Demi keselamatan jiwanya dari ancaman, Kirana sang balerina terpaksa dijaga oleh bodyguard. Awal-awal merasa risih, tetapi lama-lama ada yang membuatnya berseri.
Bagaimana kalau dia jatuh cinta pada bodyguardnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kujo monku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 : Confess!
"Audrey Hermawan katamu?" Kirana malah balik bertanya pada Davis.
Kirana terlihat sangat terkejut saat Davis mempertanyakan nama itu. Apakah Kirana mengenalnya? Jelas dia sangat mengenal nama Audrey.
"Iya, Audrey Hermawan yang sedang kami curigai, karena dia balerina yang kompetitif yang selalu ada di bawah kamu. Kenal?"
Pertanyaan yang sangat bodoh pikir Kirana. Jelas dia kenal.
Audrey merupakan balerina berbakat, yang usianya jauh lebih muda darinya. Audrey sangat dekat dengannya sebenarnya, karena keduanya terkadang dipertemukan di acara yang sama. Sampai sekarang pun, Audrey masih suka menghubunginya untuk dia beri masukan.
Lagipula, Audrey merupakan anak dari teman lama maminya dulu. Jadi, tidak mungkin Kirana tidak mengenal Audrey.
Melihat Kirana diam, Davis jadi bisa menyimpulkan sendiri jawaban dari pertanyaannya. Kirana pasti mengenal Audrey dan tidak menyangka jika Audrey menjadi suspect utama.
Melihat wajah Kirana, pikiran Davis tidak bisa tenang. Wajah cantik, bersih, mulus bak porselen, membuat Davis ingin sekali membelainya. Dan benar saja, tangannya tergerak membelai lembut pipi Kirana dengan perlahan.
Deg!
"Da- Davis." Kirana terkesiap saat tangan dingin Davis menyentuh kulit pipinya. Aliran darahnya begitu terasa mengalir deras. Jantungnya memompa lebih cepat dari normal.
Davis sadar akan kesalahannya. Dia lantas menjauhkan tangannya dari Kirana. Aneh tapi kenapa nanggung banget baginya. Inginnya tangan ini terus membelai kelembutan kulit wajah Kirana yang baru dia rasakan.
"Maaf." Ucapnya secara gentle.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" Davis mencoba untuk menahan kembali perasaannya. Dia tidak mau dicap lancang, meski keduanya sudah dekat.
"Auk ah."
Kirana kesal sekali rasanya. Dia seperti dipermainkan oleh Davis. Tarik ulur bagai perlombaan tarik tambang. Dia sudah senang tadi saat Davis mau menyentuhnya, dan ingin memperjelas perasaan mereka, tetapi bukannya mengungkapkan rasa, eh malah balik tanya kenapa.
Apa harus dia sebagai wanita yang duluan mengungkapkan perasaannya? Tapi kan harusnya laki-laki duluan yang melakukan hal itu? Egonya masih besar.
Kirana mungkin saja melupakan sejarah lahirnya dia dan kedua adik kembarnya di dunia. Maminya dulu malah yang mengejar-ngejar cinta papinya. Jika tidak, mungkin Kirana, Arjuna dan Arganta tidak terlahir di dunia ini.
Davis pun tidak sanggup lagi. Rasanya sulit untuk menahan gejolak di dada. Apalagi saat barusan, melihat Kirana kesal membuatnya takut kalau Kirana cuek seperti tadi sore.
"Kamu kesal?"
"Iya, aku kesal. Aku sebel sama kamu." Bibir Kirana sudah cemberut dan itu sangat mengundang tawa karena sangat menggemaskan bagi Davis.
Davis tertawa dibalik maskernya mendengarnya. Kirana pun semakin kesal.
"CK, malah ketawa. Emang ada yang lucu?" Cibir Kirana.
Davis menghentikan tertawanya. Tatapannya tidak terlepas dari wajah gemas Kirana. Sepertinya, ada tekad dalam hatinya untuk memulai sesuatu.
"Ini kita mau bahas si peneror atau mau bahas apa sih?" Davis memang membingungkan bagi Kirana. Tadi mereka memulai pembicaraan tentang pelaku teror, dan kini berganti tentang perasaan mereka.
Davis tersenyum. Lalu dia dekatkan wajahnya ke wajah Kirana yang hampir saja kening mereka saling bersentuhan.
"Bagaimana kalau kita bahas tentang 'kita' terlebih dahulu?" Davis menekankan kata 'kita' agar Kirana langsung paham topik apa yang akan mereka bicarakan.
Deg!
Deg!
Deg!
Kirana menjerit dalam hatinya. Tidak ada jarak antara wajah mereka secara tiba-tiba. Kirana belum siap dengan hal-hal manis yang mungkin sebentar lagi akan terjadi.
Apakah benar-benar manis? Bagaimana jika itu hal yang asam atau pahit? Ah, Kirana tidak mau. Dia hanya mau yang manis saja, harapnya.
"Mak- maksudnya? Memangnya kita kenapa? Daripada itu, mending kamu jujur padaku. Kenapa wajahmu juga kamu sembunyikan?" Kirana pura-pura polos.
