dirangkai kembali.

Ketika pintu kembali terbuka, ia tidak lagi menoleh. Ia tahu siapa yang datang.

Adrian melangkah masuk dengan tenang, membawa sesuatu di lengan. Seekor kucing putih kecil dengan mata biru jernih.

Elena menoleh cepat, terkejut. “Apa itu?”

Adrian berjongkok di hadapannya, meletakkan kucing itu di pangkuan Elena. Hewan mungil itu mengeong pelan, lalu menggosokkan kepalanya ke tangan Elena seolah mencari kasih sayang.

“Kau terlihat terlalu kesepian,” kata Adrian dengan suara rendah.

Elena menatap kucing itu, hatinya mencair seketika. Ia membelai bulu lembutnya, dan untuk pertama kali dalam beberapa hari, senyum kecil muncul di wajahnya, meski samar.

Namun rasa hangat itu hanya bertahan sebentar. Ia menoleh pada Adrian dengan mata penuh curiga. “Kenapa kau memberiku ini? Supaya aku lupa kalau kau adalah alasan aku kesepian?”

Adrian hanya tersenyum tipis. “Anggap saja hadiah. Atau pengingat… bahwa bahkan dalam kesepianmu, aku tetap menentukan apa yang bisa menghiburmu.”

Elena memeluk kucing kecil itu erat, air matanya jatuh lagi. Kali ini bercampur antara rasa syukur dan rasa sakit. Hewan mungil itu memberi sedikit penghiburan, tapi sekaligus menjadi simbol baru dari kenyataan. Bahkan teman yang ia punya di sini adalah pilihan Adrian.

Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Bahkan kebahagiaanku pun… bukan milikku.”

Adrian berdiri, menatap pemandangan itu dengan mata penuh kepuasan. Ia tahu benar, memberi setetes kelembutan setelah menghancurkan harapan adalah cara paling efektif untuk membuat seseorang semakin terikat.

“Selamat malam, Elena,” katanya sambil berbalik meninggalkan kamar.

Saat pintu terkunci kembali dari luar, Elena menatap kucing kecil di pelukannya. Ia menamainya Luna, seolah bulan kecil itu bisa menjadi saksi bisu dari jerat kesepian yang kian dalam.

Dan di balik segala kebahagiaan semu itu, luka di hatinya terus bertambah. Tak terlihat, tapi semakin sulit dihapuskan.

 

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!