Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Disinilah Arkan dan putranya Rafa berada. Disana sudah ada Ratna dan damar yang menunggu mereka sejak tadi.
Rafa langsung berlari kecil ke arah mereka. “Kakek! Nenek!”
Ratna tersenyum, menunduk menyambut cucunya. “Cucuku ganteng sekali hari ini.”
Ratna, ibunya, sudah berdiri di depan pintu dengan senyum lembut.
“Rafa, sini sayang. Nenek kangen banget,” ujarnya sambil merentangkan tangan.
Ratna tertawa, lalu menatap Arkan. “Papamu sudah menunggu di ruang kerja. Segeralah kesana sebelum dia marah beras”
Arkan hanya mengangguk pelan. Ia menepuk bahu Rafa. “Main dulu sama Nenek ya, Nanti papa datang "
Dari ujung lorong, Damar Mahendra sudah menunggunya di depan ruang kerja, berdiri tegap dengan tangan bersedekap. Tatapan tajam pria itu langsung menyapu tubuh Arkan dari atas ke bawah.
“Kamu datang juga akhirnya,” ucap Damar dingin. “Masuk. Kita perlu bicara.”
Arkan menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Seolah sudah tahu kemana arah pembicaraan ini selanjutnya.
Beberapa detik hening, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hingga akhirnya Damar membuka suara dengan nada tajam.
“Papa baru semalam pulang dari luar kota, Arkan. Dan tadi pagi, Mama langsung cerita kalau kamu sudah membuat seorang gadis hamil.”
Nada suaranya naik sedikit, penuh penekanan. “Apa itu benar?”
Arkan mengangkat pandangan, tidak berusaha mengelak. “Iya, Pa. Itu benar.”
Damar mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras. “Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan? Nama keluarga kita bisa rusak karena ulahmu, Arkan!”
“Pah, aku nggak berniat merusak nama keluarga,” jawab Arkan pelan namun tegas. “Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahi dia.”
“Menikahi?” Damar menatap tajam, matanya berkilat. “Kamu pikir semudah itu? Kamu bahkan nggak tahu siapa gadis itu. Kamu sadar, kamu akan menyeret keluarga ini dalam masalah?”
Arkan menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya. “Papa, aku tahu siapa dia. Namanya Dara. Dia bukan gadis jahat seperti yang Papa pikir. Memang... semuanya terjadi di luar rencana, tapi aku nggak akan lari dari tanggung jawabku.”
Damar membanting telapak tangannya ke meja, membuat suara keras menggema di ruangan itu. “Tanggung jawab? Kamu pikir tanggung jawabmu cuma dengan menikahinya? Kamu tahu bagaimana omongan orang nanti? Anak keluarga Mahendra menghamili gadis biasa! Kamu tahu seberapa besar dampaknya untuk perusahaan?”
Arkan tetap diam, menunduk. Ia tahu ayahnya takkan mudah diredam bila sudah marah.
“Papa,” akhirnya ia berkata dengan nada tenang. “Aku nggak peduli apa kata orang. Aku cuma tahu, ada seorang perempuan yang sedang mengandung anakku, dan aku tidak mau di cap sebagai lelaki pengecut karena lari dari tanggung jawabnya.”
Pintu ruang kerja tiba-tiba terbuka, memperlihatkan sosok Ratna yang berdiri di ambang dengan wajah tegang.
“udah , pah,” ucap Ratna lirih . “Biar aku bicara dengan dia.”
Damar mendengus pelan, namun tak berkomentar. Ia memilih mundur sedikit, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada.
"Rafa mana mah" tanya Arkan yang tidak melihat anaknya itu.
"lagi makan siang sama bi asri di sana"
Ratna kini menatap putranya lekat-lekat. Tatapannya campuran antara kecewa dan bingung.
“Arkan,” panggilnya pelan namun tegas, “Mama cuma mau tahu satu hal gimana bisa kamu sampai menghamili seorang perempuan? Mama tahu kamu bukan tipe laki-laki yang sembrono begitu.”
Arkan diam beberapa detik, menatap ibunya yang terlihat berusaha keras menahan gejolak perasaannya.
“Itu terjadi… bukan karena aku niat, Ma,” katanya akhirnya.“Malam itu aku menghadiri acara salah satu rekan kerja. Banyak orang di sana, dan… aku sempat minum. Tapi aku nggak sadar kalau seseorang memasukkan sesuatu ke dalam minumanku.”
Ratna dan Damar saling berpandangan, jelas terkejut.
“Apa maksudmu, Arkan?” tanya Damar cepat. Suaranya meninggi sedikit.
