NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romansa Fantasi
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

12

Siang hari Dini sedang berada di Balai Desa, Dini sedang mengikuti rapat mingguan kelompok tenun. Dini sedang merasa bahagia setelah mengetahui hubungan Kania dan Bara. Namun, terdengar bisik bisik di sudut ruangan.

Dini mendengar beberapa Ibu Ibu senior (Ibu RT, Ibu Lurah, dll) berbicara dengan nada khawatir tentang Bara.

Ibu A berbisik. ‘’Saya dengar, Bara sudah mulai terbuka dengan si nona kota itu. Sayang sekali. Padahal, kalau sama Laras kan sudah pasti. Laras itu guru, anak desa kita, tahu betul seluk beluk desa.’’

Ibu B menimpali. ‘’Iya, lho. Nona kota itu cantik, tapi kan dia hanya sementara di desa kita. Nanti kalau sudah bosan dia juga pasti kembali ke kota. Kasihan Bara, sudah kadung jatuh cinta, nanti malah ditinggal.’’

Ibu C ikutan juga. ‘’Laras itu sudah seperti anak Ibu Wati sendiri. Harusnya Bara memilih yang pasti. Yang menjamin kelangsungan hidup desa, bukan yang menjanjikan kesenangan semu.’’

Dini, yang biasanya sabar, merasakan darahnya mendidih. Ia tidak bisa membiarkan Kania dihakimi tanpa pembelaan, apalagi setelah melihat betapa tulusnya Kania pagi itu.

Dini menghentikan pekerjaannya. Ia berbicara dengan suara yang cukup keras, sehingga semua orang di kelompok itu bisa mendengarnya. ‘’Ibu-Ibu. Maaf saya memotong pembicaraan. Saya mengerti kalian semua sayang pada mbak Laras, dan saya juga sayang. Tapi kita tidak bisa menilai mbak Kania hanya dari mana ia berasal.’’ Tegas Dini.

Dini kemudian menyampaikan kabar yang paling baru dan paling penting, yang ia dengar langsung dari Ibu Wati. ‘’Dan Ibu Wati..sudah memberi restu.’’

Seketika, ruangan menjadi sunyi. Bisikan-bisikan itu langsung terhenti. Dini berhasil membuat Ibu-Ibu itu berhenti bergosip-setidaknya untuk saat ini.

Dini dengan cepat membereskan benang tenun dan kerajinannya. Ia tidak menunggu rapat selesai. Dini pamit singkat. ‘’Maaf Ibu-Ibu, saya harus gantian menjaga toko. Permisi.’’ Tanpa menunggu respon, Dini bergegas keluar.

Mereka tidak akan mengerti. Mereka hanya melihat darimana asal mbak Kania. Mereka tidak melihat hati. Aku tidak boleh membiarkan mbak Kania mendengar bisikan-bisikan itu dan meragukan dirinya lagi.

Dini berjalan cepat menuju rumah kakek Tirta. Di tengah jalan, ia melihat mas Radit sedang mengangkut kayunya.

‘’Hei, Dini! Kenapa buru buru begitu? Seperti di kejar hantu!”

Dini berhenti sebentar. ‘’Lebih buruk dari hantu, mas Radit! Dikejar oleh gosip Ibu Ibu di balai Desa. Warga sudah pada tahu tentang mbak Kania dan mas Bara. Mereka semua mendukung mbak Laras. Aku sudah membela mbak Kania di Balai Desa, tapi aku harus memastikan mbak Kania tidak mendengar hal itu!”

‘’Tenanglah. Kania sudah memilih. Bara juga sudah memilih. Gosip itu hanya seperti debu, Dini. Kau hanya perlu mengelapnya.’’

‘’Iya, tapi debu itu perih kalau masuk ke mata! Aku harus menemui mbak Kania sekarang.’’ Dini melanjutkan perjalanannya dengan cepat.

Dini tiba di teras rumah Kania dan mendapati Kania sedang sibuk membersihkan teras. ‘’Mbak, Kania!”

Kania terkejut. ‘’Dini? Ada apa? Kenapa kamu lari? Kamu baik baik saja?”

Dini langsung duduk di bangku, mencoba mengatur napas. ‘’Aku…aku baik baik saja. Tapi mbak Kania harus tahu. Aku baru saja habis dari Balai Desa.’’

Kania mengambilkan air minum untuk Dini. ‘’Oh, iya. Rapat tenun? Ada masalah?”

Dini memegang tangan Kania, menatapnya dengan serius. Ia tidak ingin menyembunyikan masalah yang ada di komunitas. ‘’Mbak Kania, denger aku baik baik. Sebagian besar warga desa, terutama ibu-ibu senior, masih…masih sangat berharap mas Bara bisa bersama mbak Laras. Mereka menganggap kamu hanya singgah , dan kamu akan pergi setelah bosan. Mereka pikir mbak Kania resiko bagi mas Bara.’’