Davis menjauhkan wajahnya. Dia lupa dia selalu sembunyikan wajahnya, karena awalnya Davis tidak ingin Kirana mengenali dirinya.
"Apa kamu penasaran?" Kirana mengangguk dengan mata berbinar. Like a puppy eyes.
Davis tidak ingin bersembunyi lagi. Perlahan dia buka masker yang selama ini selalu menutupi setengah wajahnya.
Dengan mata menyipit, Kirana menatap wajah yang selama ini disembunyikan oleh Davis. Wajah itu wajah yang tidak asing, tetapi dia seakan sulit untuknya mengingatnya.
"Kau tidak mengenali wajah ini?" Tebak Davis dan Kirana langsung menggelengkan kepalanya.
"Sekitar 10 tahun lalu atau lebih, di daerah Jagakarsa, tengah malam." Davis mencoba mengingat masa kelamnya kembali demi Kirana ingat padanya.
Kirana mencoba mengingatnya. Sekelebat potongan ingatan memang melintas di dalam pikirannya. Peristiwa yang terlalu lampau, semestinya memang sulit untuk diingat kembali.
"Ada anak laki-laki labil di dalam mobil, yang sedang menunggu ajalnya datang."
Deg!
Kirana langsung mengingat anak laki-laki yang disebut oleh Davis barusan. Dia mengerjapkan wajahnya dan menatap wajah Davis dengan seksama.
Tangan lembut Kirana mengusap kedua pipi Davis. Matanya terus meneliti setiap inchi wajah itu, dan mencoba mengingat wajah anak remaja yang dia pernah tolong satu dekade lamanya. Hingga tatapannya berhenti di bibir Davis yang menghitam karena efek obat itu.
"Ka– kamu?" Bibir itu, bibir yang sama dengan pemuda yang dia temukan waktu itu.
"Ya, aku Davis. Aku lah yang kamu tolong waktu itu. Aku yang kamu tarik dari ajal yang siap menyambutku." Ucap Davis dengan suara seraknya yang mendalam.
Kirana melepaskan tangannya dari pipi Davis. Sayangnya, Davis menariknya kembali dan mengecup punggung tangan mulus tersebut.
Cup!
Seketika wajah Kirana memerah dan salah tingkah. Dia biarkan Davis melakukan apa yang pria itu inginkan. Suasana kamar yang tenang, membuat perasaan keduanya terhanyut dalam simfoni cinta yang menggebu.
Tatapan Davis begitu menghipnotis Kirana. Kirana mulai terperangkap dalam jeratan tatapan tersebut.
Entah siapa yang memulai, bibir mereka kini sudah tertaut dan mencoba mencari titik rasa kepuasaan disetiap hisapan dan gigitan di dalam ciuman mereka. Hal ini memang bukan pertama bagi Kirana, karena gadis itu sering berperan drama atau teater saat balet dan melakukan adegan ciuman di atas panggung bersama lawan mainnya. Akan tetapi, ciuman ini adalah ciuman pertama bagi Davis. Pria yang selama ini memendam rasa suka pada Kirana.
"Hmmmm," Desah manja tidak bisa Kirana tahan saat Davis mengecap bibir Kirana yang begitu kenyal dan berminyak. Sisa rasa nasi goreng yang tadi dimakan, bisa Davis rasakan.
Bukannya, berhenti, Davis malah semakin brutal. Letupan dalam hatinya, membuatnya tidak mau menghentikan kenikmatan yang pertama kali dia rasakan.
Kirana pun terus mengimbangi Davis. Memang terasa kaku awalnya, tetapi, Kirana juga menikmatinya. Ciuman mesra yang dilakukan Davis membuatnya melayang dan enggan kembali dan ingin terus berlanjut hingga tidak tahu kapan ujungnya.
Nafasnya yang memendek, menandakan mereka perlu berhenti sejenak. Keduanya melepas tautan bibir mereka dan saling pandang. Davis tersenyum, tetapi Kirana sedikit merutuki dirinya sendiri yang seperti wanita murahan.
"Maaf, sudah lancang." Davis tidak terlihat menyesal. Bahkan, wajahnya begitu berseri setelah mendapatkan asupan kecup dari wanita yang dia sukai selama ini.
"Kenapa kamu lakukan itu? Kau menyukaiku? Iya, kan? Jujur saja sekarang!" Tanya Kirana tanpa mau basa-basi lagi. Jatuh cinta sendiri itu tidak enak. Akan tetapi, setelah kejadian ini, Kirana yakin jika cintanya akan berbalas.
Davis kembali mengamati dua bola mata KIrana yang indah. Dia pun mengangguk, setelah meyakinkan dirinya jika Kirana juga menyukainya.
"Ya, aku sangat menyukaimu. Nama kamu selalu ada di dalam hatiku sejak peristiwa itu."
"Benarkah?" Kirana hampir tidak percaya, sebelum Davis menggenggam lembut tangannya.
"Iya dan Kirana Nisaka Gautama, jadilah kekasihku!"
...****************...