" Ada seseorang yang ingin menjebakku. Malam itu aku putuskan menginap dihotel untuk menghindari hal hal buruk terjadi. Tapi Gadis itu Dara yang bekerja di sebuah cafe datang untuk mengantar makanan ke kamarku. Jelas aku heran karena aku tidak merasa memesan apapun."
" Aku yang memaksa Dara waktu itu, dia tidak tahu apa-apa "
Ratna tertegun, seolah sulit memproses apa yang baru saja ia dengar. “Jadi kamu bilang… kamu dijebak?”
Arkan mengangguk perlahan. “Sepertinya begitu, Ma. Aku sudah menyelidiki sedikit, dan ada indikasi seseorang yang sengaja melakukan itu. Aku sudah menyuruh Andre untuk menyelidikinya lebih dalam"
Ratna memejamkan mata, menahan napas berat. “Ya Tuhan, Arkan…” gumamnya lirih. “Kalau semua itu benar, kenapa kamu nggak lapor polisi atau setidaknya bicara dari awal?”
“Aku nggak mau memperpanjang masalah, Ma. Dan waktu aku tahu Dara hamil, aku cuma berpikir satu hal aku harus tanggung jawab. Biarpun semuanya terjadi karena jebakan, bayi itu tetap darah dagingku.”
Damar mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, ekspresinya keras. “Jadi kamu tetap mau menikahi gadis itu, meskipun kamu yakin semua ini jebakan?”
Arkan mengangguk mantap. “Iya, Pa. Karena aku nggak bisa biarkan Dara menanggung semuanya sendiri. Aku tahu, Papa dan Mama pasti kecewa, tapi aku nggak akan biarkan anakku lahir tanpa ayah.”
Ratna menatap putranya lama. Ada rasa kecewa, tapi juga secercah haru dalam pandangannya.
“Arkan… Mama nggak tahu harus marah atau bangga. Tapi Mama mau kamu bawa perempuan itu ke sini. Mama mau tahu siapa dia, dan kenapa bisa sampai terlibat sejauh ini.”
“Baik, Ma,” jawab Arkan tenang. “Aku akan bawa dia ke sini.”
Ratna akhirnya menghela napas panjang lalu melangkah keluar ruangan. Damar masih diam beberapa saat sebelum menatap Arkan tajam.
“Kamu boleh ambil keputusan, tapi ingat, Arkan satu langkah salah lagi, dan kamu akan kehilangan semua yang kamu punya.”
Arkan menatap ayahnya lurus. “Aku sudah tahu risikonya, Pa. Tapi ini tanggung jawabku, dan aku akan menjalaninya.”
Begitu sampai di ruang tamu, Arkan mendapati Rafa tengah duduk di sofa bersama Ratna. Bocah kecil itu tampak asyik memandangi mainan mobil di tangannya. Saat melihat ayahnya keluar, Rafa langsung tersenyum lebar dan berlari menghampiri.
“Papa!” serunya riang, tangannya langsung memeluk kaki Arkan.
Wajah tegang Arkan seketika melunak. Ia jongkok, mengusap kepala putranya itu dengan lembut. “Hei, jagoan. Udah makan?”
“Udah! tadi bi asri kasih aku nasi goreng sama telur.”
Arkan mengangkat Rafa ke pangkuannya dan duduk di sofa. “Papa dimarahin, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Ratna spontan menahan senyum sedih, sementara Arkan sedikit terkejut. “Kenapa kamu pikir Papa dimarahin?”
“Soalnya muka Papa kayak waktu aku ketahuan nyembunyiin nilai ulangan,” jawab Rafa polos.
Ratna tak tahan lagi dan menahan tawa kecil, sementara Arkan hanya menggeleng pasrah. “Kamu ini, ada-ada aja. Nggak, Papa nggak dimarahin."
"sekarang kita pulang ya, atau mau ikut papa ke kantor "
"Rafa ikut papa ke kantor aja deh. Rafa mau ketemu sama om Andre "
"ya sudah, tapi sampai disana Rafa ngga boleh nyesal ya"
Rafa mengangguk dengan semangat "Rafa janji lah,"
Arkan menurunkan Rafa, menggenggam tangan kecilnya erat-erat. “Ayo, kita berangkat sekarang. pamit dulu sana kakek dan nenek .”
"Rafa pulang dulu ya, kek, nek"
Rafa melambaikan tangan kecilnya “Dadah, kakek, nenek!”
Ratna menoleh sebentar dan tersenyum samar. “Hati-hati di jalan, Sayang.”