Wajah Kania langsung sedih. Kania menunduk.

Dini mengangkat dagu Kania. ‘’Tapi aku datang ke sini bukan untuk memberitahumu itu. Aku datang untuk bilang: Aku sudah membela mbak Kania, dan aku akan selalu melakukannya. Jadi jangan biarkan bisikan di Balai Desa mempengaruhimu. Abaikan saja. Teruslah buktikan pada mereka, bahwa mba Kania tidak hanya mencintai Bara, tetapi mbak Kania juga mencintai desa ini.’’

Kania tersenyum hangat. Air mata yang sempat tertahan karena kecewa kini menjadi air mata haru karena dukungan seorang sahabat.

Di tempat berbeda.

Bara sedang menuang kopi ke dalam wadah untuk persediaan besok, tampak tenang tetapi pikiran masih dipenuhi oleh visual Kania. Sementara Radit, masuk dari pintu belakang, kemudian mengambil secangkir kopi hitam dan duduk di seberang Bara tanpa di undang.

Radit menyesap kopi dengan keras. ‘’Hah! Kopi jujur memang paling jujur kalau diminum saat lelah. Tadi aku mengantar kayu lumyaan jauh.’’

Bara bersuara tanpa menatap Radit. ‘’Syukurlah. Hari ini kau tidak banyak mengeluh, Dit?”

‘’Aku tidak mengeluh tentang kayu. Aku mengeluh tentang wanita, Bar. Terutama yang habis lari lari seperti kesetanan.’’

Bara menghentikan pekerjaannya. ‘’Maksudmu siapa?”

‘’Dini. Dia itu pahlawan Kania, Bar. Tadi aku melihatnya lari dari Balai Desa ke rumah Kania. Dia habis berantem dengan ibu-ibu senior di kelompok tenun.’’

‘’Berantem? Kenapa?”

‘’Apalagi kalau bukan tentang kamu dan Kania. Warga masih berharap kau bersama Laras. Mereka menganggap Kania turis, sementara Laras adalah rumah.’’

Bara meletakkan wadah kopi. Matanya menunjukkan rasa bersalah. ‘’Dini tidak perlu melakukan itu.’’

‘’Tentu saja dia perlu, Bodoh! Dia sahabat Kania! Dia tahu Kania tulus, dan dia tahu kalian pantas mendapat dukungan. Dia membela Kania dengan segala kebanggaan yang ada di desa ini.”

Bara bersandar ke kursi, lega dan terharu. Kania mempunyai sahabat seperti Dini.

‘’Aku harus berterima kasih pada Dini. Dan aku harus memastikan Kania baik baik saja.’’

‘’Tenang. Dini sudah mengurusnya. Dia sudah menjadi perisai Kania. Tapi kamu, Bar, kau harus melakukan satu hal.”

‘’Apa’’

‘’Kau harus buktikan ke semua warga, terutama ke ibu-ibu penggosip itu, bahwa pilihanmu adalah yang terbaik bagi desa ini.’’

Bara menatap Radit, kemudian mengangguk. Sekarang ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Di rumah Kania

Kania sedang duduk di teras, sedang memainkan ponsel-nya, tetapi pikirannya masih terganggu oleh cerita Dini tentang gosip para warga. Tiba-tiba Bara muncul. Ia tidak lagi membawa cangkir kopi, tetapi membawa selembar kertas yang sudah usang—seperti peta.

‘’Ayo ikut aku. Ada yang harus aku tunjukkan padamu. Dan aku butuh matamu yang tajam itu.’’

Kania tersenyum dan berdiri. ‘’Mau kemana? Ke kebun?”

‘’Lebih jauh dari itu.’’

Mereka berjalan ke arah belakang kebun kopi Bara, area yang jarang disentuh dan agak tersembunyi. Kania mengikuti langkah kaki Bara.

‘’Mas Bara, Dini tadi kerumah. Dia cerita tentang yang terjadi di Balai Desa. Tentang ibu-ibu dan mbak Laras.’’

Bara menggenggam tangan Kania. Bara lalu menghentikan langkah dan membalikkan badan. ‘’Aku tahu. Radit juga cerita. Dengar aku, Kania. Gosip itu hanya suara dari kekhawatiran yang salah tempat. Mereka sayang padaku, dan mereka sayang pada Laras. Tapi mereka tidak tahu seberapa kuat pilihan itu. Aku tidak akan membiarkan mereka membuatmu ragu. Jadi, lupakan mereka untuk saat ini. Fokus pada apa yang akan kita bangun.’’

Mereka tiba di tempat tujuan: sebuah pohon kopi yang terlihat lebih tua dan besar dari yang lain, berdiri sendiri di punggung bukit dengan pemandangan kebun dan rumah rumah desa yang indah.

