Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Kenyataan baru.
Sepanjang malam Bang Lugas merenung di dalam masjid. Detik demi detik waktu hanya menyisakan sesal tak berujung.
Mentari pagi menyelinap masuk melalui jendela masjid, membangunkan Bang Lugas dari lamunannya. Mungkin hanya beberapa menit dirinya tertidur.
Wajahnya tampak lelah dan matanya merah karena semalaman tidak tidur. Namun, ada tekad yang kuat terpancar dari sorot matanya. Ia harus menemukan Nadine, bagaimana pun caranya.
Bang Lugas beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar masjid. Udara pagi yang segar sedikit menenangkan pikirannya yang kalut. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan.
"Aku tidak boleh menyerah. Aku harus bertanggung jawab," gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, seorang pria berpakaian serba hitam menghampirinya. Pria itu adalah salah satu anak buahnya yang selama ini bertugas mencari informasi tentang Nadine.
"Maaf, Bang. Kami masih belum berhasil menemukan keberadaan Nadine." lapor pria itu dengan nada menyesal.
Bang Lugas menghela napas berat. "Yq sudah, tidak apa-apa. Terus cari lagi. Abang yakin dia pasti sengaja mengasingkan diri." jawabnya dengan nada lemah.
"Siap, Bang!"
Pria itu segera pergi menjalankan perintah Bang Lugas. Sementara itu, Bang Lugas kembali masuk ke dalam masjid. Nyatanya hatinya semakin waswas.
Di dalam masjid, Bang Lugas bersujud dan mencurahkan segala isi hatinya. Ia memohon ampunan atas dosa-dosanya dan meminta petunjuk agar bisa menemukan Nadine.
"Ya Allah, tunjukkanlah hamba jalan yang benar. Pertemukanlah hamba dengan Nadine. Hamba ingin meminta maaf dan bertanggung jawab atas segala kesalahan yang telah hamba lakukan," doanya dengan suara bergetar.
Setelah berdoa, Bang Lugas merasa sedikit lebih tenang. Ia yakin, Tuhan pasti akan membantunya. Ia pun bertekad untuk terus mencari Nadine sampai ketemu.
"Tolong pertemukan aku sekali saja dengan Nadine, Tuhan. Aku ingin memperbaiki segalanya." Bang Lugas terus memohon hingga dadanya terasa sesak.
//
Pagi itu, di kamar yang dihiasi aroma melati dan mawar, Bang Erlang dan Nindy duduk bersisian. Kelelahan tampak jelas di wajah Bang Erlang, namun senyum hangat Nindy mampu menenangkannya.
"Abang terlihat sangat lelah," kata Nindy lembut, sambil mengusap bahu Bang Erlang.
"Banyak masalah yang harus Abang pikirkan, Dek. Tapi, melihat kamu di sini, semua rasanya sedikit lebih ringan," jawab Bang Erlang, menggenggam tangan Nindy.
Nindy tersenyum. Ia tahu, menjadi seorang presiden bukanlah hal yang mudah. Beban negara ada di pundak Bang Erlang. Sebagai seorang istri, ia ingin memberi dukungan dan meringankan beban suaminya.
"Abang, Nindy ingin bicara sesuatu," kata Nindy, menatap Bang Erlang, tatapannya cukup serius.
Bang Erlang mengerutkan kening. "Ada apa, Dek?"
"Soal Bang Lugas," jawab Nindy.
Bang Erlang terdiam sejenak. Ia tahu, Nindy pasti merasa tidak nyaman dengan kejadian yang menimpa Bang Lugas dari pemberitaan buruk tentang Nadine.
"Abang, maaf kalau Nindy lancang," kata Nindy dengan hati-hati. "Tapi, bagaimana kalau untuk sementara waktu, Bang Lugas Abang pindahkan dulu ke Batalyon?"
Bang Erlang terkejut mendengar usulan Nindy. "Kenapa begitu, Dek?" tanyanya.
"Nindy rasa, Bang Lugas perlu waktu untuk mencari Nadine dan menyelesaikan masalahnya. Dengan berada di Batalyon, dia bisa lebih fokus dan tidak terbebani dengan tugas sebagai ajudan Abang," jelas Nindy.
Bang Erlang terdiam sejenak, menimbang-nimbang usulan Nindy. Ia tau, Nindy tidak bermaksud buruk. Ia hanya ingin membantu Bang Lugas dan menjaga nama baiknya sebagai presiden.
"Tapi, siapa yang akan menggantikan Lugas sebagai ajudan Abang?" tanya Bang Erlang.
"Untuk sementara waktu, Abang bisa menunjuk ajudan yang lain. Nindy yakin, banyak perwira yang mampu dan loyal kepada Abang," jawab Nindy.
Bang Erlang menghela napas panjang. Ia tau, Nindy benar. Tapi kemampuan Bang Lugas memang di atas rata-rata dalam hal protokoler bahkan intelijen.
"Belum ada yang pas untuk menggantikan nya, dek." Kata Bang Erlang.
"Tapi, Bang. Abang tidak boleh menahan lajur jalan hidup seseorang. Bang Lugas butuh menyelesaikan permasalahan hidupnya juga. Butuh bertemu dengan Nadine. Untuk ajudan, bisakah Abang melihat kualifikasi mana yang paling mendekati kemampuan Bang Lugas." Saran Nindy.
Bang Erlang mengarahkan pandang takjub sekaligus heran melihatnya. Kecerdasan Nindy di kala dirinya sedang mati ide yang sebenarnya begitu ringan, bisa muncul dari seorang Nindy.
"Siapa kamu sebenarnya, dek??"
"Hanya gadis yatim piatu yang awalnya tidak beruntung, kini malah begitu beruntung bisa menjadi istri orang nomer satu negeri ini." Jawab Nindy.
Kening Bang Erlang berkerut, sejenak ia menahan diri untuk tidak banyak bertanya padahal ada ribuan tanya begitu ribut di jalan pikirnya.
Nindy tau ada keraguan dalam hati Bang Erlang, ia menarik senyumnya. "Abang takut?? Apakah sekarang Nindy ini sebuah ancaman?"
"Apa gunanya kita menjadi suami istri kalau tidak ada kejujuran di antara kita. Abang ingin selama kita menjadi suami istri, ada keterbukaan lebih di antara kita."
"Nindy bagian dari Intel group empat. Serda Nindy, dalam masa penugasan awal. Belum punya karya apapun tapi sudah tertangkap dengan cara yang tidak di duga. Bisa di pahami, Pak??"
Bang Erlang ternganga mendengar pernyataan dari Nindy. Belum selesai rasa kagetnya, Bang Erlang kembali terperangah saat Nindy memberikan sebuah foto.
"Kenal gadis di foto ini??"
Bang Erlang melihatnya dengan seksama. "Lhoo.. Ini... Nadine????"
"Nadine itu letting saya."
"Allah Ya Rabb. Kenapa kamu tidak bilang dari awal, dek..!!! Lugas bisa mencak-mencak dengarnya." Pekik Bang Erlang saking syoknya.
.
.
.
.