‘’Ini adalah pohon kopi tertua di kebun. Pohon ini ditanam oleh kakek buyutku. Pohon ini adalah akar dari semua yang kumiliki.’’

‘’Indah sekali, mas’’

Bara membentangkan kertas usang yang ia bawa. Itu adalah sketsa kasar dan rencana pembangunan.

‘’Rencanaku, dulu, adalah membangun rumah kami di sini. Kecil, sederhana, tetapi dengan pemandangan terbaik. Aku sudah mengukur tanah ini sejak dulu.’’

Bara menunjuk ke sketsa. ‘’Aku ingin kamu lihat ini. Kamu bilang, kita harus memperluas cerita kita. Aku setuju. Jadi, kita akan memulai. Aku ingin kamu menggunakan keahlianmu—branding, desain, cerita—untuk merancang Kedai Kopi kedua di tanah ini.’’

Kania terkejut, melihat dari sketsa Bara ke wajah Bara, lalu ke pemandangan indah di depannya.

‘’Kedai yang sekarang adalah rumah masa lalu. Kedai yang ini, di bawah pohon tertua, akan menjadi rumah masa depan kita. Aku tidak memintamu menjadi istri petani, Kania. Aku memintamu menjadi partner yang membangun kerajaan kopi ini bersamaku.’’

Kania tidak bisa berkata-kata. Ini bukan hanya proposal kerja, ini adalah janji pernikahan yang dibungkus dengan rencana bisnis. Bara memberinya otoritas penuh atas masa depan mereka.

Kania dengan suara bergetar. ‘’Bara…aku…’’

‘’Aku sudah memutuskan. Aku tidak akan pernah menyesal memilih kamu. Dan aku tidak akan membiarkan kamu menyesal memilihku. Kita akan buktikan kepada semua orang, termasuk Laras, bahwa cinta kita tidak hanya tentang rasa, tapi tentang pertumbuhan.’’

Kania memeluk Bara erat-erat. ‘’Aku terima. Aku akan merancangnya. Aku akan menulis ceritanya. Tapi, aku tidak mau hanya Kedai Kopi kedua. Kita akan namakan ini ‘Akar rencana’.’’

Bara tertawa, membalas pelukan Kania. ‘’Akar rencana. Aku suka itu. Selamat datang di rumah, calon istriku.’’

Bara dan Kania saling memeluk erat di bawah pohon kopi tua. Matahari sudah hampir sepenuhnya terbenam, mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu yang lembut. Keheningan menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara jangkrik yang mulai berbunyi.

Bara merasakan kehangatan dan ketulusan dalam pelukan Kania. Kelegaan yang ia rasakan begitu mendalam; ini bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang memiliki partner sejati yang siap berbagi mimpi, dan masa depan yang tidak pasti.

Sementara Kania merasa sangat aman dan dicintai. Bara tidak hanya mencintai dirinya; Bara mempercayai dirinya, memberinya peran penting dalam hidupnya, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan di kota.

Bara perlahan melepaskan pelukan itu, tetapi ia tetap memegang bahu Kania. Ia menatap mata Kania yang memantulkan cahaya senja. Matanya dipenuhi kasih sayang, rasa terima kasih, dan kepastian yang mendalam.

Suara Barak serak karena emosi. ‘’Kania… terima kasih sudah memilihku.’’

Kania mengusap pipi Bara dengan Ibu jarinya. ‘’Aku memilih akar yang kamu tanam. Dan aku ingin menanam akar ku sendiri tepat di sebelahmu.’’

Bara mendekat. Ia tidak terburu-buru, tetapi gerakannya penuh makna. Ia mencondongkan tubuhnya, menyentuh kening Kania dengan keningnya selama beberapa saat, menikmati keintiman sederhana itu.

Kemudian, dengan kelembutan yang mencerminkan ketenangan dari gunung itu sendiri, Bara mencium Kania. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang tenang dan pasti, seperti aliran air sungai. Itu terasa seperti penyegelan janji, memadukan aroma tanah dari pakaian Bara dengan aroma rempah halus yang melekat pada Kania.

Mereka berdua menarik diri. Senja kini hanya menyisakan warna biru gelap. Kania tersenyum; dia merasa seperti baru saja bangun dari tidur yang panjang dan kini melihat dunia dengan cahaya yang baru.

Bara berbisik lembut, rambut Kania diselipkan ke belakang telinga. ‘’Ayo kita pulang.’’

Bara menggenggam tangan Kania. Kali ini, genggamannya bukan lagi genggaman seorang penyelamat, melainkan genggaman seorang kekasih hati. Mereka berjalan menuruni bukit, meninggalkan pohon kopi tertua, janji mereka, dan semua kegalauan di langit malam di Desa Ranu Asri.

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!